Share

Bab 6. Ketidakadilan

Stella dan sahabatnya, Elsa, sedang duduk di ruang tamu kontrakan mereka. Stella terlihat terus-menerus melamun, membuat Elsa bingung dan mencoba mencari tahu apa yang sedang membuat sahabatnya itu sedih.

“Kenapa kamu terus melamun? Apa kamu masih memikirkan Ramon?” tanya Elsa penasaran. Elsa merasa kesal ketika Stella memberitahunya bahwa Ramon telah berselingkuh dan telah membuat sahabatnya itu kecewa.

Stella menjawab dengan tegas, “Aku tidak lagi memikirkannya.”

Elsa kemudian bertanya lagi, mencoba menggali penyebab lamunan Stella. “Lalu karena apa?”

“Ini karena pengganti Pak Damian,” jelas Stella sambil menghela napas.

Elsa memperlihatkan raut wajah heran. “Kenapa? Apa dia orangnya galak?”

“Lebih dari itu,” jawab Stella dengan nada serius. “Kamu pasti tidak akan percaya siapa dia,” tambahnya, membuat Elsa semakin penasaran.

“Siapa memangnya?”

“Tristan,” ungkap Stella sambil memainkan ponselnya.

“Tristan...?” Elsa berhenti sejenak, mencoba mengingat.

“Dia pernah satu SMA dengan kita,” tutur Stella.

“Tristan yang pernah nembak kamu dulu?” Elsa mencoba menghubungkan kembali ingatannya.

“Ya,” balas Stella, wanita itu kini meletakkan ponselnya di meja sambil terus memperhatikan ikan di akuarium.

Elsa terkesiap mendengar jawaban dari sahabatnya itu. Ia masih ingat betul, lelaki yang pernah dekat dengan sahabatnya, bahkan lelaki itu sempat menembak Stella. Akan tetapi, Stella malah menolaknya mentah-mentah.

“Kamu serius?” Elsa bergeser dari tempat duduknya dan duduk di samping Stella, ingin mendengar lebih banyak lagi. “Berarti Tristan menjadi atasan dan kamu jadi sekretarisnya dong?”

Stella mengangguk sambil menatap Elsa. “Iya, tapi ternyata dia juga membawa sekretarisnya dari luar negeri,” jelasnya.

Elsa mengernyitkan kening. “Gawat, posisimu bisa terancam, Stel,” imbuhnya dengan nada khawatir. “Tapi… kalau begitu, kamu dan Tristan akan bertemu terus dong, ya?” tanyanya, mencoba melihat sisi positif dari situasi yang sulit itu. “By the way, bagaimana Tristan sekarang? Apa dia tambah ganteng?” Elsa bertanya dengan nada bercanda.

Stella tersenyum kecil mendengar pertanyaan Elsa. “Hmm, sepertinya dia masih tampan,” jawabnya sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum malu.

“Wow, mungkin ada kesempatan bagimu untuk menarik perhatiannya,” goda Elsa sambil menyipitkan mata.

Stella hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Aku pikir itu tidak mungkin. Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya dan tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Apalagi mungkin dia masih marah karena aku sempat menolaknya dulu," kata Stella dengan suara rendah.

“Eh, jangan pesimis begitu, Stel. Siapa tahu, mungkin ada jalan keluar dari situasi ini,” sahut Elsa, mencoba menghibur temannya.

Stella mengangguk setuju, tetapi masih merasa ragu. Hatinya berdebar-debar saat membayangkan bertemu Tristan setiap hari di tempat kerja. Tetapi di sisi lain, dia juga merasa ada semacam kegembiraan terselip di dalam hatinya.

Drrtt … rrrttt … drttt ….

Stella meraih kembali ponselnya dari atas meja saat mendengar bunyi berdering.

“Siapa itu?” tanya Elsa.

“Pak Damian. Aku harus angkat dulu,” kata Stella sambil beranjak dari sofa menuju balkon. Dia merasa tegang. Apa yang akan dikatakan oleh Damian?

“Halo, Pak Damian.”

“Stella, bisa kita bicara sebentar?”

“Tentu, Pak.”

“Aku ingin bertanya tentang tawaran yang aku berikan tempo lalu. Apa kamu sudah memiliki jawabannya?”

Stella terdiam sejenak, memikirkan perintah Damian untuk mendekati putranya, Tristan. Damian ingin mengetahui apakah Tristan seorang lelaki normal atau tidak karena selama ini, Tristan tidak pernah dekat dengan wanita manapun atau memiliki pacar.

Stella berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati sebelum menjawab, “Pak Damian, saya masih mempertimbangkan tawaran tersebut. Saya butuh waktu untuk memikirkannya lebih lanjut.”

Damian merespons dengan suara serius, “Tentu, Stella. Aku mengerti. Tapi tolong diingat, ini adalah kesempatan yang sangat penting bagiku. Aku harap kamu dapat mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh.”

Stella mengangguk meskipun dia tahu ini akan menjadi tugas yang sulit. Setelah percakapan singkat itu berakhir, dia duduk kembali di sofa, memikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati.

Stella menatap ke arah Elsa dengan wajah penuh keraguan. “Elsa, aku butuh saranmu. Pak Damian mengajakku untuk mendekati Tristan. Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan,” keluh Stella.

Elsa memandang Stella dengan penuh perhatian. “Hmm, itu memang situasi yang sulit. Tapi menurutku, kamu harus mempertimbangkan baik-baik. Apakah kamu merasa nyaman dengan tawaran itu? Dan bagaimana perasaanmu terhadap Tristan?”

Stella menggeleng perlahan. “Aku tidak yakin. Tapi aku juga tidak ingin mengecewakan Pak Damian. Dia sepertinya sangat memperhatikan Tristan, dan aku ingin membantunya jika bisa. Tapi … kenapa harus aku? Kenapa tidak wanita lain saja yang ia suruh?”

Elsa tersenyum melihat kebingungan sahabatnya itu. “Mungkin kamu adalah wanita yang bisa diandalkan, makanya Pak Damian menyuruhmu untuk mendekati Tristan. Kalau aku jadi kamu, tidak disuruhpun oleh Pak Damian, mungkin aku akan mendekatinya sendiri.”

“Ini benar-benar tidak mudah bagiku, apalagi dengan sikap Tristan yang dingin, sebenarnya aku ingin menolak, tapi karena Pak Damian sudah begitu baik kepadaku selama ini, aku jadi tak enak untuk menolaknya,” keluh Stella.

Elsa mengedipkan mata sambil memberikan senyum kecil. “Tenang, Stella. Aku yakin kamu akan menemukan jalan keluar dari situasi ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri.”

***

Stella, pagi ini sedang berada di pantry, wanita yang mengikat rambut satu itu sedang menyeduh teh hangat untuk Tristan, tapi tiba-tiba Maya, teman kerjanya, mendekatinya.

“Stella, kemarin bagaimana? Apakah kamu dimarahi tanpa henti?” Maya bertanya, mengingat Stella terlambat datang ke kantor.

Untungnya, Pak Damian tidak marah padanya. “Tidak,” jawab Stella.

“Tapi, apa Tuan Tristan yang memarahimu?” tanya Maya kembali.

“Tidak juga,” jawab Stella sambil menggelengkan kepalanya.

Maya menghela napas lega. “Syukurlah. Aku pikir Tuan Tristan akan marah besar karena situasinya sedang panas saat itu.”

“Kenapa, kok seperti itu?” tanya Stella.

“Kamu tidak tahu?” tanya Maya terkejut.

Stella hanya menggeleng.

“Di rapat kemarin, Tuan Tristan marah besar karena kesalahan dalam laporan keuangan. Dia bahkan menggebrak meja!”

Stella mengangguk. “Pak Damian juga suka begitu.”

“Tapi Tuan Tristan lebih parah,” sela Maya “dia memarahi setiap orang yang tidak bersalah juga.”

Setelah menyeduh tehnya, Stella bergegas akan pergi ke ruang Tristan. “Sudahlah, nanti lanjut lagi gosipnya,” ucap Stella sambil meninggalkan pantry.

Maya hanya mengangguk melihat kepergian Stella dari hadapannya.

Di ruang Tristan, Stella menaruh secangkir teh di meja kerjanya. “Tuan, ini teh hangatnya,” kata Stella sambil tersenyum manis.

Tristan, yang tengah sibuk dengan dokumen, melirik ke arah teh tersebut lalu memanggil Dafina, sekretarisnya. “Dafina,” panggil Tristan.

Dafina masuk ke ruang Tristan. “Iya, Tuan?”

“Tolong buatkan saya teh!” perintah Tristan yang membuat semua orang bingung.

Stella mengernyitkan dahinya saat mendengar perintah tersebut. Sedangkan Dafina memandang secangkir teh yang sudah dibuat Stella.

“Lain kali, kamu saja yang buatkan teh. Aku tidak ingin minum dari teh yang dibuat orang lain. Rasanya pasti tidak sama,” ujar Tristan.

“Baik, Tuan.“

Saat Tristan memberikan perintah kepada Dafina, Stella merasakan adanya perasaan tidak adil. Kenapa ia harus menyeduh teh untuk Tristan, sedangkan Dafina yang notabene adalah sekretaris Tristan tidak pernah ditegur. Dia merasa ada perlakuan tidak adil dari Tristan dan menjadi sedih mendengar kata-kata Tristan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status