Share

Tak Dihiraukan

#SAUDARA RASA ORANG LAIN (2)

Sayup-sayup kudengar dari arah belakangku seperti suara Bang Majid yaitu Kakak pertamaku, dan juga suara Virra. Mereka seperti sedang tertawa dengan riangnya.

Lalu kuberanikan diri untuk menoleh, dan memastikan si pemilik suara tersebut. Dan betapa terkejutnya diriku saat tahu kalau itu ternyata benar suara dari Bang Majid dan juga adikku Virra.

🌹🌹🌹

Betapa teririsnya hati ini, saat melihat kedua saudara kandungku yang sedang bersenda gurau dengan cerianya. Mereka bersama keluarga masing-masing dan sepertinya sedang menunggu yang lainnya juga. Ingin rasanya aku untuk segera menemui mereka disitu. Tapi niat ini kuurungkan.

"Bu? Itu kayaknya Abang Fariz ya sama Papi juga ya," suara Amalia membuyarkan lamunanku. Ternyata Lia juga ngeh, kalau disini ada sepupunya yaitu Fariz, dan Papi itu panggilan Lia untuk Abangku, karena Abangku sendiri yang menyuruhnya waktu itu.

"Iya, Sayang. Udah nanti aja ya, kita samperin kalau udah selesai makan. Sekarang kita tungguin Bapak dulu, terus makan, baru kita temui Papi dan yang lainnya." Lia mengangguk paham, dan tak banyak membantah lagi, memang dia terpaksa harus berfikir dewasa di usianya yang masih tujuh tahun.

Amalia memang anak yang rajin, sering membantuku membereskan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya. Dia juga membantuku menjaga Raffa yang sedang aktif-aktifnya, saat aku pergi berkeliling untuk berjualan kue.

Tak lama Bang Arham pun datang dengan membawa nampan berisi makanan di tangannya. Anak-anak yang melihat tersenyum riang, karena memang kami semua jarang sekali untuk memakan makanan seperti ini. Bagiku sudah makan setiap hari dan bisa memberikan uang jajan untuk anak-anak saja itu sudah cukup. Dan keluarga yang selalu diberikan kesehatan oleh Allah. Serta keluarga yang bahagia dan suami yang penyayang, bagiku itu sudah menjadi rahmat Allah yang tak terkira.

Bang Arham menyusun makanan yang berada di nampan untuk ditaruh diatas meja. Wajah Bang Arham terlihat gusar. Apa mungkin dia juga sudah tahu kalau disini ada saudara-saudaraku.

"Waahh … asyik, ayam gorengnya kayaknya enak ya, Bu? Aku udah nggak sabar," ujar Lia yang kegirangan, matanya tak lepas pada ayam berbalut tepung tersebut, dan sesekali dia mengusap perutnya. Karena memang Lia sudah biasa puasa hingga Maghrib, sedangkan Raffa berpuasa setengah hari kemudian diteruskan lagi hingga Maghrib.

"Iya, aku juga udah laper banget nih, aku nggak sabar. Adzan Maghrib masih lama ya, Bu?" Kini Raffa pun ikut menimpali, Bang Arham yang posisi duduknya memang menghadap ke arah meja saudaraku, kemungkinan sudah tahu kalau disana ada mereka.

Maka dari itu, dia sedari tadi cuma diam saja sambil tersenyum kecut. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh suamiku ini.

"Sabar ya? Sebentar lagi juga Adzan kok, nanti makannya jangan buru-buru ya? Jangan lupa baca doa buka puasanya," jawabku sambil mengingatkan mereka untuk berdoa sebelum makan dan berbuka puasa.

"Ok, siap Bu!" Jawab mereka serentak.

Lalu tak lama Adzan Maghrib pun berkumandang, melalui pengeras suara di dalam Mall. Dan petugas Mall juga memberitahukan melalui pengeras suara tersebut bahwa waktu untuk berbuka sudah tiba. Kami pun mulai berdoa dan menyantap makanan yang sudah tersedia.

'Allhamdulillah, Ya Allah atas segala karunia dan juga Rizki-MU, maka aku kini berbuka dengan makanan yang nikmat ini, dan juga bisa menyenangkan anak-anakku, terima kasih ya Allah atas kemurahanMU.' Ucapku dalam hati, sambil memandangi kedua malaikat kecilku yang sedang makan dengan lahapnya.

"Bang, dari tadi kamu diem aja? Kenapa?" Karena rasa penasaran yang sudah memuncak, akhirnya kuputuskan bertanya pada Bang Arham. Aku takut kalau dia marah, karena mengajak kami semua untuk makan di restoran ini.

"Nggak papa kok, Dek. Disana ada saudara-saudara kamu ya? Apa kamu tahu, Dek?" Jawabannya sudah kuduga, karena pasti Bang Arham sudah melihatnya sedari tadi.

"Iya, aku tahu kok, Bang. Udah gapapa nggak usah dibahas, nanti kita kesana aja sebentar untuk menyapa mereka," Bang Arham tak menjawab, dia malah menunduk. 

"Aku minta maaf ya, Dek? Aku belum bisa bahagiain kamu dan anak-anak. Aku belum bisa beliin kamu perhiasan dan barang-barang mewah," sontak saja hatiku menjadi gusar saat Bang Arham berkata seperti itu.

"Kok Abang ngomongnya gitu sih? Emang selama ini aku pernah nuntut sama Abang?" Aku bertanya balik pada lelaki yang memiliki wajah tegas itu, namun berhati lembut.

"Nggak sih, cuma Abang sebagai lelaki ngerasa nggak berguna. Karena udah ngajak kamu hidup susah kayak sekarang ini, apalagi pekerjaan Abang …." Belum selesai dia berbicara langsung ku jeda kalimatnya.

"Cuma ojol? Aku nggak malu kok, mau abang kerja apapun asal itu halal, aku nggak akan pernah malu. Aku bakal malu kalau banyak harta tapi dari hasil yang nggak halal dan berujung menjadi nggak berkah. Lalu aku merasa sia-sia karena seumur hidupku hanya bergelimang dengan dosa, dari hal sepele yaitu harta." Jawabku. Bang Arham tersenyum gusar, mengusap wajahnya dengan tangan kanannya.

"Makasih, Dek. Udah mau mendampingiku, menjadi bidadari untukku di dunia serta nanti di akhirat." Lalu dia memegang tangan ini dan aku pun membalasnya.

"Ehem, ehem … ada anak kecil nih, disini. Raffa, kamu tutup mata ya? Ada yang lagi pegangan tangan. Hihihi." Si sulungku meledek kami berdua. Dan kami berdua langsung salah tingkah, karena lupa kalau ada anak-anak yang sedang memperhatikan kami.

🌹🌹🌹

Setelah semuanya selesai makan, kami memang sepakat untuk menghampiri Bang Majid dan juga Virra, serta yang lainnya. Disana ada juga beberapa teman-teman Bang Majid yang ikut berbuka bareng sepertinya. Disana ada juga Sisil--adiknya Kak Arimbi.

Jujur saja, walaupun mereka adalah saudara sekandung, tapi tetap saja ada rasa sungkan di dalam hati. Mengingat harta yang menjadi tolak ukur untuk saat ini.

Tapi, Bang Arham meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan tidak sesuai dengan pikiran burukku.

Lalu kami pun melangkahkan kaki mendekati meja mereka, Kak Arimbi dari kejauhan sepertinya sudah melihatku dan juga anak-anak. Tapi dia melengos. Aku berdoa dalam hati.

"Bang Majid? Virra?" Mereka semua menengok dengan serempak, kecuali Kak Arimbi. Karena memang sedari tadi dia sudah lebih dulu melihatku.

"Lila? Kamu disini juga?" Bang Majid menjawab dengan nada yang terkejut, sedangkan Virra hanya tersenyum getir.

"Iya Bang. Tadi kami semua juga buka puasa disini, eh, kebetulan aku ngeliat Abang dan yang lainnya juga disini, makanya aku samperin kesini," jelasku pada mereka semua, yang kini menatap kami dengan tatapan yang entah.

"Ya sudah, Pak. Saya pamit dulu, silahkan diteruskan acara keluarganya." Salah seorang lelaki berperawakan agak tua berdiri lalu menyalami Bang Majid dan juga Virra. Mungkin Bapak tersebut ada partner bisnisnya Bang Majid. Lalu mereka mengobrol sebentar, dan setelah itu Bapak paruh baya itupun akhirnya pergi.

Virra terlihat sedang sibuk menerima telepon yang entah dari siapa, sedangkan Kak Arimbi sibuk menyuapi si bungsu Faraz, begitu juga dengan Bang Majid yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Aku dan Bang Arham saling lirik, karena jangankan disuruh untuk bergabung bersama mereka, disuruh duduk pun tidak. Dan mereka semua juga tak ada satupun yang menegur anak-anakku. Mereka seolah sibuk sendiri.

 Entahlah, aku kini merasa sedang berhadapan dengan orang yang tak dikenal, bukan seperti dengan saudara kandung sendiri. 

"Ehm, Bang. Kami pamit pulang dulu ya?" Bang Arham yang tak tahan lagi dengan situasi seperti ini, akhirnya berpamitan pada Bang Majid.

"Eh iya-iya, maaf ya? Abang lagi sibuk ini ngurusin pesanan catering untuk perusahaan ternama, hati-hati ya?" Lalu kami pun bersalaman pada semua yang ada disitu. Virra sama sekali tak menegurku sejak dari pertama aku datang kemari. Entah apa yang ada di dalam pikiran adikku itu. Aku jadi bingung, salah apa aku sebenarnya?

Begitu juga dengan Kak Arimbi, yang entah beneran sibuk atau hanya berpura-pura sibuk saja, dia juga sama sekali tak menyapa anak-anakku, dan itu semua membuat hatiku berdenyut perih. 

🌹🌹🌹

Setelah kami semua keluar dari restoran tadi, aku meminta izin pada Bang Arham untuk ke toilet sebentar. 

Sesampainya di dalam kamar mandi, langsung kutumpahkan tangisku yang sejak tadi kutahan. Aku meratapi kejadian yang baru saja terjadi, entah karena memang aku yang baper dengan sikap mereka semua atau karena apa, makanya aku pun mendadak menjadi sedih sekali.

Seharusnya kalau mereka tak mau menyapaku dan juga Bang Arham, setidaknya mereka mau menyapa anak-anakku yang notabene adalah keponakannya sendiri. Tapi, ya sudahlah, mungkin memang ini jalannya.

Lalu saat aku mau membuka kunci pintu toilet, aku mendengar suara khas yang kukenal. Yaitu suara Kak Arimbi dan satunya aku tak tahu suara siapa. Sepertinya itu suara Sisil. Mereka sepertinya akan masuk ke dalam toilet ini juga. Lalu kuurungkan untuk keluar, dan menunggu mereka pergi dulu.

"Lagian nih ya, Kak. Kalau menurut aku si Lila itu sombong, udah tau nggak punya duit, hidup pas-pasan. Eh, pake acara makan-makan disini segala lagi, orang mah udah makan di pinggir jalan aja sih," ucap perempuan tadi yang bersama Kak Arimbi.

"Iya, makanya. Songong emang, eneg kakak ngeliat mereka tuh, makanya tadi kakak diem aja cuekin mereka. Biar mereka tau diri. Lagian nih ya, pasti mereka itu nyamperin Bang Majid cuma mau minta duit, dengan dalih untuk anak-anaknya. Dasar emang orang miskin, kalau mau punya duit ya usaha dong, jangan minta-minta terus ke saudara," kali ini Kak Arimbi menjawabnya dengan nada berapi-api. Dan sukses membakar hati ini yang mendengarnya secara langsung.

#Terima Kasih atas antusiasnya mak-emak semua, semoga selalu diberkahi oleh Allah. 

Cerita ini cuma fiksi, tapi memang banyak terjadi di dunia nyata. Dan semoga kita dijauhkan dari saudara-saudara yang seperti ini. Dan semoga kita selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik yang membawa keberkahan untuk hidup kita. Aamiin.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marganda Uli Simorangkir
sabar ya mbak Lila
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status