Stella dengan cepat menepis tangan Tristan yang sedang mengelap keringatnya ketika dia melihat Dafina tengah memperhatikan mereka berdua. Ia khawatir akan kesan yang diberikan oleh Dafina, Stella langsung berdiri dari batu yang sedang ia duduki dan bergegas berjalan menuju beberapa sapi yang berada di peternakan.Stella mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri saat berjalan menuju hewan-hewan yang merumput di padang rumput hijau. Wanita itu mencoba membuang perasaan canggung yang menghampirinya sejak Tristan menyentuhnya tadi. Dia tak ingin membuat situasi menjadi canggung di antara mereka bertiga.Sementara itu, Tristan diam-diam menghela napas lega saat Stella beranjak dari tempat duduknya. Dia menyadari bahwa tindakannya tadi mungkin terlalu gegabah untuk diperlihatkan di depan Dafina. Dengan cemas, dia berharap tindakannya itu tidak menimbulkan kesan yang salah.‘Ada hubungan apa sebenarnya dengan mereka berdua? Bukankah aku sudah mengingatkan Stella agar tak lagi mendekati Tuan
Wajah Bi Ani terlihat begitu khawatir saat melihat Tristan yang sudah sampai di rumah dengan Stella yang ada di gendongannya. Dia langsung merasa cemas dan bertanya dengan panik. “Apa yang terjadi dengan Stella, Tristan?”Tristan menatap Bi Ani dengan ekspresi serius. “Stella terjatuh di peternakan, Bi,” jawabnya, sambil meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di kursi yang ada di depan rumah.Paman Dul yang sedang sibuk memotong rumput di halaman rumahnya, mendengar kehebohan dan segera bergegas ke arah mereka. “Apa yang terjadi, Stella?” tanyanya, khawatir.Stella menunjuk sepatu bootnya dengan raut wajah bersalah. “Itu gara-gara sepatuku,” akunya, merasa malu.Paman Dul menggelengkan kepala dengan sedikit kesal. “Kamu ini Stella, selalu saja terjadi hal-hal seperti ini,” ujarnya, sambil menepuk pelan jidatnya.Sementara itu, Tristan yang masih berlutut di dekat Stella, memeriksa luka di lututnya. Dia kemudian menoleh ke arah Bi Ani dengan bertanya. “Apa Bibi punya obat luka?”Bi Ani
Ketika Tristan berada di luar kamar, matanya tertuju pada sebuah vas bunga yang terjatuh di lantai. Langkahnya terhenti, dan dia merenung sejenak, mencoba mengidentifikasi penyebab jatuhnya pas bunga itu. Dengan hati-hati, Tristan memindai setiap sudut ruangan, mencari petunjuk atau tanda-tanda yang mungkin membantunya memahami kejadian tersebut.Saat Tristan mendekati pembatas dinding, matanya terfokus pada siluet seseorang yang ia kenal. Meskipun tanpa bicara, Tristan dengan cepat menyimpulkan siapa yang mungkin menjadi penyebab jatuhnya vas bunga itu. Namun, dia memilih untuk kembali lagi ke kamar menemui Stella.Ketika Tristan kembali ke dalam kamar, Stella langsung bertanya “Siapa yang berada di luar?”“Tidak apa-apa, hanya vas bunga yang terjatuh,” jawab Tristan, sengaja merahasiakan identitas orang yang ia lihat tadi. Dia ingin melindungi Stella dari rasa khawatir yang tak perlu, tidak ingin menambah beban di pundak wanita yang ia sayangi.***Saat malam tiba, Stella merasa leb
Di dalam mobil yang gelap, Tristan menunggu dengan sabar di dekat gang yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Bi Ani dan Paman Dul. Namun, waktunya terus berlalu dan Stella belum juga muncul. Tristan mulai merasa cemas dan mencoba mengirim pesan kepada Stella untuk mengetahui keberadaannya. Namun, belum juga Tristan mengirim pesan kepada Stella, ada yang mengetuk pintu mobilnya.Tristan terkejut saat melihat Stella di luar mobil. Dia membuka kunci pintu mobil dengan cepat, menyambut kedatangan Stella dengan senyum ramahnya. “Ada apa? Kenapa kamu lama sekali?” tanyanya yang sedikit khawatir.Stella masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sedikit terengah-engah. “Bagaimana menurutmu, apakah Paman dan Bibi curiga kepada kita?” tanyanya begitu duduk di kursi yang ada di samping Tristan.Tristan memikirkannya sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya tidak.” Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, lalu menatap Stella dengan penuh perhatian. “Tapi dengan penampilanmu seperti ini, m
Setelah beberapa menit mengendarai mobil hitamnya, Tristan memutuskan untuk menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang berdekatan dengan pasar malam. Stella memandang dengan antusias ke arah pasar malam yang begitu ramai. Sorot matanya berbinar melihat permainan-permainan yang menjulang tinggi ke atas langit.Mereka berdua keluar dari mobil dengan penuh semangat. Langkah-langkah mereka terhenti sejenak ketika aroma makanan khas pasar malam menyambut mereka, menggoda lidah dan penciuman mereka. Tristan melihat senyum cerah di wajah Stella, membuatnya merasa senang.“Kamu suka?” tanya Tristan sambil tersenyum melihat kegembiraan Stella.Stella mengangguk cepat. “Iya, aku suka sekali! Pasar malam ini begitu hidup dan bersemangat.”Tristan tersenyum puas melihat antusiasme Stella. “Ayo kita jelajahi pasar malam ini.”Mereka berdua berjalan menyusuri deretan kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan. Suasana pasar malam begitu riuh dengan suara jualan, tawa riang anak-anak, dan lampu-la
Stella memandang bunga mawar yang terhampar di tangannya dengan tatapan terkesima. “Tristan, ternyata selama ini aku salah menilaimu,” ucapnya dengan suara penuh kekaguman.“Salah kenapa?” tanya Tristan, lelaki itu sepertinya ingin tahu apa yang ada di pikirkan Stella.“Aku kira kamu sudah tidak romantis lagi seperti dulu, tapi ternyata, kamu masih romantis,” jelas Stella sambil tersenyum.“Jadi … jangan meremehkan aku lagi,” ucap Tristan sambil tersenyum bangga atas pujian Stella.Stella kemudian menunjukkan keheranannya. “Oh ya, kamu membeli bunga ini dari mana? Perasaan tadi kamu tidak membawa bunga,” tanyanya.Tristan menjelaskan, “Di depan sana ada yang jual, tapi satuan.”“Maksudnya?” tanya Stella, memandang bunga-bunga tersebut yang tampaknya lebih dari satu.“Aku membeli semua bunganya dan menyuruh penjual itu untuk merangkainya jadi satu,” terang Tristan dengan bangga.Stella tertegun. “Hm, sungguh merepotkan,” gumamnya sambil menggeleng pelan.Namun, di balik rasa kekaguman
Tristan mencoba menyalakan mesin mobilnya lagi, tetapi mesin mobil tetap tidak mau menyala. “Aku akan keluar dan melihat apa yang terjadi.”Stella memegang tangan Tristan dengan cemas. “Tapi jalannya sepi, Tristan. Lebih baik kita tidak meninggalkan mobil di sini.”Tristan menepis tangan Stella dengan lembut. “Tenang saja, aku akan segera kembali. Aku hanya akan melihat apa yang terjadi.”Dengan hati-hati, Tristan keluar dari mobil dan membuka penutup depan untuk memeriksa mesin. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan ekspresi kecewa. “Tampaknya ada masalah dengan mesin. Aku tidak bisa memperbaikinya sendiri di sini.”Stella menggigit bibirnya, mencoba menahan kegelisahannya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Tristan merenung sejenak sebelum menemukan solusi. “Aku akan mencoba menelepon layanan bantuan jalan. Mereka seharusnya bisa membantu kita.”Tristan mulai merogoh ponselnya dari saku jaketnya, tapi ternyata tidak ada sinyal.“Kenapa?” tanya Stella, wajahnya terlihat khaw
“Tristan, kamu di mana?” desak Stella dengan suara gemetar, tetapi tidak ada jawaban dari Tristan. Kegelapan yang tiba-tiba menimpa mereka membuat pandangan Stella semakin terbatas. Panik mulai merayap di dalam dirinya, menyusup ke setiap serat tubuhnya. Kegelapan ini memicu rasa takut yang mendalam, membuatnya merasa terkurung dalam ruang sempit. Stella merasakan denyut panik di dadanya saat kilatan kenangan akan pengalaman traumatis sebelumnya yang terulang kembali. Dia teringat bagaimana ia pernah terperangkap dalam gelap, terkunci dalam gudang yang sunyi dan menyeramkan. Pikiran itu melonjak kembali, membawa sensasi tekanan yang tak tertahankan. “Tristan, tolong!” seru Stella lagi, suaranya penuh kecemasan, tetapi masih tak ada jawaban. Dia meraba-raba di sekelilingnya, mencari tangan Tristan atau setidaknya sesuatu yang bisa memberinya pegangan. Namun, hanya hampa yang dia temui, menambah ketakutan dan kecemasannya. “Tristan, di mana kamu?!” teriak Stella dengan suara gemeta