Saat pesanku terkirim di saat itulah aku menyadari mungkin aku terlalu to the point. Semestinya tadi aku berbasa-basi dulu. Setidaknya aku bertanya kabar Kenzio atau sekadar say hello. Bukannya langsung menodong minta bantuan.
Semenit dua menit hingga sepuluh menit aku menunggu, namun pesanku masih belum dibaca. Mungkin Kenzio sudah tidur. Mungkin ponselnya mati. Atau mungkin dia sudah melihatnya tapi sengaja tidak membalas karena kalimat ‘Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya’ hanya sekadar basa-basi.
Lagi pula Kenzio belum tentu masih mengingatku. Selain aku hanya sampah, ada ribuan atau jutaan nama Viola di dunia ini. Apalagi akunku privat dan foto profilku bukan fotoku melainkan sebuah quote sok bijak.
Aku mengesah lelah sambil mengucek mata. Angin dingin yang menyerang tubuh basahku membuatku semakin menggigil. Selain mata yang mulai berat, perutku ikut-ikutan lapar. Tadi karena sibuk berkutat dengan laptop aku melewatkan makan malam.
Aku membawa tubuh yang semakin lemah berbaring di bangku halte. Aku siap jika sebentar lagi nyawa meninggalkan raga. Nggak ada gunanya juga aku hidup. Aku rela mati dengan cara apa pun. Ditabrak, dianiaya, disiksa, dibunuh lalu dimutilasi asal jangan diperkosa.
Ponsel kuletakkan di atas perut, lalu kupejamkan mata untuk menjemput kematian. Satu-satunya cara yang paling indah untuk melepas nyawa saat ini adalah hipotermia.
Sebelum aku benar-benar mati, aku membayangkan seperti apa indahnya surga. Namun yang melintas adalah wajah Kenzio. Hanya dia.
Sejujurnya, selama tujuh atau delapan tahun ini aku tidak melupakannya. Namun setelah acara reuni satu minggu yang lalu ingatan tentang Kenzio semakin lekat di benakku. Wajahnya yang gagah, senyumnya yang khas, caranya melangkah, gerakan bibirnya saat berbicara, hingga gestur apa pun yang ada padanya. Bahkan saat dia diam dan hanya bernapas berhasil membuatku kehabisan napas.
Ting!
Dentingan samar notifikasi bersamaan dengan getar dari ponsel yaang kuletakkan di atas perut membuatku terkesiap. Mataku terbuka lebar. Lalu dengan cepat kuambil benda itu.
Aku terduduk saat mengetahui Kenzio membalas pesan yang tadi kukirim. Dengan tangan gemetar memegang ponsel kubaca balasan pesan dari Kenzio.
“Hi, Viola, what can i do for you?”
Hatiku bersorak. Dia mau membantuku. Ternyata ucapannya kala itu bukan hanya basa-basi.
Tidak membuang waktu, jari-jariku yang memutih dan menggigil akibat kedinginan mengetikkan balasan pesan untuk Kenzio.
“Kenzio, aku lagi ada masalah. Aku butuh tempat menginap malam ini. Boleh aku numpang di rumah atau apartemen kamu? Hanya malam ini.”
Aku menunggu balasan pesan dari Kenzio dengan jantung berdebar kencang. Dia belum membacanya. Atau sudah membaca dari bilah notifikasi tapi sengaja tidak membalas karena tahu apa jenis permintaanku.
Mungkin ekspektasiku terlalu tinggi karena berharap Kenzio akan membantuku. Memangnya siapa aku? Hubunganku dan dia tidak sedekat itu sampai dia bersedia memberiku tumpangan.
Lebih baik aku tidur sekarang dan membuang jauh-jauh harapan dia akan menolongku.
Aku baru akan kembali berbaring ketika ponselku kembali bergetar. Dugaanku salah karena nyatanya Kenzio tidak seburuk yang aku kira.
Dia membalas pesanku!
“Please send your phone number.”
Secepat kilat aku mengetikkan nomor handphone dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa. Tubuhku yang lemah kembali bersemangat. Ibarat baterai ponsel, jika tadi dayanya hanya 1%, sekarang meningkat drastis menjadi 80% setelah mendapat pesan dari Kenzio.
Dua menit setelah menerima nomor handphoneku, Kenzio menelepon.
“Halo.”
“Viola?”
Aku tahu persis siapa pemilik suara di seberang.
“Iya, ini aku.”
“Ini Kenzio. Kamu di mana? Aku jemput kamu sekarang.”
“Aku di Bekasi.”
“Lengkapnya?”
Aku menyebutkan tempatku berada sekarang pada Kenzio dengan rinci lalu menunggunya sampai datang.
Butuh waktu hampir satu jam hingga aku melihat sebuah HR-V putih berhenti di depanku. Seorang lelaki dengan kaos oblong hitam dan jeans abu-abu keluar dari dalamnya. Kenzio.
Aku yang tadinya duduk bermenung sambil memeluk lutut langsung berdiri menyambut Kenzio.
Dia tidak bisa menyembunyikan rasa heran sekaligus prihatin saat melihat keadaanku yang begitu menyedihkan. Tubuh basah kuyup. Bibir yang bergetar kedinginan dan tentu bentuk mukaku yang tidak karuan. Aku yakin pakaian dalamku tercetak dengan jelas melalui baju tidur berbahan tipis dan sudah berbulu.
Tanpa bertanya apa yang terjadi Kenzio membukakan pintu mobil untukku lalu menyuruhku masuk. Dari tempat dudukku aku melihtnya berlari kecil memutari mobil lalu masuk melalui pintu kemudi.
Kenzio memandang padaku sesaat lalu tanpa kuduga dia membuka bajunya yang membuatku kaget. Apa yang akan dia lakukan?
“Pake bajuku dulu, Viola. Aku nggak bawa jaket atau baju yang lain,” ucapnya melihatku kedinginan.
“Kamu gimana?” Aku merasa ragu menerimanya. Dia memberikan bajunya untukku dan membiarkan dirinya bertelanjang dada.
“Aku nggak apa-apa begini.”
Karena terlalu dingin aku tidak punya banyak alasan untuk menerima bantuan Kenzio. Aku membuka baju tidurku lalu memakai baju kausnya yang longgar di tubuhku.
***
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang