Dalam gelapnya malam, sebuah kesalahan tak terduga mempertemukan dua hati yang terikat oleh rasa yang tak boleh ada. Adrian, sang adik ipar, bahkan mampu membuat nyaman Ayla dibanding Bram yang sosoknya semakin hari semakin kasar. Lantas, bagaimana kisah keduanya?
View MoreLangit malam memeluk bumi dengan sunyi yang pekat. Jam dinding di kamar Ayla berdetik pelan, hampir tenggelam oleh keheningan. Pukul sudah lewat tengah malam, dan kasur di sebelahnya tetap dingin.
Ayla menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, mencoba menahan dingin yang menusuk, entah dari udara malam atau dari hatinya yang terasa semakin sepi.
Di bawah bias temaram lampu meja yang nyaris padam, wajah Ayla tampak tenang, meski pikirannya jauh dari kata itu. Bram tidak pulang lagi malam ini. Ia tidak perlu repot-repot mencari alasan—lembur, pekerjaan kantor yang menumpuk, atau klien yang tak bisa ditinggalkan.
Semua itu sudah menjadi bagian dari narasi yang biasa ia dengar.
Ayla sudah terbiasa, atau setidaknya ia mencoba membiasakan diri. Tapi tidak malam ini. Ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan asing merayap di dadanya, mencengkeram hatinya dengan dingin yang sulit dijelaskan.
Ia merapatkan selimutnya lebih erat lagi, menatap langit-langit kamar yang kosong, berharap kantuk datang dan membawa pergi perasaannya yang tak menentu.
Namun, ketika ia akhirnya terlelap, sesuatu yang tak biasa terjadi.
Kasur itu bergoyang pelan. Ayla setengah sadar, merasakan seseorang naik ke sisi tempat tidurnya. Aroma tubuh yang hangat dan khas langsung tercium, membuatnya sedikit rileks. Bram, pikirnya. Akhirnya suaminya pulang, meski tanpa kabar, seperti biasa. Ia bergeser sedikit ke sisi kasur, memberi ruang.
"Bram?" gumamnya pelan, suaranya serak karena kantuk. Tidak ada jawaban, hanya desahan napas yang terasa dekat sekali di telinganya.
Tubuh itu berbaring di sampingnya, dan tangan yang hangat menyentuh punggungnya pelan. Sentuhan itu lembut, penuh kehati-hatian, berbeda dengan Bram yang biasanya cenderung kasar dan tergesa-gesa. Ayla terdiam, tapi tidak bergerak.
Ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa lebih nyaman daripada yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.
Mungkin ini hanya khayalannya saja, pikir Ayla. Mungkin Bram akhirnya berubah. Mungkin dia sadar bahwa selama ini ia terlalu jauh darinya. Ia menghela napas lega, merasakan ketenangan yang aneh. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ayla merasa tidak sendirian.
Cahaya matahari pagi merangkak masuk melalui celah tirai, menerpa wajah Ayla yang tertidur lelap. Ia menggeliat pelan, menarik selimut ke atas kepala untuk menghindari cahaya yang terlalu terang. Tapi ada sesuatu yang membuat tubuhnya kaku. Sebuah suara napas yang berat, dekat sekali. Terlalu dekat.
Perlahan, ia membuka matanya. Di sampingnya, seseorang masih tertidur dengan wajah damai, rambutnya sedikit berantakan. Mata Ayla melebar seketika, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan Bram.
“Adrian?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tubuhnya gemetar, tangannya memegang erat tepi selimut seolah itu bisa melindunginya dari kenyataan yang baru saja ia lihat. Adrian, adik kandung Bram, tidur di sebelahnya.
Ia membeku, pikiran dan tubuhnya seperti tidak terhubung. Napasnya terengah, sementara ia mencoba mencari alasan, jawaban, apa pun yang bisa menjelaskan ini semua.
Adrian bergerak pelan, mengerjap-ngerjap, perlahan bangun dari tidurnya. Mata cokelatnya yang teduh kini dipenuhi kebingungan. Ketika ia menyadari di mana dirinya, wajahnya langsung pucat.
"Ayla?" suara Adrian pecah, nyaris berbisik. "Ini… ini apa? Aku di mana?"
Ayla mundur sedikit, memegangi selimut seperti benteng pelindung. “Itu yang seharusnya aku tanyakan! Apa yang kamu lakukan di sini, Adrian?!”
Adrian menatap sekeliling, matanya memandang kamar yang jelas-jelas bukan miliknya. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba membangunkan dirinya dari mimpi buruk ini. "Aku... Aku nggak tahu. Aku..." suaranya terputus, ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Jangan bilang kamu nggak tahu!" Ayla menatapnya tajam, meski tubuhnya masih gemetar. "Kamu masuk ke kamarku! Di tempat tidurku!"
"Aku nggak sengaja!" Adrian berseru, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ayla. "Aku... Aku mabuk tadi malam. Aku pikir aku masuk ke kamar tamu!"
Hening menyelimuti ruangan. Ayla memandangi Adrian, matanya dipenuhi rasa bingung dan cemas. “Mabuk? Adrian, kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Kamu tidur di sini, di tempat tidurku!” suaranya bergetar, tapi ia berusaha keras untuk tetap terdengar tegas.
Adrian menunduk, kedua tangannya mengepal di atas lutut. "Aku nggak sadar, Ayla. Aku sumpah. Aku pikir aku masuk ke kamar tamu. Aku nggak pernah niat buat ini. Aku nggak pernah…"
Ayla tidak menjawab. Ia memalingkan wajah, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, lebih dari sekadar amarah atau kebingungan. Sentuhan tadi malam kembali terlintas di pikirannya, kehangatan itu, rasa nyaman yang membuatnya merasa tidak sendirian.
Ia menggelengkan kepala keras-keras, berusaha mengusir pikiran itu. Ini salah. Semua ini salah.
“Kamu harus pergi,” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Sebelum Bram pulang. Kita nggak boleh ada di situasi seperti ini lagi.”
Adrian menatapnya, matanya yang cokelat itu tampak penuh rasa bersalah. Tapi ia tidak membantah. Ia bangkit perlahan, tubuhnya masih sedikit kaku karena tidur di posisi yang salah. Tanpa sepatah kata pun lagi, ia berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Ayla dalam keheningan yang semakin mencekam.
Ayla duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah dinding. Pikirannya berputar, mencoba mengurai kejadian tadi malam. Ia mencoba mengingat, memutar ulang setiap detail, mencari sesuatu yang mungkin ia lewatkan.
Tapi tidak ada apa-apa. Yang tersisa hanya sentuhan hangat di punggungnya, suara napas yang tenang, dan rasa nyaman yang menghantuinya.
Ia merasa perasaan bersalah mulai merayap masuk. Bagaimana mungkin ia merasa nyaman dengan situasi yang seharusnya membuatnya marah? Adrian adalah adik suaminya, seseorang yang seharusnya tidak pernah melintasi batas itu.
Tapi, meski ia berusaha keras untuk menyangkal, kenyataan itu tetap ada. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dihargai, bahkan jika itu hanya sesaat.
Sebuah suara pintu terbuka dari lantai bawah membuatnya tersentak. Bram. Ayla berdiri tergesa-gesa, mencoba menata dirinya sendiri sebelum suaminya mendapati wajahnya yang penuh kecemasan.
Bram melangkah masuk ke rumah dengan raut wajah lelah. Jas kerjanya tampak berantakan, dasinya longgar, dan rambutnya kusut. Ia menatap Ayla sekilas saat ia turun dari tangga, tapi tidak mengatakan apa-apa. Seperti biasa.
“Kamu nggak tidur lagi?” tanya Bram, suaranya datar, hampir tanpa emosi.
Ayla menelan ludah, mencoba menjawab dengan nada biasa. "Aku baru bangun."
Bram mengangguk kecil, melepaskan jasnya dan melemparnya begitu saja ke sofa. Ia tidak menoleh lagi ke arah Ayla, hanya berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air.
Ayla mengikutinya dengan pandangan, matanya mengamati setiap gerakan suaminya, mencoba mencari jejak kehangatan yang dulu pernah ada di antara mereka. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya dingin.
Bram meneguk airnya, lalu berbalik, menatap Ayla sekilas. “Aku mungkin pulang malam lagi hari ini. Ada kerjaan tambahan.”
Ayla mengangguk kecil, tidak berkata apa-apa. Ia tahu percuma saja bertanya atau memprotes. Jawabannya akan tetap sama.
Ketika Bram akhirnya pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya, Ayla tetap berdiri di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu.
Pikirannya kembali melayang ke kejadian tadi malam.
"Apa yang harus kulakukan?" batinnya kebingungan.
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments