Levin memarkir mobilnya dan melihat ada 2 bus besar terparkir tidak jauh dari tempatnya. Mungkinkah bus ini berasal dari sekolah putranya? Sepertinya iya!
Levin melihat sekeliling, berusaha mencari Claire dan putra mereka. Matanya melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah jam 11 lewat. Perjalanan yang Levin tempuh tadi cukup panjang hingga membutuhkan waktu agak lama untuk tiba di tempat ini.Levin melangkah semakin jauh hingga telinganya menangkap suara riuh tak jauh darinya. Levin menoleh dan melihat banyak anak kecil bergerombol diikuti oleh orangtua mereka, tak jauh dibelakangnya.Levin menajamkan penglihatannya dan menemukan satu sosok yang dicarinya sejak tadi pagi. Sosok yang harus memberi penjelasan kepadanya tidak lama lagi.Levin melihat Claire merentangkan tangan pada putra mereka, menyambut ucapan apapun yang dilontarkan anak itu dengan riang. Claire membuka kotak bekal yang langsung dilahap dengan antusias. Hingga satu panggilan menginterupsi obrolLagi, hati Nick berdenyut sakit. Nick paham kalau Claire melakukan hal ini untuk kebaikannya, tapi tetap saja menyakitkan. Hatinya perih meski tidak berdarah! “Baiklah, jika itu maumu maka aku akan melakukannya. Doakan saja agar aku bisa segera bertemu dengan wanita yang aku cintai dan mencintaiku dengan tulus.”“Pasti, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu seperti kamu yang selalu mendoakan hal terbaik untukku.”Setelah itu hanya ada perbincangan santai sebelum sambungan telepon berakhir.‘Saatnya move on, Nick! Kamu harus merelakan Claire yang memang tidak ditakdirkan untukmu!’ batin Nick sambil bersandar lelah di kursi kebesarannya. Sementara itu, setelah bosan menghabiskan waktu di café, sekarang Claire melangkah menuju sekolah Revel. Sengaja tidak menunggu Levin karena sejujurnya Claire tidak tau apakah Levin benar-benar bisa ikut makan siang bersama mereka atau tidak. “Revel!” “Mommy!” “Jangan lari, Sayang. Mommy tidak ingin kamu jatuh
Levin mengangkat alis saat mendengar pertanyaan Claire yang terdengar bodoh dan tidak masuk akal di telinganya.“Omong kosong macam apa itu? Menyerah? Setelah sampai di titik ini? Titik dimana kita saling memaafkan dan bertekad membuka lembaran baru? Tidak mungkin! Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menyerah. Aku tidak peduli apakah mereka bersedia memberikan restu atau tidak, yang pasti aku akan tetap menikahimu.”“Tapi aku tidak ingin menentang daddy Alex. Setelah mengetahui betapa sayangnya daddy Alex kepadaku, aku tidak ingin menjadi putri yang durhaka. Aku sangat menyayangi daddy. Bagiku, daddy adalah orangtua yang sangat hebat. Jika orangtua lain mungkin mereka sudah mengusirku saat mengetahui putrinya hamil diluar nikah, tapi tidak dengan daddy. Beliau bersedia memaafkan serta memberi kesempatan kedua padaku. Sebesar apapun kesalahan yang aku buat, beliau tidak membuangku dan selalu menyayangiku dengan caranya sendiri. Daddy Alex bahkan membantuku dalam banyak
“Astaga, Levin! Kamu membuatku kaget!” keluh Claire setengah hati. Levin mengabaikan keluhan Claire tanpa melepaskan pelukannya. Seolah sengaja ingin memberitahu semua orang kalau Claire adalah miliknya. Wanitanya. Ya, Levin sadar kalau semua pasang mata sedang tertuju ke arah mereka, tapi Levin tidak peduli. Pria itu justru sengaja menunjukkan kemesraan di depan umum membuat hati para karyawan wanita patah berserakan bahkan hancur berkeping-keping karena pria idaman mereka sudah menemukan pelabuhan hatinya! “Apa yang kamu lakukan disini? Apa kamu merindukan calon suamimu yang tampan ini? Hmm?” goda Levin membuat Claire mencibir dengan wajah merona. “Tadi aku mengantar Revel ke sekolah sekaligus mengurus surat kepindahannya dan karena selama bertahun-tahun ini aku sudah terbiasa melanjutkan langkah ke kantor ini, jadi itulah yang aku lakukan.”“Begitukah? Jadi bukan karena ingin menemui calon suamimu?” tanya Levin, dengan mimik wajah yang dibuat sesedih mungk
“Tidak bisakah kita tinggal di Melbourne saja?” tanya Claire, berusaha membujuk, meski sadar kalau bujukannya sia-sia belaka, tapi tidak ada salahnya mencoba kan?“Tidak bisa, Claire. Kamu tau kan kalau kedatanganku ke negara ini hanya sementara? Banyak hal yang harus aku lakukan di Indonesia. Aku harus bertanggung jawab penuh terhadap perusahaan. Jadi tolong untuk kali ini jangan membantahku. Bisa kan?” Claire terpaksa mengangguk. Ya, dirinya tidak boleh egois. Selama ini Levin selalu menuruti kemauan Claire dan bersabar menghadapi sikapnya, jadi kali ini Claire harus bisa melakukan hal yang sama. Apalagi dirinya sadar kalau Levin memiliki tanggung jawab besar yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. “Baiklah. Aku akan mengurus surat kepindahan Revel secepatnya.”“Good! Aku harap dalam minggu ini kita bisa kembali ke Indonesia. Aku tidak sabar ingin segera menghadap daddy Alex agar bisa menikahimu secepatnya!” Claire tersipu sambil mengangguk. Melihat betapa
Levin menatap Claire yang menghela nafas lega. Setelah penjelasan panjang yang membuat jantung mereka berdebar karena sibuk menebak bagaimana respon Revel, akhirnya semua berakhir manis karena Revel bisa menerima kehadiran Levin dengan tangan terbuka, tanpa ada penolakan. Bahkan putranya ingin agar mereka tinggal bersama, hal yang juga sangat diinginkan oleh Levin sejak lama. Saking leganya, Levin sampai tidak bisa menggambarkan kebahagiaan yang melingkupi hatinya dengan kata-kata. “Akhirnya tidak ada lagi hal yang perlu kita tutupi dari Revel.”“Hmm… aku lega. Terima kasih karena kamu telah menemaniku saat memberi penjelasan pada Revel. Terima kasih karena telah menjadikanku sebagai prioritas dalam hidupmu. Aku sangat menghargainya.”“Sejak dulu, kamu selalu menjadi prioritas utama dalam hidupku. Kamu dan Revel lebih penting dari apapun juga.” Claire tersenyum tipis hingga suara Levin kembali terdengar. “Tapi masih ada satu hal yang aku tunggu dari Revel
Revel terdiam, matanya menatap bergantian ke arah Claire dan Levin. Masih enggan percaya. Mungkin takut dibohongi untuk yang kedua kalinya. “Kali ini mommy tidak bohong kan?”Itulah pertanyaan Revel. Ingin meyakinkan diri kalau apa yang telinganya dengar kali ini memang kenyataan, bukan lagi kebohongan seperti dulu. “Tidak, Sayang. Kali ini mommy tidak bohong. Uncle Levin memang daddy kamu.”Mata polos itu kini menatap Levin lekat-lekat. Seolah sedang menimbang-nimbang apakah dirinya bisa menerima kehadiran Levin atau tidak. Tatapan yang membuat Levin panas dingin. Demi Tuhan, tatapan Revel seolah ingin menguliti isi hatinya. “Apa benar uncle adalah daddy kandungku?”“Benar, Revel. Maaf karena da… uncle baru hadir saat kamu sudah sebesar ini.”Levin hampir saja keceplosan mengucap kata ‘daddy’, namun untung dirinya masih sempat meralat ucapannya. Levin tidak ingin terkesan memaksa Revel. Meski dirinya sangat ingin mendengar Revel memanggilnya dengan se