Persahabatan yang hangat dan penuh kasih sayang selama 10 tahun terhapus oleh pernikahan paksa bagai di neraka selama 2 tahun. Hanna pikir, dirinya dan Mikail bisa menjadi keluarga secara utuh. Namun setelah mengalami berbagai hinaan dari keluarga Mikail, dia merasa lelah berjuang sendiri. Hingga sampai disatu titik Hanna merasa muak dan ingin mengakhiri pernikahannya. "Mikail, ayo kita bercerai..." pinta Hanna dengan mata berair. Pandangannya sedikit kabur ketika berbicara dengan Mikail. Bukannya menjawab, Mikail malah mencengkeram tangan Hanna dan menariknya ke dalam kamar. Untuk pertama kali dalam 2 tahun pernikahan mereka, Mikail menyentuh Hanna secara agresif dan tidak dapat mengontrol dirinya. "Aku nggak menerima perceraian dalam bentuk apapun!" janji Mikail dalam kegelapan.
View MoreThe attic always unsettled Emma. Even as a child, she had avoided its creaking stairs, convinced shadows lingered longer up there than anywhere else in the house. Tonight, though, curiosity won over unease.
A storm rattled the old windows below, and the air in the attic carried the dry tang of dust and age. She waved her flashlight in slow arcs, its beam catching cobwebs, trunks, and the skeletal remains of forgotten furniture. She wasn’t searching for anything in particular. Maybe a distraction. Maybe a piece of her mother she hadn’t yet buried. Her foot nudged a shoebox, sending a puff of dust swirling into the stale air. She crouched, pulling the box closer. Inside, beneath stacks of birthday cards and faded photographs, was a bundle wrapped in a ribbon so pale it had nearly lost its color. Emma froze. The ribbon, the neat fold of paper, the faint scent of cedar—it was all familiar. Hands trembling, she lifted the letters out. She didn’t have to open the first envelope to recognize the handwriting. The slant of the letters, the ink pressed heavy in places, light in others. Daniel Hayes. Her heart gave a painful twist. Daniel. The boy who had kissed her on the back porch under July fireworks. The boy who whispered forever against her hair. The boy who, without a word, without a reason, vanished the next morning and never came back. For ten years she had lived with the silence he left behind. She had convinced herself he didn’t love her enough. That he was selfish, careless, incapable of staying. The wound had scarred over—but it had never healed. Emma’s fingers fumbled as she opened the first letter. Emma, If you’re reading this, it means things didn’t go the way I hoped. I wanted to stay, more than you’ll ever know. But there are things I can’t explain—not yet. Trust me when I say I left to protect you. One day, you’ll understand. Her lips parted, but no breath came. Protect her? From what? Her eyes lingered on the last line, her breath uneven. Protect you. The words pressed against old scars she thought had hardened long ago. All those years she had carried the weight of his absence like a stone in her chest—telling herself she hadn’t been enough, that she wasn’t worth staying for. What if she had been wrong? Her throat ached. She wanted to laugh, to cry, to rip the paper to shreds. How dare he say he left for her sake, after shattering her world without a single word? How dare he pretend it had been noble, when all she had known was the silence of unanswered questions? Yet, against her will, something fragile and foolish fluttered inside her. A spark of the girl she had once been—the one who believed in fireworks on the porch and promises whispered in the dark. She pressed her palm to her chest, trying to steady herself, but her heart raced on, wild and unruly. If Daniel had loved her enough to protect her, why hadn’t he trusted her enough to tell her the truth? She read on, faster now, desperate for more, but the words ended abruptly. The lower half of the page was smudged—at first she thought it was water damage, but as her beam steadied, her stomach lurched. The reddish-brown stain had soaked deep into the paper fibers. Blood. The attic seemed to shrink around her. The letter slipped in her grip. She snatched it back, pulse racing. Memories she had worked hard to bury clawed their way up—the unanswered phone calls, the hushed pity in neighbors’ voices, the way her mother never spoke his name again. Her flashlight flickered once, twice. And then the floorboards groaned behind her. Emma spun, heart hammering against her ribs. A small figure stood in the shadows near the stairwell. Thin shoulders, gray hair pulled into a neat bun. “Emma?” Mrs. Calloway. The neighbor had lived next door for as long as Emma could remember. Sweet enough, though strange—she had the habit of appearing at odd hours, sometimes with a pie, sometimes just with questions Emma hadn’t asked for answers to. Emma pressed the letter to her chest, her throat dry. “You scared me.” Mrs. Calloway’s gaze dropped to the bundle of letters in Emma’s hand. Her expression didn’t change, not exactly—but something flickered across her eyes. Not surprise. Not curiosity. Something closer to dread. For a heartbeat, Emma thought she saw fear. But then the woman smiled, soft and measured. “Oh… you found them.”Kaki Hanna yang putih terendam pasir. Rasanya begitu hangat dan lembap, membuatnya nyaman. Sesekali Hanna memainkan ponsel, merekam ombak laut yang tergulung kecil menuju kakinya.Lambat laun, terdengar suara helikopter dari kejauhan. Makin lama kian mendekat. Melintasi sisi kanan atas dan berhenti pada helipad di atas cottage.Apa ada orang penting yang datang?"Bu Hanna, mau masuk ke dalam atau tunggu di luar?" Alina muncul dari belakang.Hanna pikir itu hanya pertanyaan untuk menunggu jam makan malam, jadi dia akan menunggu di tepi pantai saja sambil melihat sunset. "Aku tunggu di sini."Alina mengangguk, "Baiklah, akan aku sampaikan." Dia kembali masuk ke dalam gerbang cottage.Sepeninggal Alina, Hanna kembali bermain pasir dengan jemarinya yang selembut sutra. Membentuk tulisan, kemudian dia hapus kembali. Menggambar sesuatu, namun dia tidak yakin apa bentuknya. Jiwa seni Hanna begitu buruk."Itu gambar bebek?" satu suara dari belakang menyadarkan Hanna. Eh ini seperti suara Mikai
"Memang kapan aku pernah trauma sama laut?" tanya Hanna dengan wajah datar.Julian mengernyit, ekspresi ketakutan Hanna saat kecil dulu masih membekas dalam ingatan Julian. Mana mungkin dia bisa lupa?"Kak Julian?" Hanna menyentuh siku Julian yang sejak beberapa waktu lalu sibuk berpikir.Tangan Julian memegang kedua bahu Hanna, dia menatap tajam dan membawa Hanna kembali pada ingatan kelam saat kecil. "Sabtu itu, sekolah kita wisata mengunjungi Pantai. Kamu berjalan mengikuti sembarang orang memasuki hutan."Hanna mengingat kejadian tersebut. Sepertinya dia benar pernah hilang. Namun kenapa sekarang tidak merasa takut lagi. Seolah itu hanya jadi bagian masa kecilnya, bukan sebuah trauma yang tinggal hingga dia dewasa.Dari arah belakang Hanna, Lucas tiba-tiba muncul dan mencengkram tangan Julian demi melepaskannya dari pundak Hanna. "Maaf Pak, Bu Hanna sudah menikah. Aku harap Bapak bisa bersikap lebih sopan," katanya dengan nada bijak.Demi menghindari pertikaian keduanya, Hanna mun
"Jangan jauh-jauh dari Alina dan Lucas. Jangan terlalu ramah pada warga sekitar. Jangan terlalu baik pada orang yang baru dikenal," ceramah Mikail berlangsung selama perjalanan dari rumah menuju pelabuhan. Dia seperti seorang kakek yang hendak mengantar cucunya pertama kali masuk sekolah."Iya."Hari ini Mikail dan Ryan ada tugas keluar kota dan kemungkinan sampai sore, jadi tidak bisa menemani Hanna berkunjung ke Pulau Summer. Namun dia sudah meminta Alina dan Lucas untuk mengawal. Harusnya hari ini aman. Ditambah Irene ikut mengawal jalannya medical check up hari ini menggantikan Jasmine.Mikail memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Lucas yang sudah menjemput Alina sejak pukul 6 pagi. Alina dan Lucas menyambut dengan wajah cerah, merasa liburan berkedok kerja."Pagi Pak Mikail dan Bu Hanna," sapa Alina dan Lucas bersamaan."Pagi," wajah Hanna ketika menyapa Alina juga lebih ceria daripada di dalam mobil tadi.Matahari cukup terik, Mikail memakaikan topi hitam polos seharga jutaan pad
"Selamat siang Bu Paula, ada yang bisa kami bantu?" Ryan sudah mendapat kabar berantai dari Lucas. Kini dia berdiri di depan pintu ruangan Mikail untuk menghadang. Paula menatap tajam, kemudian berkata dengan sedikit lemah lembut karena tahu jika 2 asisten Mikail sangat kaku. "Aku mau bertemu dengan Mikail," katanya singkat. Ryan melihat tab yang berisi jadwal harian Mikail dan menunjukkannya kepada Paula. "Maaf tapi Bu Paula belum memiliki janji untuk hari ini. Karena jadwal Pak Mikail sangat padat, sebaiknya Bu Paula membuat janji terlebih dulu." "Aku ini Bibinya, mana mungkin Mikail menolak meski aku nggak buat janji," mata Paula melebar dan alisnya berkerut. Ryan sudah memasang kuda-kuda untuk menghadang Paula, hingga satu panggilan pada ponsel Paula menggema dan memunculkan nomor Patricia. Dibanding Paula yang seorang janda tanpa anak dan peninggalan harta, Patricia jauh lebih berkuasa. Entah apa yang dikatakan Patricia, namun Paula terlihat cemas dari kejauhan. Tidak lama ke
Satu minggu kemudian, medical check up sudah digelar untuk Snail Resort. Dari pengambilan sampel darah, urine, ronsen, juga fisik dengan dokter. Karena tempat ini adalah kantor utama, jadi dikirim dokter Eddie yang cukup senior untuk mendampingi pemeriksaan fisik. Semuanya bisa dilakukan satu minggu lebih awal daripada jadwal tahunan."Selamat pagi. Perkenalkan aku Jasmine, marketing yang akan mendampingi tim medical check up." Seorang wanita berpakaian warna kuning terang menjulurkan tangan ke arah Hanna."Pagi... Aku Hanna, Assistant General Manager. Silahkan dimulai check up-nya."Karyawan yang hari ini melakukan pemeriksaan hanya berjumlah 230 orang. Semua berjalan lancar tanpa drama.Hanna sempat bertanya bagaimana pelayanan tim yang baru ini, 60% menjawab lebih baik daripada tim check up tahun kemarin. Ini bisa menjadi bahan pertimbangan ketika Mikail melakukan review.Mikail, Hanna, Alina, Lucas dan Ryan mendapat giliran terakhir setelah memastikan semua karyawan berjalan dengan
"Abe hanya milik Irene," Hanna tertawa geli dengan kalimat yang Mikail ucapkan.Sejak Sekolah Dasar, Abelard Winston begitu mencintai Irene dan berniat melamarnya setelah lulus kuliah. Tentu saja ditolak, selain tidak ingin terikat, penampilan Abe begitu culun. "Jangan bikin aku nggak minat makan karena membahas Abe. Lebih baik kamu cek daftar harga yang aku berikan," sungut Irene.Mikail menarik kursi hingga mendekat di sebelah Hanna. Dia memperhatikan perbandingan yang telah Hanna buat antara Laboratorium milik Irene dan Rumah Sakit yang lama. Dari harga per-pemeriksaan, jenis alat, lama hasil pengecekan dan harga vaksin, terlihat bahwa Laboratorium Irene lebih unggul. Mikail harus memeriksa berkas General Manager yang lama, kenapa dia terus memakai Rumah Sakit itu selama bertahun-tahun dan merugikan perusahaan.Tanpa banyak bicara, Mikail memberikan tanda tangan digital pada lembar penawaran yang Hanna buat."Wah, langsung di acc?" Wajah Hanna begitu sumringah."Ya," jawaban singkat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments