Fitnah telah meracuni selir Kaisar yang diatur oleh adik angkatnya, pelayan terpercaya yang berkhianat, dan keluarga yang bahkan tetap bersikap dingin di ujung kematiannya cukup untuk menjadi alasan kuat hati Dalia Ishraq dipenuhi oleh dendam. Hingga alih-alih tewas mengenaskan, Dalia justru kembali ke masa lalu dan mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki segala yang salah. "Jika harus ikut tercebur kedalam neraka untuk menyeret kalian, aku tidak akan menyesal. Dewa mungkin bisa dirayu, tetapi dendamku tidak!"
View MoreBunyi rantai yang digerakkan lemah terdengar jelas di sudut ruang gelap yang saat ini ditempati Dalia Ishraq, putri kandung sang perdana menteri. Hanfu miliknya penuh darah.
Sudah beberapa hari ini Dalia disiksa habis-habisan demi mengakui bahwa ia telah meracuni selir kesayangan sang kaisar, Nadine Guifei. Selain seluruh kuku jari tangan dan kakinya yang dicabut dicabut, wajah Dalia tampak bengkak. Salah satu telinganya bahkan sudah tidak bisa mendengar saking banyaknya mendapatkan tamparan.
Namun, Dalia tetap bertahan.
Ia tidak meracuni sang selir, dan ia memilih untuk tetap mengatakan fakta itu.
BRAK!
Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar.
Dalia dengan lemas mengangkat wajahnya, pandangan matanya berbayang, tak dapat menentukan siapa yang datang.
Namun dari aroma melati semerbak yang ia cium, Dalia tahu bahwa itu adalah adik angkatnya, Salsa Haris.
"Bagaimana kabar kakakku tersayang hari ini?" Suara Salsa yang terdengar manis bertanya.
“Masih sama saja, Nona Besar.”
Salsa menghela napas. Ia kemudian duduk di kursi yang diletakkan pelayan dengan anggun. Ditatapnya Dalia yang tampak menyedihkan.
“Halo, kakakku tersayang. Hari ini aku datang lagi.” Salsa tersenyum manis. Setiap hari adik angkatnya tersebut datang hanya untuk mengolok, entah tingkah apa lagi yang akan wanita itu perbuat. “Mungkin ini kali terakhir aku bisa mengunjungi Kakak, sebelum Kakak dibawa pergi.”
Dalia tidak bereaksi.
Dua hari yang lalu, keputusannya turun. Bahwa Dalia bersalah dan akan mendapatkan hukuman. Putusan ini diberikan akibat pengakuan dari Odine, pelayan Dalia, yang mengatakan bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Dalia memang mencampurkan sesuatu ke makanan yang dikonsumsi Nadine Guifei.
Odine mengatakan kebohongan itu dengan takut-takut karena ancaman Dalia. Namun, hati nuraninya tidak tega dengan penderitaan Salsa dan anggota keluarga Ishraq. Pelayan pengkhianat itu bersaksi demi keutuhan kediaman Ishraq.
Sementara Dalia? Kemudian dicap pembohong dan pembuat onar.
Bahkan ayah dan kakaknya pun tidak memercayai Dalia. Mereka lebih percaya pada Salsa dan kesaksian palsu pelayan Dania.
“Kakak. Ayo lihat aku. Ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat wajah Kakak yang cantik itu.” Suara Salsa penuh cemooh.
Ia kemudian mengangkat kaki kanannya dan menepuk-nepuk ujung sepatunya ke pipi memar Dalia saat Dalia tidak kunjung merespons.
“Oh ya, apakah Kakak sudah dengar kabar terbaru dari Kak Gian?” Salsa menghela napas. “Sayang sekali nasib Kakak Pertama harus berakhir seperti itu gara-gara ulah Kakak. Andai saja Kakak mengaku lebih cepat….”
Ucapan itu akhirnya membuat Dalia bereaksi.
“Apa … maksudmu?” tanya Dalia, nada bicaranya lemas dan serak.
Giandra Ishraq, kakak pertama Dania, adalah satu-satunya anggota Ishraq yang dengan tulus peduli padanya.
Beberapa bulan lalu, kakaknya tersebut pergi ke medan perang di perbatasan. Surat terakhir sang Kakak yang Dalia terima beberapa minggu lalu menunjukkan bahwa Giandra baik-baik saja, dan bahkan mengatakan bahwa misinya nyaris berakhir.
Namun, ucapan Salsa membuat Dalia khawatir. Apa terjadi sesuatu pada sang kakak?
“Ah, Kakak belum tahu?” Mata Salsa langsung tampak berkaca-kaca, seakan-akan ia bisa mengaturnya dengan mudah. “Kakak Pertama … tewas di medan perang.”
Tubuh Dalia seketika menegang. Sepasang matanya membelalak, meski salah satunya tampak lebam.
“Jangan membohongiku, Salsa,” ucap Dalia dengan suara serak. Air matanya perlahan menetes. “Kak Gian tidak mungkin–”
“Ini semua salahmu! Karena kamu meracuni sang selir terhormat, Kaisar menolak mengirim bantuan pada Kak Giandra!” Tiba-Tiba Salsa berdiri dan mencengkeram bagian depan hanfu Dalia. “Kakak sudah bilang kalau ada pengkhianat dan serangan tiba-tiba, tapi Kaisar tidak percaya. Beliau mencurigai keluarga kita!”
Dalia menatap Salsa dengan tatapan nanar. Kabar mengenai sang kakak membuatnya mati rasa.
“Kalau saja Kakak segera mengaku kalau Kakak memang bergerak sendiri dan meracuni selir, pasti Kak Gian masih bisa selamat,” ucap Salsa lagi. Nada suaranya terdengar sedih dan menyayangkan.
“Tapi tidak apa-apa,” lanjut Salsa, dengan nadanya yang lebih ceria. “Aku masih punya ayah dan Kakak Kedua. Mereka lebih penurut dibandingkan Kakak Pertama, dan pasti akan sangat berguna bagiku. Apalagi, sebentar lagi aku akan diangkat menjadi selir oleh Huanghou.”
Ucapan itu membuat Dalia mengernyit. “Selir?”
"Dengar, Dalia." Salsa kembali bicara. Namun, kali ini suaranya terdengar culas dan penuh ejekan. “Huanghou mendukungku secara penuh agar diangkat menjadi selir Kekaisaran.” Ia menyeringai sebelum menambahkan dalam sebuah bisikan:
“Karena aku sudah membantunya meracuni Nadine Guifei.”
Dalia terbelalak mendengar kalimat Salsa. Sorot mata tajam menatap adik angkatnya tersebut. Sekujur tubuhnya menegang. Napasnya memburu, tapi bukan karena sakit, melainkan karena amarah.
Semua hal mulai tersambung dalam pikirannya. Fitnah. Pengkhianatan. Kematian Kak Giandra. Dan kini, pengakuan Salsa sendiri.
Ada yang patah dalam diri Dalia—dan sesuatu yang lain mulai tumbuh.
Dendam.
Perasaan ingin membalas semua hal yang dilakukan Salsa menyala begitu kuat hingga rasa sakit, lapar, dan haus yang selama ini menghantam tubuhnya terasa menghilang.
Yang tersisa hanya satu hal: keinginan untuk membalas.
Mata Dalia yang masih berlinang menatap tajam Salsa. Lalu, tiba-tiba, ia tersenyum. Dingin. Dan mulai tertawa pelan.
Tawa Dalia cukup membuat raut wajah Salsa berubah bingung, raut wajah manisnya pun kembali menghilang.
"Apa?"
Dalia masih terus tertawa, sampai akhirnya Salsa memerintahkan pelayan untuk menampar pipinya.
PLAK!
Dalia tertunduk lemas, perlahan ia mengangkat pandangannya lagi dan menatap miris ke arah Salsa.
"Cuma sekadar putri angkat, tapi bisa-bisanya bersikap seperti tuan rumah,”ucap Dalia, membuat Salsa melotot marah.
"Kamu mau mati, hah?!"
“Bunuh saja aku,” desis Dalia. Suaranya terdengar makin keras. “Tapi kupastikan jiwaku akan menghantuimu seumur hidup–bahkan sampai ajalmu datang! Kematianmu akan lebih mengenaskan dariku, Salsa. Camkan itu!”
PLAK!
Salsa menampar keras pipi Dalia, sekarang bentuk bengkaknya sudah tidak karuan lagi.
"Tampar tanpa henti wanita jalang ini!" Perintah Salsa yang belum puas.
"Baik, nona."
Odine dan satu pelayan lainnya melangkah maju, mereka bergantian menampar Dalia. Namun, Dalia tidak bereaksi. Gadis itu hanya memandang Salsa yang tampak risih dengan sorot mata membunuh milik putri bungsu keluarga perdana menteri tersebut.
Ia akan mati di sini. Ia tahu.
Sepuluh tahun lalu ayahnya membawa Salsa pulang ke kediaman perdana menteri, dan itu adalah awal mula mimpi buruk Dalia. Sejak saat itu, semua perhatian dan kasih sayang keluarganya tercurah untuk Salsa yang selalu tampil menyedihkan. Tak lama setelahnya, Dalia dituduh sebagai putri yang culas dan iri hati karena fitnah Salsa.
Dalia sudah berjuang sejauh ini. Tapi sekarang … tampaknya memang ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Kakak, semuanya … maafkan aku, batin Dalia sebelum kemudian kesadarannya menghilang.
Sementara, Dalia semakin tak bisa merasakan apa pun.
Tetapi perlahan, indra perasanya kembali. Dalia merasakan udara dan tubuhnya lagi.
Kedua matanya kembali terbuka cepat, namun kebingungan juga dengan cepat menyelimutinya.
Atap kamarnya? Bukankah tadi dia ada di gudang tahanan perdana menteri?
Tak lama suara pintu yang dibuka pelan terdengar.
"Nona, Anda sudah bangun?"
Dalia mengepalkan kedua tangannya, menatap penuh tidak percaya pada apa yang dia lihat. Dengan cepat dia menyingkap selimut dan memeriksa kaki dan tangannya.
Kening Dalia terlipat dalam. Bersih, tidak ada luka.
Ada apa ini? Bukankah seharusnya tubuhnya hancur karena disiksa berminggung-minggu? Dan .. bukannya ia sudah mati?
Kursi putih berlapis emas itu tampak begitu megah, memantulkan cahaya dari lampu minyak yang tergantung di dinding kamar kerajaan. Namun kemegahan itu seakan sia-sia, karena sosok yang duduk di atasnya hanyalah seorang pemuda dengan sorot mata dingin—Rangga Tirta. Rambut peraknya jatuh menutupi sebagian wajah tegasnya, sementara tatapannya tertuju pada ranjang besar di hadapannya. Di atas ranjang itu, Kaisar Barat—ayahnya sendiri—terbaring lemah.Kaisar Barat, yang dulu dikenal sebagai penguasa dengan bola mata ungu secerah batu amethyst, kini hanyalah bayangan dari kejayaannya. Tatapannya kosong menembus langit-langit, seolah waktu berhenti di sana. Kulitnya yang keriput menunjukkan betapa usia dan penyakit telah merenggut seluruh wibawa. Sorot matanya sayu, napasnya naik turun berat, dan tubuhnya dilingkupi aroma obat serta dupa.Di samping tempat tidur itu, Bram berdiri tegak. Pria berwajah tenang, dengan sikap s
Di ruang kerja Kaisar, suasana tegang terasa kental. Aroma dupa lembut yang mengepul dari wadah perunggu tak mampu menutupi hawa serius yang mendominasi. Tirai sutra berwarna emas pucat menutupi sebagian cahaya matahari sore, menyisakan bayangan samar di dinding. Di meja besar dari kayu cendana, gulungan-gulungan laporan menumpuk, di atasnya tertempel segel merah Kekaisaran.Kaisar duduk di kursi utamanya, wajahnya tenang, namun kedua matanya tajam menatap satu persatu orang yang hadir. Di hadapannya berdiri tiga tokoh penting yang kini menjadi pilar Kekaisaran, Adipati Gara dengan sorot dingin khasnya, Giandra Ishraq yang baru saja menyandang jabatan Perdana Menteri sekaligus Jenderal Muda, serta Jenderal Besar Maneer, pria paruh baya dengan tubuh kekar dan suara berat yang bergema setiap kali ia bicara.“Sejak keluarga Wanda ditumbangkan,” ucap Kaisar membuka pembicaraan, suaranya datar tapi jelas, “tujuh puluh persen pegaw
Kereta kuda melaju pelan di jalanan berbatu ibu kota. Roda-rodanya berdecit halus, meninggalkan jejak roda di debu musim semi yang mulai mengering. Dari dalam kereta, Dalia duduk dengan wajah tertutup tudung tipis. Jemarinya yang ramping menggenggam erat kain sutra di pangkuannya, seakan-akan menyembunyikan getaran kecil di hatinya. Sejak Cahya melangkah pergi meninggalkannya di halaman kediaman Ishraq, ucapan pria itu terus berputar di telinganya—tentang hadiah, tentang puisi, tentang lukisan yang katanya sudah dipajang di Paviliun Seni.Hana yang duduk di hadapannya menatap majikannya itu dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Nona besar, Anda tampak gelisah. Apakah karena tuan muda Sudiro?”Dalia hanya menoleh sebentar, matanya menenangkan meski bibirnya masih terdiam.Rasa ingin tahu terhadap hadiah yang dimaksud Cahya benar-benar menuntunnya hingga kini duduk di kereta, melaju menuju Paviliun Seni.“T
Satu minggu telah berlalu sejak hari eksekusi besar itu. Balairung, istana, dan bahkan seluruh ibu kota masih menyimpan bayang-bayang darah keluarga Wanda. Rakyat membicarakannya di kedai-kedai teh, para pejabat berbisik di aula kementerian, dan para prajurit menceritakan ulang momen itu di barak-barak mereka. Kekaisaran Timur benar-benar mengalami pergeseran besar.Kaisar bekerja siang dan malam, tangannya tak pernah berhenti menulis, memeriksa, dan memutuskan nama-nama pejabat baru untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan keluarga Wanda. Ia ingin menghapus setiap sisa pengaruh mereka. Tidak boleh ada celah sekecil apa pun.Ratusan ribu pasukan keluarga Wanda—yang dahulu menjadi kebanggaan keluarga itu—kini secara sah diserahkan ke bawah komando Jenderal Besar Maneer, ayah Dara. Sosok tua yang berwibawa itu menerima mandat dengan wajah tegas, menunduk dalam-dalam, berjanji bahwa pasukan yang kini menjadi milikn
Balairung agung kekaisaran dipenuhi para bangsawan, pejabat tinggi, dan perwakilan keluarga besar yang duduk berjejer rapi. Di bagian depan, kursi Kaisar menjulang tinggi, bagaikan singgasana yang memandang semua dari atas dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Suasana sunyi, hanya terdengar gesekan kain sutra dan napas tertahan. Hari itu, persidangan yang menentukan masa depan keluarga Wanda akan digelar, dengan bukti salinan buku besar kediaman perdana menteri sebagai pusat perhatian.Adipati Gara berdiri di sisi kiri, pedangnya tersarung namun aura tajamnya tetap menusuk. Giandra, Gibran, dan Dalia berada tidak jauh di belakang, wajah mereka dingin, menyimpan luka dan kebencian. Di barisan kanan, keturunan keluarga Wanda duduk terikat, wajah-wajah yang dulu berkuasa kini dipenuhi ketegangan, kebencian, dan sebagian lagi keputusasaan.Kasim agung mengumumkan dengan suara lantang, “Persidangan monopoli garam keluarga
Langkah-langkah Kaisar bergema pelan di lorong panjang yang membelah kediaman Permaisuri. Malam itu, ia datang tanpa pengawal, tanpa dayang, tanpa utusan—hanya dirinya sendiri. Keputusannya mengejutkan para kasim yang menjaga pintu utama, namun tak seorang pun berani mencegah. Karena dari sorot matanya saja, semua orang tahu, malam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Malam ini adalah penentuan akhir.Pintu kayu besar berukir naga emas terbuka dengan suara berat. Kaisar melangkah masuk, membiarkan udara dingin luar ikut menghembuskan sisa salju ke dalam ruangan. Aroma dupa tipis bercampur wangi teh hangat menyeruak.Di dalam, seorang wanita duduk tenang. Rambutnya disanggul rapi, hanfu sutra ungu tua membalut tubuh rampingnya. Lina Wanda. Wanita yang selama ini duduk di sisi Kaisar, menyandang gelar tertinggi, Permaisuri Timur.Namun malam ini, aura yang terpancar darinya berbeda.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments