Share

3. Pagi-pagi kesal.

last update Last Updated: 2024-08-05 08:46:27

Pov. Sri

Namaku Sri Widiastuti, aku menikah dengan Mas Hadi dan telah dikarunia satu putri yang berumur dua tahun, Habibah Aisyah namanya.

Selama ini hidup kami pas-pasan dan tak ada perkembangan, tapi semenjak beberapa bulan yang lalu Mas Hadi mengajakku pindah rumah di sebelah sepupunya ini. Hidup kami mulai ada peningkatan, bahkan aku juga bisa membeli beberapa perhiasan. Bukan karena gaji Mas Hadi yang naik. Akan tetapi, karena aku bisa lebih hemat dengan pengeluaran dapur.

Istri Mas Wahyu itu bernama Rumana Ayu Diandra Putri Iskandar, widihh ... panjang bener itu nama, tapi dipanggil Ana, biar gak pegal lidah mengucapnya.

Menurutku dia wanita yang baik dan sopan, untuk standar anak dari keluarga berada. Biasanya anak orang kaya itu sombong dan judes, tapi itu tidak berlaku dengan Mbak Ana.

Aku akrabin diri dengannya biar ada teman di kontrakan, apalagi suami kami bersaudara jadi berasa lebih dekat.

Aku minta ini dan itu, awalnya dia hanya melongo. Tentu saja ini kesempatan bagus untukku, mulai aku melebarkan sayap merambah ke dalam isi kulkasnya yang selalu penuh dan rapi.

Saat aku melihat isi kulkasnya, jiwa dan hatiku meronta-ronta. Seumur-umur belum pernah aku melihat kulkas gede dengan isi kulkas selengkap itu.

Semua ada di dalam sana, baik buah, sayur, cabe. Pokoknya lengkap. Kulkas orang miskin dengan orang kaya emang beda. Apalagi yang kutahu Mbak Ana adalah tipe orang yang hobby ngemil tapi gak suka beli, dia lebih suka buat sendiri. Lebih higienis, katanya.

Justru itu bagus untukku, aku jadi bisa dapat bahan makanan, gratis! Jadi uang yang diberikan Mas Hari bisa kutabung untuk beli emas, aku tertawa puas akan hal itu. Namun ternyata, semua tidak bertahan lama, tiba-tiba Mbak Ana berubah, dirinya tidak sebaik dulu. Ngomongpun sekarang agak lebih ketus padaku tidak selembut biasanya.

Seperti hari ini. Tiba-tiba kulkas yang biasa terisi penuh malah kosong melompong, bersih tak bersisa. Padahal aku hanya mau minta bawang sama wortel untuk kubuat sop untuk makan siang aku dan Biba, putriku.

"Ya ampun Mbak ... kulkas gede tapi gak ada isinya," cibirku siang tadi, karena yang kutahu Mbak Ana orangnya gak enakan. Siapa tahu habis kusindir begitu kulkasnya akan dia isi lagi.

"Biar aja kulkas gede tapi isi gak ada yang penting gak ganggu dapur sama uang belanja tetangga," jawabnya santai tapi cukup mencubit hatiku. Apa dia sedang menyindirku?

"Mbak ada bawang gak? Aku mau masak bawang di rumah habis," ujarku lembut selembutnya.

Kulirik setiap sudut dapurnya ini. Tak kutemui aneka bumbu serta rempah yang biasa bertengger tersusun rapi di atas meja.

"Ya, iyalah habis. Orang bawangmu itu, kan, bawang yang kamu ambil empat hari yang lalu dari rumahku."

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapannya itu. Memang benar itu bawang yang kuambil dari dapurnya empat hari yang lalu. Aku lihat stoknya banyak, jadi kuambil aja untuk beberapa hari kedepan.

Orang sesama saudara ini, juga. Lagian Mbak Ana dan Mas Wahyu kan belum punya anak, jadi belum banyak pengeluran. Apa salahnya jika berbagi sama saudara sendiri. Itung-itung sedekah.

"Terus, aku masak untuk Biba pakai apa dong, Mbak?" tanyaku bingung, karena uangku sudah habis aku beli logam mulia seberat tiga garam kemaren.

Lumayan untuk tabungan bangun rumah. Selama ini boro-boro bisa nabung beli emas, untuk makan saja kurang.

"Loh kok tanya aku, itu ada tukang sayur di depan. Pergi beli sana!" usirnya padaku, sambil menunjuk kearah tukang sayur yang sedang mangkal.

Uangku hanya tersisa seratus ribu, sedangkan Mas Hadi gajian masih satu minggu lagi. Ahh ... mana cukup uang segitu jika dipakai belanja sampai suamiku itu gajian. Akupun dilema.

Kucoba mengadahkan tangan padanya, siapa tahu dia akan memberikan uang tambahan belanja untukku. Tapi bukannya uang malah makian dan hinaan yang kudapat.

Terpaksa aku pergi ke tukang sayur, jadi keluar duit, deh. Huh!

"Eh ... neng Sri, tumben neng belanja?" tanya tukang sayur.

"Iya Mang, kemaren masih banyak stok sayur," jawabku santai sembari melirik aneka sayur yang ada di gerobaknya.

"Mang, aku minta bawang merah lima ribu sama tempe lima ribu, dong!" pintaku, karena uang minim terpaksa cuma masak oseng tempe saja nanti, untuk Biba kudadarkan saja telor yang tersisa dua biji di rumah.

"Stok sayur sendiri atau stok sayur tetangga sebelah, Neng?" sindir Bu Endang, sontak membuatku menatap tajam kearahnya.

Wanita bertubuh langsing dan sudah memiliki anak tiga ini adalah tetangga sebelah rumahku. Antara kontrakanku juga terdapat kontrakan yang jaraknya cuma dipisahkan dengan gang sekitar dua meter lebarnya.

"Stok sayur saya dong, Bu. Memangnya stok sayur siapa lagi?" sahutku tak suka.

"Siapa tahu, kan, habisnya selama pindah ke sini, saya gak pernah lihat tu ... Neng Sri pergi belanja ke pasar, yang adanya Neng Sri selalu ke rumahnya Neng Ana ngambil bahan-bahan dari sana. Saudara sih saudara, Neng. Tapi jangan sampai jadi parasit untuk saudara."

Panas dada ini mendengarnya, apalagi ada beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja mulai berbisik membicarakanku.

"Maksud Bu Endang apa, ya? Jangan fitnah. Aku kan belanjanya pagi-pagi banget makanya Ibu gak lihat, lagi pula aku ke rumah Mbak Ana kerena memang nitip di kulkasnya dia. Secara aku kan gak punya kulkas, sedangkan kulkasnya Mbak Ana gede. Kan sayang kalau gak ada isinya, jadi kutitipkan saja belanjaanku di sana," ujarku membela diri.

Mulut Bu Endang ini lemes banget sih, bikin malu aku saja. Bisa hilang harga diriku kalau sampai satu komplek tahu.

"Yakin cuma nitip, bukannya merampok punya orang? Soalnya saya selalu lihat mbak Ana marah-marah setiap kamu habis ngambil sesuatu di rumah dia," balas Bu Endang sambil mencebikkan bibirnya padaku seolah mengejek.

tangannya santai mengeluarkan sejumlah uang pada Mang sayur dan berlalu pulang meninggalkanku tanpa meminta maaf.

"Ehh, Bu ... jangan sembarangan kalau bicara, ya! Gaji suami saya gede, jadi gak mungkin saya begitu!" teriakku tak terima. Sedangkan Bu Endang hanya melambai-lambaikan tangan menatapku sinis.

Kuambil plastik berisi belanjaanku dan menyodorkan uang sepuluh ribu pada Mang sayur. Aku kesal, sangat kesal! berani-beraninya dia mempermalukan aku seperti ini.

Pasti ini karena mulut Mbak Ana yang lemes, cerita sama tetangga dan buruk-burukkan aku. Kalau tidak, bagaimana Bu Endang bisa tahu? Tidak mungkinkan dia melihat aku setiap hari pergi kesana, padahal aku selalu mencari moment saat orang lain tidak melihat. Awas kamu Mbak!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara celamitan dari Neraka!   68. Wanita bercadar.

    Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati

  • Saudara celamitan dari Neraka!   67. Teror hutang.

    "Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit

  • Saudara celamitan dari Neraka!   66. Kena getahnya.

    "Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h

  • Saudara celamitan dari Neraka!   65. Jatuh tertimpa tangga.

    Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S

  • Saudara celamitan dari Neraka!   64. Mendung di pagi hari.

    Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya

  • Saudara celamitan dari Neraka!   63. Inner child

    Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status