Andini Prameswari, istri dari pengusaha berkuasa di daerah Kurta, dia hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan kepura-puraan. Di malam ulang tahun pernikahannya yang kedua, dia kembali menyaksikan pengkhianatan suaminya dan di saat yang sama, takdir mempertemukannya kembali dengan cinta lamanya, Narendra Evans Khile. Cinta itu salah di mata dunia, tapi justru membuatnya merasa hidup kembali. Apakah dia akan terus menjadi istri yang teraniaya demi nama baik keluarga… atau berani bangkit dan memilih cinta sejatinya?
View MoreAndini Prameswari melangkahkan kakinya ke pojok ruangan dengan langkah anggun.
Orang bilang, alkohol bisa memberi sedikit keberanian bagi orang yang meminumnya. Jadi, dia sengaja meneguk sedikit sampanye agar tangannya tidak terlihat gemetar. “Andin .…” Suara tegas seseorang mengagetkannya dari arah belakang. Dia buru-buru menoleh. “Radit masih ada urusan penting. Kamu diminta untuk menghandle semua tamu yang hadir. Ingat, jangan membuatnya kecewa,” kata Sanjaya Winanto, mengingatkan putrinya. Ibunya berdiri di samping dan tersenyum menenangkan. “Dengarkan Mami, sayang. Semua yang kamu lakukan ini untuk kebahagiaan kita semua.” Kebahagiaan kita? Mendengar ucapan itu, batin Andini tertawa miris. Yang dikatakan ibunya hampir benar. Semua ini memang demi kebahagiaan semua orang, demi reputasi, politik, bisnis, dan nama baik. Sayangnya, dia tidak termasuk dalam kata “kita” yang disebut ibunya tadi. Hari ini adalah pesta perayaan anniversary kedua pernikahannya dengan Raditya Mahesa, pewaris tunggal dari keluarga terpandang yang sangat berpengaruh di daerah Kurta. Kilauan lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom Hotel Estrella. Ruangan hotel bintang lima itu sengaja didekorasi dengan begitu mewah. Karena hari ini bukan sekadar perayaan cinta, tetapi juga ajang politik demi memuluskan ambisi Radit untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Kurta. Tubuh semampai Andini tampak anggun dalam balutan gaun berwarna champagne. Kalung berlian rose gold melekat indah pada lehernya, menambah kesan sempurna sebagai istri calon pemimpin daerah. Andini harus tersenyum anggun, tubuhnya harus tetap berdiri tegak, langkahnya juga harus terlihat elegan. Selama dua tahun, dia sudah sangat terlatih memainkan peran sebagai istri sempurna di hadapan publik. Di depan publik, dia adalah perempuan paling beruntung, memiliki suami yang mencintainya begitu besar dan memberikan semua kemewahan dunia. Dia menatap kedua orang tuanya dan tersenyum lembut. Tidak ada yang dia katakan selain mengangguk patuh. Lalu, dia melihat jam tangan Cartier yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 20.49. Radit yang ditunggu semua orang belum juga muncul. Tiba-tiba, ada hal yang mengganggu pikirannya. Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia menarik napas, menghampiri beberapa tamu, dan menyambut mereka dengan ramah. Lalu, perlahan, dia menyelinap keluar dari ballroom dan menuju pintu darurat. Dia sempat ragu beberapa detik di depan lift. Namun, seketika dia menepis keraguan itu. Tangannya memencet tombol buka, lalu masuk dengan cepat. Di bawah, pesta masih berlangsung. Sementara itu, Andini justru menyusuri lorong mewah hotel dengan hati berdebar tak menentu. Langkah kakinya berhenti tepat di depan kamar 1508. Kamar ini adalah ruangan VVIP yang disewa Radit, spesial untuk mereka nanti malam. Bisa dikatakan, kamar ini adalah bagian dari persiapan untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Setelah ragu-ragu sejenak, Andini membuka pintu menggunakan kunci duplikat yang ada di dalam tas tangannya. Dia membuka perlahan. Tidak lebar, hanya selebar lima jari. Tapi itu cukup untuk melihat apa yang ada di dalam. Dia tidak masuk, hanya berdiri di depan pintu. Namun, apa yang dilihatnya saat itu cukup membuat tubuhnya menegang. Darah di tubuhnya berdesir, dan tubuhnya seketika terasa panas seperti terbakar. Adegan ini sama persis dengan apa yang pernah terjadi dua tahun lalu. Suara racauan, lenguhan panjang, terdengar jelas keluar dari mulut wanita yang sama. “Ooh, Radit … lebih cepat, sayang. Aku mohon .…” Suara desah nafas keduanya mengalun seirama, penuh kenikmatan desah cinta, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Kedua mata Andini menyempit. Pupil matanya menggelap, dan tubuhnya gemetar hebat. Karena mendengar suara pintu dibuka, Radit terkejut dan menoleh. Dia melihat istrinya berdiri, menatap ke arahnya. Namun, dia tidak beranjak dari peraduan itu. Dengan gerak santai, dia hanya menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya dan sang kekasih. Sementara wanita di sampingnya menatap marah ke arah Andini, seakan sorot matanya ingin menelan Andini hidup-hidup. “Apa kamu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk, ya?” Sorot matanya penuh kebencian. Andini hanya membalas dengan senyum tipis, lalu beralih menatap Radit. “Kado anniversary kedua, ternyata perselingkuhan lagi, ya? Bagus sekali.” Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa menunggu reaksi mereka, Andini langsung menutup pintu kembali. Dia berdiri mematung di depan pintu yang tertutup itu. Seketika Andini merasa seperti ada batu besar yang tiba-tiba menindih dadanya. Begitu sesak, dan membuatnya sedikit kesulitan bernapas. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tanpa terasa, kuku-kukunya yang runcing menancap dan hampir melukai telapak tangannya sendiri. Lalu, dia melangkah cepat meninggalkan tempat itu. *** Musik menghentak keras di dalam klub malam yang berada di lantai bawah Hotel Estrella. Andini duduk di kursi paling pojok. Dia tidak meminum apapun, hanya duduk sambil menopang dagu. Pikirannya tidak kacau, hanya saja hatinya terasa sangat lelah. Dia merasa lelah bukan karena perselingkuhan suaminya di malam ulang tahun pernikahan mereka, karena kejadian seperti ini bukan yang pertama kali, tetapi saat ini dia mulai merasa lelah karena benar-benar hanya menjadi pajangan saja. Dirinya tak ubah seperti boneka porselen yang dipajang begitu cantik di sebuah etalase, hanya untuk dijadikan pelengkap. Dan itu kenyataannya, dirinya hanyalah pelengkap untuk status Radit. Hubungan mereka tak lebih dari citra demi kekuasaan. Selama ini, dia sudah terlalu diam dan mengalah. Tapi malam ini, sepertinya dia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Andini mulai merasa risih ketika dia menyadari ada beberapa pasang mata yang menatapnya dengan tatapan nakal. Maka dia memutuskan untuk pergi. Sudah lewat pukul sembilan malam. Dia tidak tahu harus ke mana. Rasanya tidak mungkin jika dia pulang ke rumah atau kembali ke pesta. Jadi, dia memutuskan untuk terus berjalan tanpa tujuan. Andini melangkah di jalanan remang. Ada sedikit perasaan takut menghinggapi pikirannya. Di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba Andini menghentikan langkahnya. Di sisi kanan jalan, dia melihat sebuah gedung yang menarik perhatiannya. Sebenarnya gedung itu memang sudah lama berdiri di situ, tetapi yang menarik perhatiannya adalah tulisan di atas gedung itu Galeri Lukis. “Sejak kapan ada galeri lukisan di tempat ini?” tutur Andini pelan sambil mengerutkan kening. Dia mulai berpikir, bukankah beberapa minggu lalu, dia pernah lewat di tempat ini, tapi galeri lukis ini belum ada. Apa tempat ini baru saja dibuka? Andini memang sangat tertarik dengan dunia seni lukis. Bahkan itu adalah hobi serta impiannya sejak kecil untuk menjadi seorang pelukis ternama. Andini melangkah menuju galeri lukisan itu, yang kebetulan masih buka. Begitu langkah kakinya memasuki galeri seni itu, aroma cat minyak bercampur dengan wangi kayu furniture klasik memenuhi indra penciumannya. Seketika saja, Andini merasa jiwanya seperti ditarik untuk masuk ke dalam dimensi lain.Setelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela.Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi.Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu.Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal.Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi.Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini.Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.Walau perkenalannya dengan Andini
Andini menunggu.Satu hari.Dua hari.Tiga hari.Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih me
Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut s
Kemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan.Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta.Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya.Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa.Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masala
Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?Dengan lukisan miliknya.Lukisan yang pernah
Andini Prameswari melangkahkan kakinya ke pojok ruangan dengan langkah anggun.Orang bilang, alkohol bisa memberi sedikit keberanian bagi orang yang meminumnya. Jadi, dia sengaja meneguk sedikit sampanye agar tangannya tidak terlihat gemetar.“Andin .…”Suara tegas seseorang mengagetkannya dari arah belakang. Dia buru-buru menoleh.“Radit masih ada urusan penting. Kamu diminta untuk menghandle semua tamu yang hadir. Ingat, jangan membuatnya kecewa,” kata Sanjaya Winanto, mengingatkan putrinya.Ibunya berdiri di samping dan tersenyum menenangkan. “Dengarkan Mami, sayang. Semua yang kamu lakukan ini untuk kebahagiaan kita semua.”Kebahagiaan kita?Mendengar ucapan itu, batin Andini tertawa miris.Yang dikatakan ibunya hampir benar. Semua ini memang demi kebahagiaan semua orang, demi reputasi, politik, bisnis, dan nama baik. Sayangnya, dia tidak termasuk dalam kata “kita” yang disebut ibunya tadi.Hari ini adalah pesta perayaan anniversary kedua pernikahannya dengan Raditya Mahesa, pewar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments