Home / Rumah Tangga / Satu Malam Bersama Adik Suamiku / Bab 3: Tatapan yang Mulai Menyentuh

Share

Bab 3: Tatapan yang Mulai Menyentuh

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-11-14 19:12:41

Ayla bahkan baru sadar jika hujan pagi itu berhenti sekitar pukul sembilan.

Namun, udara dingin masih mengendap di setiap sudut rumah, membuat Ayla sedikit merapatkan cardigan abu-abunya.

Ia duduk di ruang tamu, di sofa kecil dekat jendela, dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara Adrian dari ruang makan, entah sedang mengetik sesuatu di laptopnya atau hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.

Ayla mencoba fokus pada buku di tangannya, sebuah novel dengan sampul cokelat pudar yang sudah lama ingin ia baca. Tapi kalimat-kalimat di halaman itu terasa seperti tinta yang mengabur, sulit ia pahami.

Ia membaca berulang-ulang satu paragraf yang sama, tapi pikirannya terus melayang ke arah suara di ruang makan.

"Jangan lihat," bisiknya pada dirinya sendiri, memaksa matanya tetap tertuju pada halaman buku. Tapi pikirannya terus bergulir tanpa henti.

Ia membayangkan Adrian duduk di kursi itu, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, alisnya yang sering berkerut saat ia berpikir, dan jemarinya yang bergerak lincah di atas keyboard.

“Kenapa aku begini…” gumamnya pelan. Ia menghela napas panjang, meletakkan buku di pangkuannya.

Saat itu juga, suara kursi yang ditarik di ruang makan membuatnya sedikit melompat. Seketika, langkah Adrian terdengar mendekat. Ayla merapatkan kedua lututnya, menyilangkan tangannya di depan dada, seolah berusaha menciptakan benteng antara dirinya dan Adrian yang kini sudah muncul di ambang pintu.

"Hei," sapanya pelan. Suaranya serak, terdengar ragu.

Ayla mendongak sekilas, hanya sekilas, lalu segera kembali menunduk, berpura-pura sibuk melipat ujung selimut di sofa. “Hei,” jawabnya pendek.

Adrian berdiri di sana, tangan kanannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepul. Matanya menatap Ayla dengan ragu, seolah ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu bagaimana memulainya.

“Kamu lagi ngapain?” tanyanya akhirnya, mencoba terdengar santai.

Ayla mengangkat bukunya sedikit, tidak benar-benar menatap Adrian. “Baca.”

“Oh.” Adrian mengangguk kecil, lalu menyesap kopinya. Keheningan kembali memenuhi ruangan, membuat suara detik jam dinding terasa begitu keras.

“Kalau… aku duduk di sini, nggak apa-apa?” tanya Adrian setelah beberapa saat, menunjuk ke kursi di seberang Ayla.

Ayla mendongak sedikit, menatap kursi itu sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, nggak apa-apa."

Adrian duduk perlahan, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil di samping kursi. Ia duduk dengan posisi yang sedikit kaku, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuannya. Matanya sesekali melirik ke arah Ayla, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan setiap kali Ayla terlihat hendak menoleh.

Ayla kembali berpura-pura membaca, meski ia tahu tidak mungkin ia bisa fokus dengan keberadaan Adrian yang begitu dekat. Aroma kopi yang dibawa Adrian kini memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma hujan yang samar dari luar.

Sesekali, ia mendengar suara napas Adrian, pelan tapi jelas, membuat udara di sekitarnya terasa semakin sesak.

Mereka diam seperti itu untuk waktu yang terasa sangat lama. Tidak ada yang benar-benar bicara, tapi keheningan di antara mereka terasa begitu hidup, seolah ada sesuatu yang mencoba menerobos batas yang mereka ciptakan sendiri.

Hingga akhirnya, Ayla memberanikan diri mengangkat wajah. Sekilas saja, pikirnya. Hanya sekilas, untuk memastikan bahwa Adrian tidak sedang memperhatikannya. Tapi saat ia melakukannya, matanya langsung bertemu dengan tatapan Adrian.

Mata mereka bertemu hanya untuk beberapa detik, tapi itu cukup untuk membuat Ayla merasa seperti ada aliran listrik yang mengalir di seluruh tubuhnya. Mata Adrian terlihat gelap, dalam, tapi ada sesuatu yang lembut di sana. Sesuatu yang membuat dada Ayla terasa sesak.

Ayla buru-buru mengalihkan pandangannya, kembali ke bukunya. Tapi ia tahu, halaman itu sekarang sama sekali tidak berarti. Jemarinya gemetar sedikit, membuat buku di tangannya bergetar halus.

Adrian juga mengalihkan pandangannya, meminum kopinya dengan cepat seolah itu bisa mengusir ketegangan yang tiba-tiba muncul. Ia mengusap tengkuknya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika merasa canggung.

"Maaf," katanya tiba-tiba.

Ayla mengerutkan kening, tapi tetap tidak melihat ke arahnya. "Kenapa?"

"Kalau aku… bikin kamu nggak nyaman." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

Ayla menggeleng pelan, matanya masih terpaku pada buku yang tidak lagi ia baca. "Kamu nggak bikin aku nggak nyaman, Adrian."

Adrian terdiam, menatap cangkir kopinya yang kini tinggal setengah. Ia tahu Ayla hanya berusaha sopan. Tentu saja ia membuat Ayla tidak nyaman. Bahkan dirinya sendiri merasa seperti orang asing di rumah ini sekarang.

Sore harinya, Ayla berada di dapur, mencoba menyibukkan diri dengan memasak. Ia mencincang bawang putih di atas talenan kayu, iramanya pelan tapi teratur. Udara di dapur terasa hangat, aroma tumisan bawang bercampur dengan rempah-rempah mulai memenuhi ruangan.

Ayla merasa ini adalah tempat terbaik untuk menyembunyikan dirinya.

Tapi kemudian, suara langkah itu datang lagi. Langkah Adrian. Ia bisa mengenali langkahnya di mana saja sekarang.

Adrian berhenti di pintu dapur, tidak benar-benar masuk. “Butuh bantuan?” tanyanya dengan nada hati-hati.

Ayla meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada bawang yang sedang ia cincang. “Nggak, aku bisa sendiri.”

Adrian mengangguk, meski Ayla tidak melihatnya. Ia bersandar di kusen pintu, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kamu selalu masak sendiri?" tanyanya lagi, mencoba mencairkan suasana.

“Biasanya ada Mbak Siti, tapi tadi dia pulang lebih awal karena hujan,” jawab Ayla, tetap tanpa menoleh.

“Oh.” Adrian terdiam lagi, matanya memperhatikan gerakan tangan Ayla yang cekatan. Ia tidak bisa menahan diri untuk memerhatikan hal-hal kecil—cara Ayla menyelipkan rambut ke belakang telinga, kerutan kecil di keningnya saat ia fokus, atau bagaimana ia menggigit bibir bawahnya ketika berpikir.

“Adrian,” suara Ayla memecah lamunannya.

“Hah?” Adrian tersentak, merasa seperti anak kecil yang ketahuan melamun di kelas.

“Kamu kenapa berdiri di sana? Kalau nggak ada apa-apa, mending kamu ke ruang tamu aja,” kata Ayla, suaranya datar, tapi ada nada canggung di sana.

Adrian menggaruk belakang kepalanya, tertawa kecil. “Maaf. Aku cuma… ya, nggak tahu mau ngapain.”

Ayla akhirnya berhenti mencincang, menaruh pisaunya di atas talenan. Ia menoleh, menatap Adrian dengan pandangan yang sulit ditebak. "Adrian, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi tolong... jangan bikin ini lebih sulit dari yang sudah ada."

Adrian menahan napas. Ia tahu apa yang Ayla maksud, tapi mendengar kata-kata itu langsung darinya terasa seperti pukulan di dada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 176: Cinta yang Terus Hidup

    Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 175: Cinta yang Membanggakan

    Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 174: Mengenang yang Terkasih

    Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 173: Warisan Cinta

    Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 172: Saling Menemani Hingga Akhir

    Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 171: Kehidupan Penuh Cinta

    Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status