“Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.
Deg!
Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”
Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.
Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.
Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.
*** Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.
Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketika memanggil nama Ayla dari ruang tamu—semuanya memberitahu bahwa ada badai yang akan datang.
"Ayla!" panggilnya dengan nada tinggi.
Ayla, yang sedang berada di dapur menyiapkan makan malam, terdiam. Sendok di tangannya berhenti bergerak di atas mangkuk sup yang hampir selesai ia aduk. Napasnya tertahan sejenak, lalu perlahan ia meletakkan sendok di piring kecil di sebelah kompor.
"Iya, aku di dapur," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. Tapi, ia tahu betul, ini bukan pertanda baik.
Langkah kaki Bram mendekat dengan cepat. Ketika ia muncul di pintu dapur, wajahnya tampak tegang. Matanya tajam, seperti seseorang yang sedang menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
“Kamu ngapain?” tanyanya, suaranya dingin.
Ayla menelan ludah. Ia tahu ini pertanyaan retorik, sesuatu yang tidak benar-benar membutuhkan jawaban. “Aku lagi masak makan malam,” katanya hati-hati, matanya melirik panci yang masih berisi sup.
“Makan malam?” Bram tertawa sinis. “Kamu pikir aku peduli soal makan malam sekarang?”
Ayla mengernyit, tapi ia tidak membalas. Tangannya sedikit gemetar saat mencoba melepas celemeknya. "Ada apa, Bram?" tanyanya pelan.
Bram mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski tidak terlalu menyengat. “Ada apa? Serius kamu nanya itu?” Matanya melotot, rahangnya mengeras. “Kamu tahu nggak, Ayla, aku baru saja kena masalah besar di kantor! Dan kamu di sini cuma… masak?”
Ayla menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sudah terbiasa dengan sikap ini. Bram yang selalu mencari pelampiasan untuk stresnya, entah itu di pekerjaannya, di rumah, atau pada dirinya.
“Bram, aku nggak tahu apa yang terjadi di kantor, tapi aku…”
“Apa?!” Bram memotong, suaranya meninggi. “Kamu nggak tahu? Tentu kamu nggak tahu! Kamu cuma duduk di rumah, masak, bersih-bersih, seolah itu cukup! Kamu nggak pernah ngerti apa yang aku alami!”
Ayla merasakan dadanya mencelos. Kata-kata itu menyakitkan, meski ini bukan pertama kalinya ia mendengar hal seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang membuat hatinya semakin remuk.
Ia mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat. Bram mendengus kesal, lalu berbalik meninggalkannya. “Jangan ganggu aku malam ini,” katanya sambil melangkah keluar dapur. “Dan tolong berhenti bikin rumah ini terasa seperti neraka.”
Pintu ruang kerjanya tertutup dengan keras, meninggalkan Ayla berdiri sendirian di dapur. Tangannya masih memegang celemek, tubuhnya kaku, matanya mulai memanas. Ia menunduk, mencoba mengendalikan napas yang mulai tersendat.
Adrian baru saja kembali dari luar rumah, membawa kantong plastik berisi beberapa bahan makanan yang Ayla titipkan padanya tadi pagi. Ketika ia masuk ke rumah, ia melihat Bram berjalan cepat ke ruang kerja dengan wajah gelap. Adrian tahu itu artinya ada masalah.
Langkahnya melambat saat ia mendekati dapur, dan di sana ia melihat Ayla. Wanita itu berdiri membelakangi pintu, punggungnya tampak tegang, bahunya sedikit gemetar. Plastik belanjaan di tangan Adrian hampir jatuh saat ia menyadari bahwa Ayla sedang menangis.
“Ayla?” panggilnya pelan.
Ayla tersentak sedikit, lalu cepat-cepat mengusap wajahnya dengan ujung lengan cardigan. Ia berbalik, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Oh, kamu sudah pulang," katanya, mencoba terdengar ceria. Tapi matanya yang merah membengkak tidak bisa menyembunyikan apa yang baru saja terjadi.
Adrian mengernyit, menaruh kantong plastik di meja dapur. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Ayla cepat. Ia berbalik lagi, pura-pura sibuk membersihkan meja. “Bram cuma… ya, dia stres di kantor. Itu saja.”
Adrian menatap punggung Ayla dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia tahu Ayla tidak mengatakan semuanya. Tidak perlu kata-kata, karena sikap Ayla saja sudah cukup untuk memberitahu Adrian bahwa Bram telah melakukan sesuatu yang menyakitkan lagi.
“Ayla,” panggilnya lagi, kali ini lebih lembut.
Ayla menghentikan gerakannya, tapi ia tidak berbalik. Adrian mendekat perlahan, berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. “Dia nyakitin kamu lagi, ya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Ayla tetap diam, tapi Adrian bisa melihat dari cara tubuhnya membungkuk sedikit bahwa jawabannya adalah iya.
“Aku nggak apa-apa, Adrian,” akhirnya Ayla berkata, suaranya pelan, hampir berbisik. “Ini cuma… biasa saja.”
“Biasa saja?” Adrian mengulang dengan nada tidak percaya. “Ayla, ini nggak biasa. Kamu nggak seharusnya diperlakukan kayak gini. Apalagi oleh dia.”
Ayla menghela napas panjang, lalu berbalik, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. "Bram cuma lagi stres. Aku ngerti dia."
Adrian menggeleng pelan, tatapannya semakin tajam. “Stres itu bukan alasan buat kasar sama kamu. Nggak pernah jadi alasan.”
Ayla menunduk, tidak mampu menatap mata Adrian lebih lama. "Ini pernikahan, Adrian. Kadang memang begini. Aku nggak bisa…” Ia berhenti, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bisa menyerah cuma karena dia marah-marah.”
Adrian diam, rahangnya mengeras. Ia ingin membantah, ingin mengatakan sesuatu yang bisa menyadarkan Ayla, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Ayla sudah cukup terluka, dan ia tidak ingin membuatnya semakin terpojok.
“Kalau kamu butuh sesuatu… apa saja…” Adrian akhirnya berkata, suaranya lebih pelan sekarang, penuh dengan kesungguhan. “Aku di sini, Ayla.”
Ayla menatapnya sejenak, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kehangatan yang begitu tulus di mata Adrian. Ada sesuatu di sana yang membuatnya merasa… aman. Tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan, takut perasaan itu tumbuh lebih besar.
“Terima kasih,” katanya pelan, lalu kembali berbalik, pura-pura sibuk dengan masakannya.
Adrian tetap berdiri di sana untuk beberapa saat, menatap punggung Ayla dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu Ayla sedang berusaha keras menutupi luka-lukanya, tapi ia juga tahu bahwa luka itu semakin dalam setiap harinya.
Ia ingin melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil membawa risiko yang besar.
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu, mencoba menyelesaikan novel yang sama yang ia baca pagi tadi. Tapi seperti sebelumnya, pikirannya sulit fokus. Dari kamar kerja Bram, samar-samar terdengar suara ketikan keyboard dan sesekali suara langkah kaki yang mondar-mandir.
Adrian muncul dari dapur dengan segelas air di tangannya. Ia melihat Ayla di sofa, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Kamu nggak tidur?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
Ayla menoleh, memberikan senyum kecil. “Belum. Kamu juga?”
Adrian duduk di sofa yang berbeda, menyesap air dari gelasnya. “Nggak ngantuk.”
Mereka kembali diam. Hanya suara jam dinding dan gemerisik daun dari luar jendela yang mengisi keheningan.
Adrian akhirnya bicara lagi, suaranya pelan tapi serius. “Ayla, aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan tentang semua ini. Tapi aku benar-benar nggak suka cara Bram memperlakukan kamu.”
Ayla memandang Adrian dengan mata yang sedikit membesar. “Adrian, aku mohon, jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Bram.”
“Tapi aku nggak bisa diam aja.” Tatapan Adrian tajam, tapi tidak menghakimi. “Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan disakitin.”
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn