MasukKetika ayah angkatnya meninggal dan kakak angkatnya koma, hal terakhir yang Anya kira akan terjadi adalah— “Dalam surat wasiat ini, apabila saya meninggal dunia atau berada dalam kondisi darurat, seluruh kendali dan keputusan hukum atas Adikara Group hanya sah apabila Tama Adikara telah resmi menikah dengan Anya Lavina.” Menikah? Dengan Tama? Kakaknya yang bahkan tak pernah menganggapnya ada? Namun saat tubuh yang dingin itu perlahan merespons sentuhannya, membalas ciumannya— Apa laki-laki ini sedang berpura-pura? Dan ketika Tama akhirnya membuka matanya, apakah ia akan mampu menerima kenyataan bahwa dirinya adalah istrinya? "Berani sekali kamu menciumku dalam mimpiku. Apa yang kamu lakukan, Anya?"
Lihat lebih banyakTanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.
Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.
Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca.
Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.
Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap.
Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.
Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.
Bahkan sekarang pun, suara mesin monitor dari ruang ICU masih terngiang jelas di kepala.
Pelan. Tapi cukup untuk mengingatkanku bahwa dia masih berjuang sendirian.Dan kini, orang yang meninggalkanku sendiri.
Bisik-bisik pelan terdengar dari barisan kursi belakang—bukan soal kehilangan, tapi soal saham, rapat, dan warisan.
Di ruang duka ini, nama Adikara Group lebih penting daripada sosok yang terbaring di peti.
Dari kejauhan, Miranda—istri kedua Ayah—sibuk menyapa tamu.
Perempuan itu tampil terlalu sempurna untuk suasana duka— jas hitam pas badan, make-up lembut, dan senyum yang seolah sudah dilatih sebelumnya.Setiap gerakannya seperti pertunjukan kecil. Ia melengang dengan senyum, jabat tangan, lalu senyum lagi. Rasanya, dia lebih sibuk menjaga citra daripada mengenang suaminya yang baru saja pergi.
“Rapat direksi harus dipercepat. Besok siang.”Aku menoleh.Rapat? Serius? Bahkan belum dua puluh empat jam sejak Ayah meninggal.
Ruang duka ini begitu aneh. Seolah hanya aku yang berduka, di antara banyaknya manusia.
Tidak ada tangis maupun pelukan. Tak ada kesedihan, tak tampak kehilangan.
Aku menunduk, menggenggam erat ujung rok hitamku yang mulai kusut.
Seharusnya aku pergi, karena kehadiranku pun tak berarti. Tapi entah kenapa, kakiku seperti tertahan.“Nona Anya, boleh ikut saya sebentar?”Suara berat seorang pria memecah pikiranku.
Aku mendongak—dan di sana berdiri seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi dan tatapan yang kukenal. Pengacara keluarga sekaligus orang kepercayaan Ayah.
Aku buru-buru mengusap sisa air mata. “I—iya, Pak,”
Langkahku ragu saat mengikutinya melewati lorong sempit di sisi aula.
Di ujung lorong, Pak Damian berhenti di depan pintu kayu tinggi dengan ukiran lambang keluarga Adikara.“Silakan masuk,” katanya pelan. “Semua sudah menunggu.”
Aku melangkah masuk.
“Kamu ngapain disini?” suara itu terdengar tajam dan menusuk. Miranda tidak berteriak, tapi nadanya cukup untuk membuat siapa pun menunduk. “Ini urusan keluarga.”
Tentu saja, aku tahu nada itu.
Persis seperti karakter ibu tiri jahat di dongeng anak-anak.
Belum sempat aku menjawab, Pak Damian lebih dulu bicara.
“Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan terkait wasiat dari mendiang,” ucapnya sambil mengangkat beberapa lembar kertas dari map tebal. “Dan ada kaitannya dengan Nona Anya.”
“Wasiat ini ditulis langsung oleh beliau, disaksikan oleh anak kandungnya, Tama Adikara, dan Notaris Utama keluarga, Ibu Ratna Wiryawan. Dokumen ini juga telah disahkan secara hukum.”
Ruangan tetap sunyi. Semua fokus mendengar setiap detail yang dibacakan Pak Damian—tentang aset, saham, dan jabatan.Namun kepalaku masih terngiang oleh kehilangan. Bagaimana hidupku setelah ini?
“Baik.” Suara Pak Damian memecah lamunanku.
Ia menatap Miranda, lalu menurunkan pandangan ke lembar terakhir di tangannya.
“Dan ini,” katanya pelan, “Bagian utama dari wasiat mendiang Bapak Ardian Adikara.”
Kertas di tangannya bergetar halus—entah karena udara dingin, entah karena beban dari kalimat yang akan keluar sesaat lagi.
Setiap kata terasa berat saat diucapkan. “Apabila saya meninggal dunia atau berada dalam kondisi darurat, seluruh kendali dan keputusan hukum atas Adikara Group hanya sah apabila Tama Adikara telah resmi menikah dengan Anya Lavina.”
Seketika, udara di ruangan membeku. Tak ada yang bergerak. Miranda terpaku. Senyum kecil di wajahnya menghilang.
Aku hanya menatap Pak Damian, berusaha mencerna kalimat yang baru saja kudengar.
Menikah? Dengan Tama? Kakak angkatku?
Denting alat makan menjadi satu-satunya suara yang terdengar.Di ruang makan yang luas ini, udara terasa padat.Aku duduk tepat di sisi Tama. Pisau di tanganku bergerak pelan, membelah serat daging di piringnya.Salah seorang Dewan yang tak kukenal namanya meletakkan serbetnya yang masih kaku di atas meja. “Dahulu, mendiang Tuan Ardian juga sering menjamu kami dengan perjamuan seperti ini,” ucapnya, membuka pembicaraan.Suaranya berat, bergema di antara pilar-pilar ruangan.Ia menatap sekeliling ruangan, membiarkan matanya berhenti sejenak pada lukisan-lukisan di dinding, lalu menatap Tama. “Saya tidak menyangka pewarisnya akan menghidupkan kembali tradisi ini secepat ini. Meja ini... mengingatkan saya pada masa-masa itu.”Miranda, di ujung meja, mengangkat gelasnya perlahan. “Ardian tahu cara menghargai rekan-rekannya,” sahut Miranda. Ia menyandarkan punggungnya yang tegak ke kursi, matanya menyapu wajahku sejenak sebelum beralih ke Tama. “Aku senang melihatmu masih mengingat si
Jarum di piringan hitam turun perlahan.Alunan musik klasik mengalir memenuhi ruang kerja Tama—cukup keras untuk mengaburkan percakapan, cukup padat untuk menutup kemungkinan didengar orang lain.Aku berdiri di dekat jendela, memperhatikannya dari kejauhan.Tama duduk di balik meja. Punggungnya tegap, jasnya rapi. Tak ada sisa pria rapuh yang mereka lihat kemarin. Hanya ujung jarinya yang mengetuk permukaan meja—pelan, teratur.“Kau yakin?” tanyaku akhirnya.Ia tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap pada berkas di depannya.“Kurasa Miranda dan Hans tak cukup” ucapnya kemudian, suaranya rendah, hampir tenggelam oleh suara musik.“Aku ingin Dewan duduk di meja yang sama.”Aku menegang.“Kau gila? Kalau Dewan duduk di sini,” kataku, “mereka akan melihatmu lemah.”“Mereka sudah melihat itu,” jawabnya.“Sekarang aku ingin tahu apa yang mereka lakukan setelahnya.”Aku menatapnya.“Kita sudah melakukan itu,” balasku lebih pelan. “Dan kau tahu bagaimana reaksi mereka.”Tama mengangkat k
Aku terbangun sebelum fajar.Bukan karena mimpi.Hanya perasaan ganjil—seolah udara di kamar ini terlalu sunyi untuk ukuran pagi.Aku menatap langit-langit beberapa detik, mencoba mengenali apa yang salah. Tak ada suara. Tak ada bayangan. Tapi dadaku terasa sesak, seperti sedang ditatap tanpa bisa melihat balik.Lengan Tama masih melingkar di pinggangku.Aku melepaskan diri perlahan, berusaha tak membangunkannya, lalu berdiri dan berjalan ke kama
Lampu kamar sudah padam, menyisakan setitik cahaya kuning dari lampu tidur di sisi ranjang.Aku duduk di sofa, masih dengan pakaian yang sama sejak pagi tadi. Rasanya tubuhku terlalu berat bahkan untuk sekadar berdiri dan mengganti baju.Tanganku terasa dingin, tapi pergelangan kiriku berdenyut panas.Di bawah cahaya redup, bekas cengkeraman Hans tampak semakin jelas—ungu kebiruan, kontras dengan kulitku.Aku menyentuhnya pelan. Nyeri itu langsung menjalar.“Kau akan terus duduk di sana sampai pagi?”Suara Tama memeca












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.