Di atas ranjang Scarlet membuka pelan matanya dengan tubuh yang tertidur menyamping. Di pergelangan tangannya terpasang selang infus yang mentransferkan sekantong darah yang masuk melalui nadi besar di tangannya.
Scarlet berdiri dari ranjang, menggerakkan seluruh badannya. Luka di bagian belakang seakan tidak di rasakannya, dia melepaskan selang infus yang menancap di pergelangan tangannya dan berjalan mendekati pintu. Namun sebelum dia mendekati pintu, seorang wanita masuk dan melihatnya dengan cemas. Wanita yang bertugas sebagai dokter untuk semua agen, memastikan kesehatan dan mengobati agen yang terluka, berjalan menghampirinya.
“Sudahku duga, kau bisa pulih secepat ini. Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasakan kesakitan?” tanya wanita itu memperhatikan seluruh bagian tubuh Scarlet.
“Apa yang kau lakukan padaku?” tanya Scarlet datar.
“Aku merawatmu, aku yang mengobatimu. Kemari, aku akan memeriksa lukamu lagi,” ucap wanita itu tersenyum dan segera mengangkat pakaian Scarlet, melihat bagian belakang Scarlet.
“Bagus! Obatku berhasil, lukamu sudah mengering secepat ini.”
Dengan cepat Scarlet membalikkan badannya dan mencengkeram leher wanita itu. “Apa yang kau berikan padaku?”
Tatapan mata Scarlet begitu tajam, jemari tangannya dengan kuat mencengkeram batang leher wanita itu.
“Scar ... te-tenang, apa ini caramu berterima kasih kepada penolongmu,” ucap wanita itu dengan suara yang tercekik.
“Sudahku bilang jangan mencampuri urusanku! Obat apa yang kau berikan padaku?”
“A-aku ke-kesulitan, berbicara ....”
Scarlet perlahan melepaskan cengkeraman tangannya agar wanita itu bisa berbicara dengan jelas.
“Uhuk ... uhuk ....”
Merasa lega dengan cengkeraman jemari Scarlet, wanita itu mengatur pernafasannya sambil memegang lehernya sendiri.
Sementara Scarlet masih menatapnya dengan wajah datar, menunggu jawaban dari wanita yang ada di depannya.
“Aku, hanya menyuntikkan beberapa obat ke dalam darahmu.”
“Katakan dengan jelas, obat apa yang kau maksudkan?” tanya Scarlet dengan nada yang tinggi.
“Seperti biasa, obat yang di berikan untuk menghilangkan rasa sakit dan memulihkan penyembuhan lukamu,” jawab wanita itu dengan keringat yang pelan.
“Kalau sampai aku tahu kau menjadikanku sebagai kelinci percobaanmu, percaya atau tidak aku akan membunuhmu!” ucap Scarlet lalu segera meninggalkan wanita itu sendirian di dalam ruangan.
Scarlet berjalan dengan tubuh yang sehat dan bugar. Sesekali dia mengerakkan tubuh dan kepalanya, dia sedikit merasa aneh setiap kali mendapatkan hukuman dari bosnya tubuhnya segera pulih dengan cepat sehingga membuat dirinya sendiri tidak bisa merasakan bagaimana menahan sakit dengan pemulihan yang lama.
Di dalam ruangan Scarlet menemui bosnya yang sedang berdiri menatap ke sebuah layar besar, dia mendekati bosnya dari belakang.
“Bagaimana lukamu?” tanya bosnya masih menatap ke sebuah layar yang menunjukkan foto seorang lelaki lengkap dengan data dirinya.
“Hanya luka kecil, tidak akan membuatku mati,” jawab Scarlet datar.
“Bagus! Tidak sia-sia bos besar memilihmu untuk menjalankan misi baru ini,” ucap bosnya sambil membalikkan badannya, menatap Scarlet dengan senyuman kecil.
“Heh! Bukankah setiap misi yang diberikan bos besar selalu di serahkan padaku?”
“Tentu saja, bos besar sangat mengagumi. Oleh sebab itu, misi kali ini di percayakan padamu.”
“Aku harap misi kali ini sedikit lebih menantang. Aku bosan dengan misi yang tidak berbobot.”
“Tenang saja, kali ini misi yang akan kamu terima sedikit menantang. Kau hanya perlu mencuri semua data penting mengenai lelaki yang ada di layar ini.”
“Mencuri? Tapi aku hanya terbiasa membunuh bukan mencuri?” ucap Scarlet tersenyum remeh lalu duduk di kursi sambil memperhatikan foto seorang lelaki yang ada di layar besar.
“Tenang saja, tempat yang akan kau kunjungi ini di penuhi dengan pengawasan yang ketat. Kau bisa membunuh siapa saja yang menghalangi pekerjaanmu, tapi aku sarankan jangan bermain-main dengan misi kali ini.”
“Baik, aku tahu bos. Berikan lokasinya padaku.”
“Ini semua adalah peta dan gambaran semua titik pengawasan. Tugasmu hanya mencuri data, jangan membuat rencanaku gagal,” ucap lelaki itu menyodorkan beberapa lembar kertas ke hadapan Scarlet.
“Aku mengerti bos,” ucap Scarlet mengambil lembaran kertas itu dan melihatnya.
Hanya beberapa menit Scarlet memperhatikan lembaran kertas itu, dia segera berdiri dari kursinya dan meninggalkan kertas itu di atas meja.
“Aku pergi bos,” ucap Scarlet berjalan santai melewati bosnya yang masih berdiri di ruangan itu.
“Scar, kau melupakan petanya,” panggil bosnya melihat lembaran kertas yang terletak di atas meja.
“Petanya sudah ada dalam pikiranku. Bos tenang saja,” ucap Scarlet menghentikan sejenak langkahnya lalau meneruskan langkah kakinya.
Scarlet berjalan memasuki ruangan yang lain. Di dalam ruangan yang besar terdapat beratus-ratus perlengkapan tempurnya, mulai dari senjata bermacam-macam model dan alat-alat canggih lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu.
Scarlet berjalan memperhatikan ke arah alat-alat canggih yang berderet rapi, dia memilah semua perlengkapan yang akan dibawanya untuk melaksanakan misinya.
Setelah selesai dengan pemilihan alat tempur pribadinya Scarlet mengambil pakaiannya ke dalam lemari dengan memberikan akses wajahnya ke sebuah alat pemindai yang berada di sisi lemari yang terbuat dari besi itu.
Setiap peralatan yang akan di pakai telah tersedia khusus untuk setiap agen yang akan menjalankan misinya. Dia mengenakan pakaiannya, memakai semua peralatannya dengan lengkap lalu segera keluar dari ruangan bawah tanah.
Jalan keluar setiap agen untuk menjalankan misinya tidak melalui pintu gerbang masuk, melainkan melewati jalan keluar yang lain yang telah di rancang.
Scarlet memilih kendaraannya sendiri untuk pergi ke tempat yang akan dia tuju. Sebuah mobil berwarna hitam metalik di bawanya keluar dari markas mereka. Begitu keluar, Scarlet telah berada di gang bangunan tinggi yang berada di tengah-tengah perkotaan.
Dalam perjalanan sesekali dia memejamkan matanya untuk mengingat kembali bayangan peta yang sempat dia lihat tadi. Daya ingat Scarlet jauh di atas rata-rata agen yang lain, dia bisa dengan mudahnya mengingat setiap belokan dan jalan yang akan dia lalui untuk sampai ke tempat yang menjadi misinya.
Begitu sampai di tempat yang akan dia tuju, Scarlet memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam sebuah gedung. Dia berjalan menaiki puncak gedung itu dengan tas hitam yang di jinjingnya. Malam hari yang gelap membuatnya lebih mudah dan leluasa untuk menjalankan aksinya.
Scarlet memantau ke arah gedung yang lain menggunakan teleskop kecil. Dia memperhatikan setiap sudut gedung yang ada di depannya. Gedung yang tinggi itu ternyata memang benar di jaga dengan sangat ketat.
Agar tidak menimbulkan keributan, Scarlet menunggu sampai larut. Beberapa lampu di dalam gedung itu telah padam, hanya tersisa dua orang penjaga yang bertugas di depan pintu masuk dan pintu keluar di bagian belakang bangunan.
Merasa semuanya telah aman, Scarlet mengeluarkan sebuah alat dari dalam tas hitam yang dibawanya tadi dan mengarahkannya ke arah gedung yang akan dia masuki.
Tali panjang yang terbuat dari besi keluar dari alat itu menuju ke gedung di depannya. Tak lama kemudian tali besi yang dia tembakkan tertancap dengan kuat di dinding gedung itu. Scarlet menarik dengan kuat tali itu untuk memastikan kalau tali itu telah kokoh. Diikatnya ujung tali yang lain dengan alat pengait yang berada di ujungnya lalu Scarlet memegang sebuah ban kecil yang menggantung di tali itu dengan roda yang mengait di seutas tali besi itu.
“Em, Nona ... kau membawaku di hotel?” Scarlet tak punya pilihan lain selain menempatkan Richard di sampingnya dan membiarkan lelaki itu hidup sedikit lama agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi berita tentang masalah yang dia sebabkan di penjara Colorida sudah tersebar di seluruh media masa. Ia terpaksa harus ekstra hati-hati dalam menunjukkan dirinya di depan publik jangan sampai dikenali oleh orang lain. Ia melepaskan borgol di pergelangan tangannya dan mengaitkannya di tiang besi ranjang, membiarkan Richard duduk di atas ranjang dengan nyaman. “Hubungi Don Carlos dan minta dia menemuiku sendirian,” ucapnya melirik ke arah telepon yang terletak di atas meja kecil yang tak jauh dari Richard. “Apa kau tak takut Don Carlos akan menemukan lokasi kita berdua.” “Aku hanya ingin dia tau kalau kau masih hidup dan bersama dengan or
“Jangan bercanda! Tembak mereka,” teriak Scarlet dengan suara lantang. Richard segera mengambil pistol yang berada di samping paha Scarlet dan mulai menembak mobil di belakang mereka. Namun tak ada satupun mobil yang terhalang karena tembakannya selalu meleset saat Scarlet membelokkan motornya untuk menghindari hujan peluru dari belakang. Merasa kesal dengan kemampuan menembak Richard, Scarlet memerintahkan Richard untuk memegang kemudi motor dari belakang. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Richard yang bingung dengan posisi mereka saat itu. “Berikan pistolnya padaku dan bawa motornya,” ucap Scarlet mengambil pistolnya. Richard dengan cepat membungkukkan badannya ke samping untuk meraih pegangan setir motor yang ada di depan. Sedangkan Scarlet yang telah melepaskan tangannya dari setir m
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan