“Kita pergi ke Bandung sekarang!” Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja lelaki itu mengajak Pijar pergi keluar. Ekspresi kelam yang ditunjukkan itu menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan Pijar yang ditelan tanpa ingin bertanya kepada sang bos. “Apa kita akan menginap?” Pijar tidak bertanya tentang tujuan mereka ke sana dan memilih bersikap professional. Jika mereka akan menginap, itu artinya, Pijar perlu menyiapkan beberapa barang untuk dibawanya pergi. “Tidak. Kalau urusan di sana selesai, kita langsung pulang.” Pijar mengangguk, lalu bertanya lagi. “Apakah ada dokumen yang perlu kita bawa, Pak?” “Tidak!” Setelah mengatakan itu, Elang memberikan kode agar mereka segera berangkat. Pijar memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tasnya sebelum mengekori Elang. Di luar gedung, seorang supir sudah menunggu untuk mengantar mereka. Pijar sebenarnya diliputi rasa penasaran yang tinggi karena kepergian mereka yang t
Label pengkhianat yang diberikan Elang kepada Pijar tampaknya tidak akan pernah hilang. Jujur saja, Pijar tidak begitu mengerti kenapa Elang mengatakan itu kepadanya berulang kali seolah dirinya pernah melakukannya. Akan tetapi, Pijar tidak ingin menjelaskan apa pun kepada Elang tentang dirinya. Penilaian Elang terhadapnya tidak akan pernah berubah karena lelaki itu sudah terlanjur membencinya. Pijar menerima panggilan tersebut kemudian menempelkan ponselnya di telinganya, tetapi Elang justru memintanya untuk me-loudspeaker. Kesal, Pijar melakukan permintaan bosnya tersebut bahkan meletakkan ponselnya di tengah-tengah meja. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Pijar kepada si penelpon. “Waalaikumsalam.” Suara seorang perempuan terdengar dari seberang sana. “Masih di kantor, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. Elang sedikit tercenung meskipun ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia tetap mendengar obrolan Pijar dengan seseorang di seberang sana yang notabennya adalah ibunya. “Ini lagi
Sudah pukul satu malam ketika Pijar sudah masuk ke dalam ruangan Elang selama tiga kali dan semua laporan yang dibuatnya dianggap salah. Tidak satu pun pekerjaan Pijar yang Elang anggap benar dan itu harus direvisi berulang kali. Lelah, kantuk, bahkan rasa lapar sudah menyerangnya. Pijar ingin segera pulang, tetapi dia tak akan bisa pergi selama Elang tidak mengizinkan pergi. Janji yang pernah dikatakan oleh Gema tentang akan memindahkan dia mendampingi bagian lain pun tidak pernah lagi diungkit. Sejujurnya, Pijar bertahan di sana karena memang gaji yang diberikan lebih besar dari perusahaan lain. Terlebih lagi, dia sudah delapan tahun bekerja di sana dan kenyamanan itu sudah didapatkan. “Kamu tidur, Jingga?” Elang keluar dari ruangannya mengejutkan Jingga yang terkantuk-kantuk di depan komputer. Kedua tangannya masih berada di atas keyboard laptop, tetapi matanya sudah tertutup rapat. “Maaf, Pak.” Pijar terlonjak kaget dan mencoba untuk membuka matanya lebar-lebar. Dia segera bera
Sebelumnya, Elang bahkan tidak pernah protes dengan wewangian di dalam ruangannya tersebut. Entah karena ingin mengubah suasana ruangannya, atau memang hanya ingin sekedar membuat Pijar kesal, tidak ada yang tahu.Pijar tidak banyak bicara ketika membuka salah satu lemari kecil, lalu mengeluarkan beberapa pengharum ruangan di sana. “Ini ada beberapa varian, Pak. Silakan Bapak bisa pilih.” Elang mengambil satu per satu sebelum mencium aromanya. Sayangnya, semuanya ditolak mentah-mentah. “Tidak ada yang cocok!” Begitu katanya dengan cuek. “Saya ingin aroma manis dan manly, semuanya aromanya feminim.” Pijar bukan penjual parfum. Dia bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa mencarikan aroma yang diinginkan oleh bosnya tersebut. Ini masih jam kantor sedangkan pekerjaannya masih menumpuk di atas meja kerjanya. Oleh karena itu, Pijar mencoba bernegosiasi. “Sepulang kerja, saya bisa mencarikan pengharum ruangan untuk Bapak. Tapi, sekarang saya harus mengerjakan pekerjaan saya yang masih bany
“Kenapa aku yang harus lenyap dari hadapanmu kalau kamu yang bermasalah denganku, Elang?” Pijar melemparkan semua atribut keformalannya yang selalu digunakan ketika berhadapan dengan Elang di saat mereka tengah membahas masa lalu. Tatapan Pijar tegas tak ada ketakutan sama sekali. Jika Elang sekarang mengangkat masalah mereka yang sudah berlalu, maka Pijar juga akan menghadapinya meskipun perih di dalam hatinya begitu besar. “Jangan bilang kalau kamu laki-laki gagal move on, Elang? Kenapa masa lalu yang seharusnya sudah dikubur, selalu kamu ungkit bahkan sampai membawanya pada ranah pekerjaan?” Pijar menyeringai ketika menatap Elang yang tampak semakin marah. “Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk menghilangkan rasa cinta. Dengan reputasimu, kamu bahkan bisa membuat banyak perempuan bersedia naik ke ranjangmu. Lalu kenapa sekarang kamu justru masih mengungkit masa lalu denganku?” “Karena kamu adalah perempuan yang sudah memberiku luka yang tidak bisa diobati!” Elang geram k
Untuk beberapa waktu, baik Pijar dan Bagas hanya bisa saling tatap. Pijar terkejut tentu saja. Namun, dia bisa menguasai hatinya. Ekspresinya tercetak dingin dan formal. Elang menatap dua orang itu bergantian sebelum berdehem keras. “Kalau kalian membutuhkan waktu untuk bernostalgia, maka lakukan nanti di luar jam kerja.” Suara Elang yang dingin itu membuat suasana di tempat itu terasa canggung luar biasa. Elang adalah jenis laki-laki yang tidak suka berpura-pura apalagi menyembunyikan ketidaksenangannya terhadap sesuatu. Oleh karena itu, dia akan langsung mengatakan apa pun yang mengganjal di dalam kepalanya. “Saya minta maaf, Pak.” Bagas buru-buru bersuara. “Bapak ingin melihat-lihat lebih detail lagi?” tanya Bagas meskipun fokusnya terbagi dengan menatap Pijar. “Tentu saja. Saya ingin proyek ini berjalan dengan baik dan tidak ada yang mengecewakan.” “Pasti, Pak.” Mereka lagi-lagi berjalan mengelilingi tempat tersebut untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan. Pijar fokus pa
“Apa aku serendah itu di matamu, Elang?” tanya Pijar dengan perasaan yang teriris perih, “kalau kamu tidak tahu apa pun tentang sesuatu, tolong jangan berbicara sembarangan. Kamu menyakiti hati orang lain.” “Oh, orang sepertimu juga punya rasa sakit hati? Bukankah kamu sudah tidak punya hati?” Elang semakin merendahkan Pijar dengan kata-katanya. “Pijar … Pijar …, jangan terus menggunakan topeng. Sekali-kali buka topengmu dan tunjukkan betapa kamu adalah manusia rendah.” Elang menunjukkan wajah tidak senangnya ketika mengatakan itu kepada Pijar. Dia seolah tengah menikmati setiap rintihan sakit yang Pijar rasakan atas semua kata-kata pedas yang diberikan. Meskipun begitu, Elang sepertinya tidak tampak puas. “Aku jadi penasaran. Berapa kamu membandrol hargamu untuk bisa dibawa ke kamar hotel. Seratus ribu? Atau dua ratus ribu? Atau bahkan gratis?” Kekehan sinis keluar dari mulut Elang setelah itu sebelum dia kembali bersuara. “Sayangnya, meskipun gratisan, aku bahkan tidak ingin tidu
“Apa yang kamu lakukan, kamu mau ke mana?” Elang mengernyitkan dahinya ketika melihat Pijar berbalik untuk pergi meninggalkan Elang yang masih berdiri di tempat semula. Langkah kaki Pijar terhenti. Gadis itu berbalik untuk menatap Elang. Wajah lelahnya tampak menyedihkan meskipun masih tertutup dengan makeup. Pijar menatap Elang sebelum satu tarikan napasnya lolos. “Saya ini manusia biasa, Pak. Bukan robot. Ini sudah hampir jam sembilan malam, kenapa saya harus meneruskan bekerja?” Pijar tidak mengalihkan tatapannya di wajah Elang dan menunggu jawaban lelaki itu. “Apa saya tidak membayar kamu ketika saya memintamu untuk lembur?” “Ini bukan bukan soal uang, Pak.” “Oh, tentu saja ini bukan soal uang. Kamu pasti sudah banyak uang karena itu kamu merasa tidak penting lagi lembur menyelesaikan pekerjaan kantor. Atau, hari ini kamu punya klien? Sudah ditunggu di hotel?” Pijar sangat lelah mendengar segala hinaan yang diberikan oleh Elang kepadanya sampai dia tak ingin mempermasalahkan