Share

Telepon Rahasia

Sudah satu minggu lamanya aku tinggal satu atap dengan Kenzio. Seperti yang dikatakannya dulu dia sibuk kerja dan jarang berada di apartemen. Dia baru pulang ketika aku akan beranjak tidur malam. Karena dia terlihat lelah aku juga sungkan mengganggunya. Kami hanya ngobrol seadanya.

Pagi saat aku bangun dia juga sudah siap dengan pakaian ala eksekutif muda. Kenzio memiliki banyak kemeja kerja, namun hanya ada dua warna yang kuhafal, putih dan biru langit, karena dua itulah yang sering dia pakai. Dia memiliki puluhan kemeja dari merek yang berbeda hanya untuk warna yang sama. Sehingga bagi orang yang tidak betul-betul mengenalnya akan menganggap Kenzio hanya memakai baju itu-itu saja.

Satu hal lagi yang kutandai dari Kenzio adalah dia sering nonton televisi tengah malam di ruang tengah padahal ada televisi di kamarnya. Aku nggak tahu apa penyebabnya. Tidak mungkin TV di kamarnya itu rusak karena tanpa sengaja aku pernah melihanya menyala.

Aku tahu kebiasaan Kenzio karena pernah satu malam aku ingin keluar kamar karena haus dan bermaksud mengambil air minum ke belakang. Namun, karena melihat Kenzio sedang nonton sambil rebahan di sofa maka terpaksa kuurungkan niat tersebut.

Malam ini aku nggak bisa tidur. Sudah sejak tadi yang kulakukan adalah berbaring di kasur sambil mengganti posisi berkali-kali. Mulai dari telentang, tengkurap, miring ke kiri, mengarah ke kanan sampai meringkuk di dalam selimut. Namun semuanya tidak berhasil mendatangkan kantukku.

Aku membawa diri duduk lalu memutuskan keluar dari kamar. Mungkin ada yang bisa kulakukan di luar sana. Bersih-bersih, cuci piring, atau apa pun yang bisa membuatku lelah.

Aku baru membuka pintu ketika melihat layar TV menyala. Ada Kenzio di sana. Seperti biasanya dia menonton sambil rebahan di sofa.

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, kalau ada TV di kamarnya kenapa juga dia harus nonton di luar?

Sebelum Kenzio menyadari kehadiranku aku memutuskan untuk balik kanan. Karena jujur saja berada di dekatnya tidak akan pernah biasa bagi hatiku. Sebisa mungkin aku harus meminimalisir interaksi dengannya.

Baru saja kuputar tubuh tiba-tiba telingaku menangkap suaranya.

"Viola!"

Kakiku tertahan sebelum aku berhasil masuk dan menutup pintu.

Kuputar tubuh menghadap padanya. Kenzio yang tadi berbaring ternyata sudah duduk.

"Ya?"

"Belum tidur?"

"Lagi nggak bisa tidur."

"Sini!" Kenzio menepuk kepala sofa memintaku agar mendekat.

Meski bimbang memenuhi hati namun entah mengapa kakiku nggak bisa diajak berkompromi. Aku bergerak mendekatinya lalu menempatkan diri di sebelah Kenzio.

"Kenapa nggak bisa tidur?” tanyanya langsung.

"Nggak tahu, tiba-tiba aja nggak bisa."

"Banyak pikiran pasti. Masih mikirin kerjaan?"

"Gimana aku nggak mikirin? Sampai sekarang belum ada yang nyangkut satu pun. Padahal IPK lumayan, aku juga bukan fresh graduate, nyari kerja yang halal zaman sekarang memang sesusah itu ternyata," keluhku putus asa.

"Coba dipikir lagi. Kali ada yang salah. Mungkin kamu netapin standar terlalu tinggi."

Aku akui aku memang agak pilih-pilih. Sayang aja sih kalau dengan nilaiku yang tinggi serta pengalaman kerja yang kumiliki tapi aku digaji di bawah UMR.

"Menurut kamu salah nggak kalau aku agak milih? Masalahnya aku nggak mau digaji di bawah UMR. Aku bukan fresh grad, dan aku punya pengalaman."

Kenzio menjawab dengan gelengan kepala. "Nggak ada yang salah. Semua orang pasti ingin diperlakukan dengan manusiawi dan layak."

"Berarti pilihanku udah tepat?"

Kenzio mengacungkan jempolnya. "Kalau bukan kita sendiri yang menghargai diri kita, jadi siapa lagi? Sebagai manusia kita harus punya value."

Aku semakin kagum pada Kenzio terlebih oleh cara berpikirnya. Ya Tuhan, akan ke mana lagi dicari cowok seperti ini?

He's too good to be true.

"Tapi ..."

Lanjutan kalimat Kenzio membuatku memandangnya. Aku menunggu apa yang akan dia sampaikan.

"Terkadang kenyataan membuat kita harus berdamai dengan keadaan. Tapi itu bukan berarti menurunkan value yang kita miliki, Viola."

Aku masih menyimak dan mengira-ngira ke mana arah perkataan Kenzio.

"Ada lowongan di kantorku. Jauh dari yang diharapkan memang, gajinya UMR, tapi aku nggak yakin kamu bakalan mau."

Mataku seketika berbinar mendengar penawaran dari Kenzio.

Kenapa nggak dari dulu dia menawarkan padaku ? Bukankah dia CEO? Dia pasti bisa membantuku dengan memberi pekerjaan di kantornya. Dia punya power untuk itu.

"Aku mau, yang penting bisa kerja," sahutku cepat.

Kenzio tersenyum menatapku. 

“Kerjanya di bidang apa? Bagian yang kosong posisi apa?” tanyaku lagi. Aku butuh penjelasan yang lebih jelas dan lengkap.

“Bukan sekretaris CEO sih, tapi office girl. Gimana?”

Jawaban yang aku dengar dari mulut Kenzio membuatku bungkam. Ternyata sangat jauh dari yang kupikirkan. Aku nggak berharap jadi sekretaris CEO, tapi kenapa jatuhnya begitu jauh? Aku juga nggak gengsi untuk kondisiku saat ini. Gengsi nggak bikin kenyang.

“Pekerjaannya nggak terlalu berat. Selain beres-beres paling fotocopy. IMHO coba aja dulu sambil kamu cari-cari yang lain. Cuma sementara kok. Kerja gituan nggak bakal bikin kamu terhina, Viola …” Kenzio mengimbuhkan saat melihatku termangu.

Saat aku sedang larut berpikir, ponsel yang Kenzio letakkan di meja berbunyi. Mataku dan netranya sontak terarah ke tempat yang sama.

Aku melihat sebuah nama tertera di sana. Sebelum aku berhasil membaca dengan jelas, Kenzio mengambil benda itu lalu berdiri dan pergi meninggalkanku sendiri. Membuatku berpikir mungkin dari seseorang yang sangat rahasia sehingga aku tidak boleh mendengarkan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wawan Wulan
cerita sih bagus semua tapi mau baca aja harus pakai koin lama nunggunya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status