"Ini batas di antara kita!" Chun Mei berkata penuh penegasan, seraya meletakkan bantal guling di tengah kasur, yang menjadi tempat peristirahatan Kaisar dan dirinya.
Malam semakin larut, hujan tak kunjung reda. Dia mengantuk, Kaisar juga ingin tidur. Di kamar itu hanya ada satu ranjang kecil, tanpa sofa, tanpa kursi panjang. Selain ranjang itu, mereka tidak punya pilihan lain untuk tidur. Tepatnya tidur berbagi ranjang. Chun Mei khawatir malam panas kala itu terjadi lagi. Tentu dia berinisiatif membuat garis pembatas di tempat tidur. "Jangan khawatir! Aku tidak suka berjalan saat tidur, juga tidak tidur dengan berantakan," pertegas Chun Mei. Kaisar hanya manggut-manggut. Dalam keadaan mengantuk itu, pokoknya dia pasrah akan semua yang dikatakan Chun Mei. Tidak perlu berlama-lama lagi. Chun Mei mengambil posisi tidur miring di sisi kanan ranjang, sedangkan KaMalam semakin larut. Cahaya bulan yang tadi redup, kini kian terang, menembus kabut tipis yang menggantung di sela-sela pohon pinus. Bayangan dedaunan jatuh memanjang di atas tanah, bergetar pelan kala angin melewatinya. Di atas batu dingin, Kaisar Lin Yi masih duduk diam. Seruling di tangannya masih menjadi kawan. Mengalunkan melodi yang turut terseret digulung angin. Jemarinya menggenggamnya erat, seolah benda rapuh itu adalah satu-satunya penopang yang tersisa di dunia ini. Tatapannya kosong menembus gelap. Entah menatap bulan, entah menatap malam, atau menatap luka di dalam dirinya sendiri yang tak kunjung bisa dia perbaiki. Di dalam gubuk kecil di belakangnya, lilin yang menerangi kamar Chun Mei hampir padam. Api kecil itu berkedip, seakan ikut berjuang agar tak tenggelam dalam gelap yang semakin menekan dari segala penjuru. Tubuh mungil Chun Mei masih terbaring, pucat bagai bunga plum yang membeku di ujung musim dingin. Nafasnya masih lemah, sesekali nyaris tak terdengar.
Hening. Tak ada suara lain selain desir angin yang menggoyang kelambu tipis di sudut ranjang. Kaisar Lin Yi masih memeluk erat tubuh perempuan di pelukannya sejak mereka keluar dari bak mandi kayu eboni, seolah kehangatan dari dadanya saja cukup untuk menahan maut agar tak menjemputnya lebih cepat. Chun Mei terlihat rapuh, pucat seperti bunga plum yang membeku terlalu lama dalam musim dingin yang kejam. Tubuh mungil itu sesekali menggigil, meski tak lagi punya kekuatan untuk mengaduh. Bibirnya yang dulu suka tersenyum lembut, kini hanya membuka sedikit demi sedikit untuk menghela napas yang makin lama makin berat. “Chun Mei.” Suara Kaisar Lin Yi nyaris tak terdengar, nyaris tenggelam oleh denyut luka di dadanya sendiri. Tangannya membelai pelipis perempuan itu dengan sangat hati-hati, seolah takut kulitnya akan pecah hanya karena sentuhan ringan. “Kamu sudah cukup menderita.” Ada luka dalam tatapan mata lelaki yang kini menunduk menatap wajah kekasihnya. Luka yang lebi
Di belakang tirai, langkah kaki Jenderal Shang Que mendekat perlahan. Dia tak langsung masuk, hanya berdiri memandang punggung Kaisar Lin Yi dari celah tirai yang bergoyang diterpa angin. Dia melihat lelaki itu memeluk erat tubuh lemah perempuan yang dicintainya, seakan tak mau dunia merebutnya sekali lagi. Dan selama dia membersamai pria itu sejak muda hingga kenaikan tahta, baru kali ini dia melihat pria itu mencintai seorang wanita sampai segitu dalamnya. “Yang Mulia.” Kemudian Shang Que memanggil pelan, penuh hormat. “Maafkan hamba belum bisa menemukan dalang di balik penyerangan anda namun dapat hamba pastikan, orang yang diincar bukan anda, melainkan...“ Jenderal Shang Que sengaja tak melanjutkan, dan tanpa perlu dilanjutkan pun Kaisar Lin Yi sudah tahu jawabannya. Di tempatnya Kaisar Lin Yi terpejam menghela napas. Sesaat terdiam sebelum akhirnya mengerjap dengan sorot mata dingin tak bersahabat. ”Jika nyawa Chun Mei yang diincar, bukankah artinya dalang di balik ke
Waktu bergulir. Pagi itu hujan hanya menyisakan rintik kecil di atap rumbia dan gemericik air yang turun perlahan dari ujung-ujung dedaunan. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun di balik gubuk kecil itu, kehidupan desa mulai bergerak kembali. Suara langkah kaki, suara anak-anak kecil, suara ayam yang kembali berkokok memecah pagi. Di dalam kamar, Chun Mei masih belum sadar. Tubuhnya tetap pucat, tapi tak sedingin semalam. Kulitnya perlahan memulihkan warnanya walau sangat lambat. Nafasnya masih tipis, teratur tapi nyaris tak terdengar. Kaisar Lin Yi telah mengenakan kembali pakaiannya. Luka di pundaknya sempat dibalut sekenanya oleh si bocah tabib, tapi tak banyak dia hiraukan. Yang lebih penting baginya saat ini adalah Chun Mei. Dengan hati-hati pula, dia telah mengenakan pakaian baru untuk wanita itu, pakaian pinjaman dari keluarga
Di dalam rumah kecil beraroma obat dan dedaunan kering, Tabib tua yang rambutnya seluruhnya telah memutih tampak duduk bersila di tepi ranjang bambu Tangannya yang keriput perlahan menyentuh pergelangan tangan Chun Mei, meraba nadi yang nyaris tak terasa lagi. Dahinya berkerut, pelipisnya berkilat peluh. “Ini bukan hanya racun kalajengking,” gumam si Tabib, suaranya berat, penuh beban, “keduanya bukan racun biasa. Racun ini mulai menjalar ke jantung. Harusnya Nyonya ini sudah mati satu shichen yang lalu. Hebat sekali, dia masih bertahan.” Di meja kayu sampingnya, ramuan-ramuan mulai dia racik tergesa. Akar-akaran, serbuk putih, bahkan sekantung kecil empedu ular yang tadi disobeknya dari kantung rahasia. Semua dicampur dalam mangkuk tanah liat, ditumbuk hingga hancur. Air hangat dituangkan, adukan itu berubah warna kehijauan pekat. “Panaskan besi.” Perintahnya pada cucu lelaki kec
Chun Mei tidak lagi punya tenaga untuk menjerit. Tubuhnya bahkan nyaris tak bisa digerakkan. Kalajengking itu... Bisa racunnya jauh lebih mematikan dibandingkan apa pun yang sudah masuk ke tubuhnya kini. Sekali sengat… tamatlah. Pikirnya. Sementara itu, pertarungan antara Kaisar Lin Yi dan Shen Kuo memuncak. Suara dentang logam memekakkan hutan. Tanah bergetar tiap kali pedang Kaisar menghantam batu, pohon, atau senjata lawan. Tapi pria itu sadar… waktu tidak berpihak padanya. Chun Mei semakin sekarat! Shen Kuo juga tahu itu. “Apa gunanya anda bertarung sampai berdarah, Yang Mulia? Perempuan itu sudah tinggal bangkai.” Senyum Shen Kuo menyungging tinggi. Mata Kaisar Lin Yi merah membara. Nafasnya terengah, darah mengucur dari luka di pundaknya. Tapi tangannya masih mencengkram pedang kuat-kuat. Brak! Tubuh Shen Kuo mental ke belakang, membentur pohon, tapi pria itu justru menyeringai; mengejek. Kaisar Lin Yi melesat lagi. Kedua pedang bertemu, menciptakan percik