Trang!
Denting piring yang beradu dengan sendok menjadi satu-satunya suara di meja makan pagi itu. Bram, seperti biasa, duduk di kursi ujung, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya terus menggulir layar, sesekali mengetik sesuatu.
Ayla duduk di seberangnya, memandang semangkuk bubur ayam di depannya yang sudah dingin tanpa pernah disentuh.
Namun, yang membuat Ayla lebih canggung adalah sosok di sebelahnya—Adrian. Pria itu tampak sama gelisahnya. Ia memegang sendok, tetapi tidak benar-benar makan. Matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya dari mangkuk yang ia aduk-aduk dengan gerakan mekanis.
Hening itu mencekam. Meski di luar matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang keduanya ingin lupakan, tapi tak tahu bagaimana caranya.
“Ayla,” suara Bram tiba-tiba memecah keheningan. Mata Ayla langsung menoleh, tubuhnya menegang.
“Iya?” suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
“Ada kopi lagi nggak? Kopiku habis,” tanya Bram sambil mengangkat cangkir keramik putihnya, tanpa menoleh sedikit pun dari ponselnya.
“Oh, ada. Aku buatkan lagi,” jawab Ayla cepat, hampir seperti pelarian. Ia segera bangkit dari kursinya, melangkah ke dapur dengan langkah tergesa.
Adrian diam. Ia melirik Bram sekilas, lalu matanya kembali ke mangkuknya. Sendok di tangannya berhenti bergerak, hanya menggantung di atas bubur yang hampir tumpah ke pinggir mangkuk. Ayla muncul lagi beberapa menit kemudian dengan segelas kopi hitam, meletakkannya di samping tangan Bram.
“Thanks,” Bram bergumam, lalu kembali tenggelam dalam layar ponselnya.
Ayla kembali duduk di kursinya, mencoba tampak tenang, meski tubuhnya terasa tegang dari kepala hingga ujung kaki. Matanya tak sengaja bertemu dengan Adrian. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka seperti membeku.
Tatapan Adrian penuh permohonan, seperti ingin berkata sesuatu, tapi tidak mampu mengucapkannya. Ayla buru-buru menunduk, menyibukkan dirinya dengan merapikan serbet di pangkuannya.
“Adrian,” Bram tiba-tiba memanggil, membuat Ayla dan Adrian sama-sama tersentak.
“Ya?” Adrian menjawab, suaranya sedikit serak.
“Kamu masih di sini sampai kapan?”
Adrian terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin seminggu lagi,” jawabnya akhirnya. “Aku masih harus selesaikan beberapa urusan di kota.”
Bram mengangguk, masih sibuk dengan ponselnya. “Ya udah, nggak apa-apa. Tapi jangan bikin repot Ayla ya. Dia udah cukup sibuk.”
Adrian hanya mengangguk pelan, meski ada kilatan aneh di matanya. Ayla merasakan hal itu, tapi ia pura-pura tidak menyadarinya.
Setelah sarapan selesai, Bram pergi ke kantor seperti biasa, meninggalkan Ayla dan Adrian di rumah. Pintu depan menutup dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Ayla dan Adrian sama-sama terdiam di ruang tamu.
Ayla berdiri di dekat sofa, memegang cangkir teh hangat yang aromanya samar memenuhi ruangan. Adrian duduk di sudut sofa, punggungnya sedikit membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut.
“Ayla,” suara Adrian memecah keheningan. Ia tidak menatap Ayla, hanya menatap lantai, tapi suaranya serius. “Kita harus bicara.”
Ayla menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkirnya di meja. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Adrian,” katanya pelan, tapi tegas.
Adrian akhirnya mendongak, menatap Ayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku nggak bisa pura-pura ini nggak terjadi.”
Ayla meremas jemarinya sendiri, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin merayap. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak sejauh mungkin dari Adrian.
“Kamu harus pura-pura,” katanya lirih. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berani melihat Adrian. “Apa yang terjadi tadi malam… itu nggak boleh ada. Itu cuma… kesalahan. Kita sama-sama tahu itu.”
Adrian diam, tapi ada kerutan di dahinya. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu. “Tapi aku nggak bisa melupakan begitu saja, Ayla. Aku…” Ia berhenti, menarik napas panjang. “Aku nggak mau kamu berpikir aku sengaja.”
Ayla akhirnya menoleh, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. “Aku tahu kamu nggak sengaja, Adrian,” katanya, suaranya mulai bergetar. “Tapi itu bukan masalahnya. Masalahnya adalah… kita nggak bisa biarkan ini memengaruhi apa pun. Bram nggak boleh tahu. Nggak ada yang boleh tahu.”
Adrian mendongak, matanya bertemu dengan Ayla. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah, rasa bingung, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam. “Jadi… kita cuma pura-pura nggak ada apa-apa?” tanyanya pelan.
Ayla mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Iya. Kita harus pura-pura. Itu satu-satunya cara.”
Adrian terdiam, tapi akhirnya ia mengangguk kecil. “Oke,” katanya singkat. Suaranya terdengar lemah, hampir seperti menyerah.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Ayla bangkit dari duduknya, mengambil cangkir tehnya, lalu berjalan menuju dapur. Tapi sebelum ia sampai di pintu, suara Adrian menghentikannya.
“Ayla.”
Langkahnya terhenti. Ia tidak berbalik, hanya berdiri di tempatnya, menunggu Adrian melanjutkan.
“Maaf,” katanya akhirnya, suaranya lirih tapi penuh makna.
Ayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya ke dapur, meninggalkan Adrian sendirian di ruang tamu.
Hari itu hujan turun lebat. Ayla berdiri di depan jendela dapur, memandangi tetesan air yang jatuh di kaca. Udara dingin menusuk, tapi ia tidak merasa perlu menyalakan penghangat. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.
Semua yang terjadi tadi malam, pagi ini, dan bahkan beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Wajah Adrian yang penuh rasa bersalah, tatapannya yang dalam, suara lirihnya ketika meminta maaf—semuanya melekat di pikirannya.
Ayla menutup matanya, mengambil napas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa selama mereka berdua bisa menjaga rahasia ini, tidak ada yang akan berubah.
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu tidak benar. Ada sesuatu yang telah berubah, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaikinya.
“Bu Ayla,” suara Mbak Siti, pembantu rumah tangga mereka, membuyarkan lamunannya.
“Iya, Mbak?” Ayla berbalik, mencoba memasang senyum meski wajahnya tampak lelah.
“Saya mau pulang dulu, ya, Bu. Hujannya mulai reda, saya takut nanti makin malam malah hujan lagi.”
“Oh, iya. Hati-hati ya, Mbak,” kata Ayla sambil mengangguk.
Mbak Siti tersenyum, lalu melangkah keluar dari dapur. Ayla mengikutinya dengan pandangan sampai pintu belakang tertutup, meninggalkan dapur itu kosong.
Setelah beberapa saat, Ayla kembali menatap ke jendela. Hujan memang mulai mereda, tapi langit masih kelabu. Daun-daun basah berkilau diterpa sinar matahari yang samar. Suasana itu begitu tenang, tapi hati Ayla jauh dari tenang.
Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus menjaga semuanya tetap terkubur. Ia harus melupakan kejadian tadi malam. Ia harus menjaga jarak dari Adrian.
Tapi mengucapkannya jauh lebih mudah daripada melakukannya.
Terlebih, ia sadar bahwa perasaan kosong yang selama ini menghantuinya mulai terisi......
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s