#Saudara Rasa Orang Lain (3)
"Iya, makanya. Songong emang, eneg kakak ngeliat mereka tuh, makanya tadi kakak diem aja cuekin mereka. Biar mereka tau diri. Lagian nih ya, pasti mereka itu nyamperin Bang Majid cuma mau minta duit, dengan dalih untuk anak-anaknya. Dasar emang orang miskin, kalau mau punya duit ya usaha dong, jangan minta-minta terus ke saudara," kali ini Kak Arimbi menjawabnya dengan nada berapi-api. Dan sukses membakar hati ini yang mendengarnya secara langsung.
🌹🌹🌹
Karena telinga ini sudah tak tahan lagi, saat mendengar mereka membicarakanku. Langsung saja aku keluar dari dalam toilet tersebut.
"Li-Li-Lila? Ternyata kamu disini juga?" Kak Arimbi tiba-tiba tergagap saat melihatku, sudah seperti saat bertemu dengan setan saja.
Aku tak menjawab pertanyaannya, aku mencuci tangan di wastafel dengan santai, tanpa menegur Sisil juga yang masih terus mengamatiku.
"Saya permisi dulu, Kak. Oh iya, maaf Kak, saya walaupun hidup susah, tapi Alhamdulillah kok nggak pernah mau untuk ngerepotin saudara, semoga kakak dan Bang Majid bahagia selalu ya?" Kak Arimbi diam terpaku mendengarkan ucapanku, lalu aku melenggang keluar tanpa menunggu jawaban dari mulut Kak Arimbi.
Aku melangkahkan kaki dengan tegas dan terus memandang ke depan, mencari keberadaan suami dan juga anak-anakku.
Sesampainya di depan, aku melihat Bang Arham yang sedang melamun sambil sesekali memperhatikan anak-anak yang sedang bercanda dengan riangnya.
"Bang!" Aku menepuk pundaknya, dia terkejut, lalu tersenyum getir.
"Eh, kamu Dek. Udahan di toiletnya? Kamu tidur apa ngapain, Dek? Kok lama banget?" Pertanyaan beruntun langsung Bang Arham lontarkan, karena memang mungkin aku yang terlalu lama di dalam kamar mandi. Sehingga Bang Arham jadi kelamaan menunggu.
"Bertapa, Bang. Biar cepet kaya! Hahaha." Bang Arham hanya senyam-senyum saja menanggapi ucapanku.
Saat kami berdua masih bersenda gurau di depan arah kamar mandi tadi, aku melihat Kak Arimbi dan juga Sisil yang sedang berjalan ke arah kami.
Karena memang tempat kami berdiri saat ini yaitu dekat dengan restoran tadi. Tempat makan mereka.
"Eh, kamu masih disini juga ternyata, La?" Sapa Kak Arimbi padaku.
"Iya, Kak. Kenapa emang?" Tanyaku pada wanita yang memiliki wajah judes ini. Memang sekilas kalau melihat wajah Kak Arimbi itu memang selalu terlihat judes. Jarang ramah pada orang lain, tapi beda lagi kalau di depan Abangku yaitu Bang Majid--suaminya.
Kak Arimbi dulunya saat akan menikah dengan Bang Majid memang tidak direstui oleh Ayah dan Ibuku. Karena menurut Ayah sebagai orang tua yang bisa menilai karakter seseorang, Kak Arimbi terlihat seperti wanita culas yang hanya mau menang sendiri saja, dan berusaha untuk menguasai suaminya jika sudah menikah nanti. Serta akan menjauhkan juga dari orang tuanya dan juga saudara-saudaranya nanti. Begitu kata Ayah dulu, waktu Ayah masih ada.
Tapi, Bang Majid sepertinya sudah cinta mati oleh Kak Arimbi, makanya tak pernah sekalipun Bang Majid mengindahkan ucapan kedua orang tuanya.
Hingga akhirnya mereka menikah tanpa dihadiri oleh Ayah, dan hanya Ibu saja yang menghadiri, juga Kakak pertamaku yaitu Kak Virda.
"Ya, gapapa sih, cuma nanya aja. Sinis amat jawabnya." Jawabnya sinis, dia mengatakan kalau aku sinis, padahal dia sendiri yang sinis.
Tak lama Bang Majid pun memanggil Kak Arimbi dan juga Sisil. Bang Majid tak menghiraukanku sama sekali sebagai adiknya, seolah acuh.
"Mah, ternyata kalian lagi pada ngobrol disini ya? Kirain Abang, kamu sudah pulang, La?" Ucap Bang Majid saat mendekat ke arah kami semua. Dia juga bersama Virra dan juga suaminya Virra.
"Iya nih, Pah. Tadi ketemu Lila disini, pas baru dari toilet tadi," jawabnya sok manis. Padahal tadi sebelum Bang Majid datang dia berkata dengan sinis, tapi kenapa sekarang berubah jadi sok manis.
"Iya, Bang. Kita mau jalan-jalan dulu, kan sekalian nyenengin anak-anak," jawabku pada lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu.
"Oh, yaudah. Kalau gitu Abang pamit dulu ya? Mau ngajak Kakak kamu belanja sama si Sisil juga, udah janji soalnya. Hati-hati ya dijalan." Bang Majid menepuk pundakku dan aku hanya mengangguk. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Bang Majid tiba-tiba ada rasa perih yang menjalari hati. Astaghfirullah!
Sedangkan Virra sedari tadi hanya diam saja, malah dia sibuk dengan ponsel yang berada di tangannya. Begitupun dengan suami Virra, dia juga acuh dan bersikap dingin.
Lalu mereka semua pergi dan berlalu dari hadapanku. Perlahan aku menatap punggung mereka yang perlahan menghilang hingga tak terlihat sama sekali.
Terkadang hatiku dipenuhi oleh banyak pertanyaan, kenapa Bang Majid begitu royal kepada Sisil ya? Padahal dia hanya adik dari Kak Arimbi, dan perlakuannya juga sangat ramah pada Sisil dan Virra. Tapi berbanding terbalik perlakuannya denganku. Ah entahlah, biar saja asal Bang Majid dan keluarganya tetap bahagia.
🌹🌹🌹
"Dek, kok ngelamun gitu? Kamu kepikiran lagi ya?" Suara Bang Arham mengejutkanku. Lalu aku menoleh padanya.
"Nggak kok, Bang. Yaudah yuk kita pulang, atau mau mampir dulu ke rumah Emak?" Ajakku pada Bang Arham, sekalian mengalihkan dari pertanyaannya. Biarlah aku saja yang memikirkan semua kelakuan keluargaku, dan Bang Arham tak usah ikut memikirkannya.
"Yaudah, kita mampir ke rumah Emak dulu aja, ya?" Jawabnya.
"Oke, siap Bos!" Aku menjawab dengan semangat sambil tersenyum. Tak mau terus-menerus hatiku dipenuhi oleh perasaan sedih akan perlakuan saudara-saudaraku. Biarlah, biar waktu yang mengubah semuanya.
🌹🌹🌹
Kini kami sudah sampai di lantai bawah, kami sebentar lagi akan sampai keluar dari lobby Mall. Dan akan menuju ke parkiran motor.
Tak sengaja aku bertemu lagi dengan Kakakku yaitu Bang Majid dan yang lainnya.
Mereka tak melihatku dan Bang Arham, tapi kami melihat mereka dengan jelas. Karena posisi mereka tak jauh berada di depan kami. Mereka semua membawa tentengan belanjaan yang sangat banyak sekali.
Setiap tangan terlihat membawa belanjaan, begitu juga dengan Sisil dan Virra. Mereka menenteng banyak sekali paper bag di tangannya.
Tak terasa air mata ini jatuh begitu saja, dan buru-buru ku usap agar tidak mengundang perhatian orang lain. Aku takut kalau orang akan berpikir macam-macam, jika aku menangis di tempat seramai ini.
Bang Arham yang sudah tau kalau aku sedang menangis, dia mengeratkan pegangan tangannya, tanda menguatkan.
"Bu, memangnya kalau orang kaya, nggak boleh ya deket-deket sama orang miskin?" Tiba-tiba ucapan itu terlontar dari mulut mungil Amalia--sulungku.
Kami berdua sontak menoleh ke arah Amalia, putri kami yang begitu cantik.
"Kok, Kakak ngomongnya begitu?" Tanya Bang Arham pada Lia. Dia memutar bola matanya, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat.
"Iya, Pak. Habis dari tadi Kakak perhatiin, kalau Bapak sama Ibu nggak boleh deket-deket kayaknya sama Papi dan Tante Virra, mereka juga ogah kayaknya ketemu kita ya? Apa karena kita miskin ya, Pak? Terus nggak bisa pakai baju keren kaya Faraz dan Fariz?" Mulutku seketika menganga karena mendengar ucapan kritis yang keluar dari mulut seorang anak yang berusia tujuh tahun.
Bang Arham mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Lia, lalu memegang kedua pundak putri kecilku itu.
"Sayang, kamu nggak boleh ya berfikiran seperti itu lagi. Mereka semua orang baik kok, kita juga bukan orang miskin, hanya saja Allah belum memampukan kita untuk membeli baju yang bagus-bagus, seperti yang dipakai oleh Faraz dan Fariz," deg! Ucapan Bang Arham yang kini menusuk ke dalam relung hatiku, walaupun dia kini sedang berbicara dengan Lia bukan denganku.
"Dan seandainya nanti, kalau Lia udah besar. Terus Lia memiliki banyak uang dan harta, Lia harus tetap rendah hati, menolong sesama, membantu saudara, serta membantu orang yang sedang kesusahan, tanpa mengharapkan balasan dari mereka yang sudah pernah Lia bantu," Bang Arham meneruskan kalimatnya pada putri kecil kami itu. Dan seolah paham Lia pun mengangguk-angguk. Lalu Bang Arham mencubit pipi Lia dengan gemasnya.
Ucapan-ucapan yang barusan keluar dari mulut Bang Arham, seperti oase di padang pasir, menyejukkan hati yang sedang gundah gulana.
Aku bersyukur ya Allah, diberikan suami yang sangat baik dan juga berhati bersih, semoga kami selalu bersama hingga surgaMU ya Rabb.
#SAUDARA RASA ORANG LAINPart 39 (Ending)#Saudara Rasa Orang LainPart 39 (Ending)Hari ini peresmian toko kue ku, cabang ke-20. Alhamdulillah, aku tak henti-hentinya mengucap syukur pada sang maha pemilik segalanya. Dia-lah yang maha kaya dan maha pemilik seluruh jagat raya ini."Satu, dua, tiga. Bismillahirrahmanirrahim." Kami pun bersama-sama memotong pita yang terpampang di depan pintu masuk toko kue.Aku tak pernah menyangka akan berada di titik ini. Dimana derajat ku dinaikkan oleh Allah. Serta dititipkan amanah yang besar yang harus kami kelola dengan sebaik-baiknya.
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (38)Ekstra PartPprraanngg!!! Terdengar suara pecahan barang dari dalam rumah Tante Melly. Sepertinya suasana di dalam semakin kacau. Maka kami putuskan untuk segera masuk ke dalam rumah Tante Melly tanpa mengucap salam terlebih dulu, karena memang kondisi pintu utama juga sudah terbuka dari tadi."Astaghfirullah! Tante, ada apa ini?" Tanya Bang Majid saat melihat berbagai pecahan kaca yang berserakan, kami semua sangat terkejut melihat semua keadaan ini.Tante Melly dan juga Om Hendry langsung menoleh ke arah kami. Disana juga ada Intan dan juga adiknya yaitu Vallen. Intan masih sibuk mengusap wajahnya yang telah kuyu dengan air mata. Begitu pula dengan Vallen. Sebenarnya
Part 37 (Ekstra Part)"Kamu nggak salaman sama Lila dan juga Arham?" Celetuk Bang Majid pada Intan."Eh, iya, aku lupa, hehehe. Maaf ya Kak Lila, abis aku bergaul sama orang atas terus, jadi suka nggak lihat yang dibawah." Dia pun berjalan menuju arahku sambil menyalami seperti orang yang jijik, begitu juga dengan Bang Arham. Namun, saat bersalaman dengan Bang Arham, suamiku itu langsung menangkupkan kedua tangannya di dada. Dan wajah Melly berubah menjadi pias."Intan, nggak boleh gitu ah! Walaupun Kak Lila berbeda kasta sama kita, tapi tetap saja harus kita hormati," kini Tante Melly turut angkat bicara, tapi dengan nada merendahkan pastinya."Berbeda kasta bagaimana Tante? Lila itu adik saya, dan kami tak a
#Saudara Rasa Orang Lain (Ekstra Part)Sudah satu tahun kami membuka usaha keluarga. Dan Alhamdulillah toko-toko kue yang dirintis dari kecil, kini perlahan menjadi besar. Aku bersyukur pada Allah, karena telah memberikan begitu banyak rejeki dan karunianya pada kami semua.Bang Majid kini memegang outlet kue di daerah Jakarta. Sedangkan aku kini tinggal sementara di Bandung, karena disini toko kue kami yang paling banyak cabangnya, jadi aku harus mengontrol di daerah sini, bersama dengan Mas Arham.Kak Virda juga menjadi reseller khusus daerah di kepulauan seribu. Dan Alhamdulillah respon masyarakat disana juga sangat baik. Dan kami semua semua Alhamdulillah sudah memiliki banyak pelanggan tetap.Sedangkan Vi
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (35)POV 3Kurang lebih satu minggu akhirnya Majid bisa sembuh total dari sakitnya. Untuk sementara dia menyewa rumah bersama Virra. Karena semua aset Virra juga sudah dijualnya untuk menutupi semua kerugian akibat manipulasi data yang telah Yoga lakukan.Perlahan-lahan Virra sudah ikhlas dengan apa yang menjadi ketetapan Allah. Dia juga berfikir mungkin ini teguran untuknya saat dia sedang berada diatas kemarin. Dia jadi merasa tinggi, merasa segala-galanya dan tak pernah memperdulikan saudaranya yang jelas-jelas kemarin butuh bantuannya.Kini mereka semua sudah saling bermaaf-maafan, mereka melalui hari Raya lebaran Idul Fitri dengan penuh suka cita dan juga penuh rasa haru.
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (34)POV 3"Kamu kenapa, Dek?" Kak Virda mengelus-elus pundak Majid."Aku, aku banyak dosa sama Lila, Kak! Huhuhu," ucap Majid sambil terisak-isak pada Kak Virda.Kak Virda ikut menangis bersama Majid, Majid selalu terbayang-bayang dengan ucapan Ayah dan Ibunya tentang Lila."Nanti, kalau Lila udah datang kemari, kamu segera minta maaf ya sama dia, agar beban di hati kamu berkurang. Memang sudah seharusnya kita sebagai Kakak harus saling menyayangi adik-adiknya. Tanpa memandang status sosial saudara kita sendiri," Majid menghembuskan nafasnya gusar, dia juga hanya diam membisu dengan ucapan Kak Virda barusan.
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (33)POV 3Kini, mereka semua sudah sampai di kota bogor. Kota yang terkenal dengan kota hujan, karena memiliki curah hujan yang cukup tinggi, dan banyak tempat wisata menarik juga disana.Sebelum menemui Ferdy. Kak Alma dan yang lainnya langsung menuju ke kantor polisi untuk melaporkan kejahatan yang telah Ferdy lakukan, dan memang dia juga sudah masuk dalam daftar pencarian orang alias buronan polisi.Setelah dari kantor polisi, akhirnya mereka semua menuju ke rumah target untuk segera menangkap Ferdy si lelaki b*jing*n itu.Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi persembunyian Ferdy, Lila terus berdoa agar semuanya berjalan lancar
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (32)POV 3Kini keadaan Majid sedang mengalami kritis, dirinya kini di antara hidup dan mati.Lila menunggu Kak Virda yang sedang di dalam perjalanan untuk menuju ke rumah sakit, untuk bergantian menjaga Bang Majid. Karena Lila dan Arham akan pulang dulu ke rumahnya untuk melihat keadaan anak-anak yang memang dititipkan pada Kak Alma.Tak lama kemudian Kak Virda pun datang dengan raut wajah cemasnya."Assalamualaikum, Ya Allah Lila! Kenapa semua bisa terjadi seperti ini?huhuhu," Kak Virda pun langsung menghampiri Lila dan mereka pun saling berpelukan dalam isak tangis kesedihan. Tak pernah sedikitpun ada dendam di hati Lila un
#SAUDARA RASA ORANG LAIN (31)POV 3"Kembalilah, Anakku. Dan kembalikan hak Lila yang telah kau rampas, Ayah dan Ibu ingin sekali melihat kalian semua menjadi Saudara yang akur dan saling menyayangi." Majid menangis sejadi-jadinya saat mendengar ucapan dari Ayah dan Ibunya itu.🌼🌼🌼🌼Kini semua tim kepolisian dan juga Lila dan Arham telah sampai di lokasi tempat penyekapan Bang Majid.Tim kepolisian segera berpencar untuk mengepung para penjahat yang sedang berada di dalam. Sedangkan Lila dan Arham disuruh bersembunyi terlebih dahulu di balik pepohonan yang rindang yang berada tak jauh dari rumah tersebut, agar tak ketahuan oleh para penja