Ivy tiba-tiba terbangun di ranjang yang sama dengan Evan, pria 30 tahun yang tak lain adalah CEO sekaligus pewaris tunggal sebuah konglomerasi keluarga ternama, setelah menghabiskan malam hari di bar bersama sahabatnya. Keluarga Evan yang mengetahui hal tersebut kemudian mendesak Ivy untuk menikahi Evan demi menjaga reputasi sang putra sehingga mau tidak mau, Ivy terpaksa menerimanya. Ia juga meyetujui kesepakatan rahasia yang diajukan Evan bahwa mereka akan berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang romantis di hadapan banyak orang. Namun, sandiwara itu perlahan merasuk ke hati dan membuat Ivy kebingungan atas perasaannya sendiri.
View MorePagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya.
“Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya memakai tank top. Langsung saja ia menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya. "Apa yang sudah kamu lakukan semalam?!" tanya Ivy setengah berteriak kepada pria yang masih terlihat lemas. Pria tersebut hanya diam. Ivy merasa uap malu mengebul dalam kepalanya. Tapi sebelum ia sempat bergerak, terdengar ketukan keras di pintu. “Evan, kamu belum bangun?” Suara lantang seorang wanita terdengar dari luar. Karena tidak mendengar jawaban, wanita tersebut pun terus mengetuk pintu sambil berbicara dengan orang lain di luar yang sepertinya pegawai hotel. Sontak mereka berdua panik, terlebih dengan kondisi mereka saat ini. "Evan, ini Bunda!" "Iya, Bun, sebentar!" Jawab Evan sambil mencari pakaiannya yang entah ada di mana. Mereka pun mencari pakaiannya masing-masing yang ternyata berceceran berantakan di lantai. Namun, sebelum mereka selesai berpakaian, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya, Ela, yang merupakan Ibu Evan memasuki kamar. Ekspresinya berubah saat matanya menangkap pemandangan di depan kamar yang telah berantakan dan Ivy yang terlihat terkejut, hanya mengenakan selimut. “Kalian lagi ngapain?!” bentaknya, suaranya menggema di ruang berantakan itu. Tatapannya beralih dari Evan ke Ivy, dan kembali ke Evan. “Anak perempuan mana yang tidur dengan anakku tanpa izin?!” suaranya naik satu oktaf. Ivy terdiam, pipinya memerah. Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Evan mencoba menjelaskan, “Bun, ini salah paham—” “Diam! Pakai baju kalian dan kita bicara di luar. Sekarang!” potong Ela. Ia lalu keluar, diikuti oleh pegawai hotel di belakangnya dengan raut wajah ingin tahu. Evan dan Ivy pun bergegas memakai pakaiannya masing-masing. Lalu menuju ke luar yang ternyata masih ada pegawai yang menunggu. Evan berjalan di belakang Ivy, ia mengamati cara berjalan Ivy yang sedikit aneh. Apa yang sudah aku lakukan? Tanya Evan pada dirinya sendiri. Di meja panjang restoran, aroma kopi dan telur dadar berdesir di udara pagi. Ivy dan Evan duduk bersebelahan, di depan mereka duduk kedua orang tua Evan, Erwin dan Ela. Erwin meneguk kopi hitam, tatapannya menusuk. Sunyi bertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia bersuara dengan nada berat. “Bisa kalian jelaskan kepadaku apa maksud dari semua ini?” ucap Erwin tajam. "Siapa namamu?" tanya Erwin kepada Ivy. "Nama saya Ivy, pak," jawab Ivy dengan sedikit gemetar. "Kamu pacarnya Evan?" tanya Erwin lagi. "Bukan, pak. Saya tidak kenal dengan anak Bapak," jawab Ivy jujur. "Kalau begitu, bagaimana kamu bisa berada di kamar yang sama dengan anak saya?" Kali ini Ela yang berbicara. Ivy hanya diam sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit. Ia berusaha mengingat kejadian tadi malam. Pikirannya berkelana saat ia sedang minum bersama temannya, ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya lebih awal. Namun saat dipaksa mengingat lebih jauh, ia hanya mendapati potongan demi potongan yang kabur, meninggalkan celah kosong yang membingungkan. Ivy mengalihkan pandangannya ke Evan, berharap ia akan bersuara dan membantunya menjawab. Namun Evan hanya menunduk dan bibirnya tertutup rapat. Keheningan itu justru membuat Ivy semakin kesal. Sementara itu, kedua orang tua Evan saling berpandangan. Keduanya saling bertukar pandangan, kelelahan mereka terekam jelas seakan sudah berkali-kali menghadapi ulah Evan, putra semata wayang yang selalu mengejutkan. Ela menarik napas dalam, suaranya tenang namun berwibawa saat akhirnya ia menoleh ke Evan, "Evan, sebagai pewaris tunggal keluarga ini, kamu pasti paham betapa pentingnya menjaga nama baik keluarga kita. Jika sampai ada orang yang mengetahui masalah ini, nama keluarga kita bisa tercoreng. Oleh karena itu, sebelum masalah ini menyebar, kalian harus segera menikah." "Hah?!" teriak Evan dan Ivy secara bersamaan. Ivy ternganga. Menikah? Dengan orang yang bahkan baru ia kenal beberapa jam yang lalu?“Aku baik-baik aja,” ucap Naufal pelan setelah beberapa saat. Matanya masih menatap Ivy dengan tatapan yang tak bisa Ivy jelaskan. “Tadi katanya kamu sakit?” tanya Ivy lagi dengam keraguan yang masih tersirat dalam suaranya. “Sekarang udah ngga sakit,” jawab Naufal singkat. Ivy tersentak mundur saat Naufal mendekat. Ia merasa semakin ada yang aneh pada Naufal, suasana yang terpancar darinya terasa mencekam. Detak jantungnya berdebar kencang. Ia terus mundur hingga punggungnya menempel dinding, terperangkap. Paniknya semakin menjadi. Naufal terus mendekat, wajahnya kini hanya sejengkal dari wajah Ivy. Bau parfum Naufal yang biasanya segar kini terasa menyengat hidungnya, menambah rasa takutnya. Napas Naufal memburu dan Ivy bisa merasakan hembusan napasnya di pipinya. “Ka-kalau kamu baik-baik saja, aku pulang aja ya,” ucap Ivy pelan, suaranya bergetar. Ia berusaha melangkah pergi, namun Naufal mencekal lengannya dengan kuat, jari-jarinya mencengkeram dengan kasar. Sentuh
Begitu sampai di depan toko, Ivy memarkirkan BMW X5 miliknya dengan tenang. Ia mematikan mesin, melepas sabuk pengaman, dan menatap bangunan toko yang sudah cukup lama tak ia kunjungi. Bangunan itu masih tampak sama seperti ia terakhir kali berkunjung.Ivy sempat melirik sebentar ke arah kafe tempat ia akan bertemu dengan Naufal nanti. Namun karena ia ingin mengecek kondisi toko, ia pun memilih untuk masuk ke dalam toko terlebih dahulu.Begitu membuka pintu kaca toko, Ivy langsung disambut suara bel kecil dan riuh pengunjung. Ruangan dipenuhi pelanggan yang sedang memilih barang, beberapa staf tampak sibuk melayani, dan suasana toko jauh dari kata sepi. Ivy cukup terkejut sekaligus senang. Ivy menyapa beberapa staf yang mengenalinya lalu berjalan ke balik meja kasir dan meminta laporan harian. Beberapa menit ia habiskan meninjau laporan penjualan, mengecek stok barang, menanyakan kondisi pegawai, hingga memastikan sistem keuangan berjalan stabil.Semuanya Ivy perhatikan dengan teliti
Di dalam mobil, Ivy hanya diam sambil menatap pemandangan malam yang melintas di balik jendela. Cahaya lampu jalan berpendar lembut di permukaan kaca, menciptakan bayangan yang bergerak mengikuti irama perjalanan. Dalam hati, ia berharap Evan tidak menyadari bahwa beberapa menit lalu ia sempat berbicara dengan Naufal. Di kursi depan, Evan dan Owen tampak sibuk mengobrol tentang acara tadi malam dan rencana bisnis mereka ke depannya.Ivy mengecek jam di layar ponselnya, angka sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rasa kantuk mulai menyerang, dipadu dengan lelah yang sejak sore belum juga surut. Ivy menyandarkan kepala ke jok, menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.Suasana di dalam mobil terasa hangat, nyaris membuatnya lupa akan keresahan yang tadi mengganggu pikirannya. Ia berjanji pada diri sendiri akan bangun saat mobil berhenti di depan rumah.★★★Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, menyentuh wajah Ivy dengan lembut. Ia mengerjap pelan lalu
Acara pembukaan restoran akhirnya mencapai penghujung. Para tamu satu per satu pamit meninggalkan tempat dengan senyum puas dan ucapan selamat.Evan, Ivy, dan Owen berdiri di dekat pintu keluar, mengucapkan salam perpisahan kepada beberapa tamu terakhir. Setelah itu, ketiganya berjalan ke area parkir yang tak jauh dari restoran.Evan menggandeng tangan Ivy, menggenggamnya erat seolah tak ingin terlepas. Ivy hanya menunduk diam mengikuti langkahnya, pikirannya masih dipenuhi banyak hal yang begitu rumit. Begitu sampai di dekat mobil, tiba-tiba seseorang berjas hitam berlari mendekati mereka.“Permisi Pak Evan, Pak Owen, ada yang ingin bicara dengan kalian,” ujar pria itu begitu sampai di hadapan mereka. “Siapa?” tanya Evan.“Saya kurang tahu, Pak. Tapi dia bilang penting,” jelas pria itu dengan nada serius.Evan dan Owen saling bertatapan sejenak. Lalu Evan mengangguk singkat. Iakemudian berkata, “Baik, nanti kami ke sana.” Pria itu membungkuk hormat sebelum berlalu. Evan kemudian m
Usai prosesi pemotongan pita, MC kembali maju ke tengah panggung sambil tersenyum lebar.“Terima kasih banyak kepada Bapak Evan dan Ibu Ivy atas momen yang luar biasa barusan,” ujarnya penuh semangat, “Tapi karena setelah ini masih ada rangkaian kegiatan lainnya, kami mohon dengan hormat kepada Bapak Evan dan Ibu Ivy untuk kembali ke tempat duduk terlebih dahulu.”Beberapa tamu berdiri memberi apresiasi. Evan menunduk singkat sebagai tanda hormat dan Ivy menirukannya. Lalu, Evan mengajak Ivy untuk perlahan melangkah turun dari panggung.Dan selama perjalanan menuju meja mereka, tangan Evan tetap tak melepaskan tangan IvyIvy meski tampak malu-malu, membiarkan tangannya tetap berada di dalam genggaman Evan. Bahkan sesekali ia meliriknya sambil tersenyum kecil.Namun dari kejauhan, sepasang mata Naufal mengawasi mereka dengan tatapan berbeda.Matanya menyipit dan meski ia tidak mengatakan sepatah kata pun, jelas ada ketidaksukaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia terus menatap Ivy
Evan tiba di panggung. Sesaat ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sorotan lampu menyinari wajahnya yang tampak lebih tenang dari biasanya. Evan mengambil napas pelan sebelum mulai berbicara.“Selamat malam semuanya,” ucap Evan. Suara bass-nya terdengar jernih di seluruh ruangan.Para tamu membalas dengan anggukan dan senyum hangat.“Saya berdiri di sini malam ini bukan hanya sebagai pemilik HMY EI, tapi juga sebagai seseorang yang punya mimpi sederhana, mimpi untuk memperkenalkan kembali kelezatan masakan Nusantara lewat tempat yang bisa membuat siapa pun merasa seperti pulang ke rumah,” lanjut Evan. Evan berhenti sejenak. “Restoran ini lahir dari kenangan. Dari rasa rindu akan aroma dapur masa kecil, obrolan hangat di meja makan, dan suara tawa yang muncul di antara suapan pertama. Namun, saya juga ingin membungkus semua kenangan itu dengan sesuatu yang lebih modern, lebih relevan untuk generasi kita sekarang.”Beberapa hadirin tampak mengangguk, tersentuh dengan ketul
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments