Nalan Bai Ning putri bangsawan Nalan yang meninggal karena penyakit. Karena selama hidupnya selalu mematuhi aturan keluarga bangsawan yang rumit dan rajin bersembahyang, dia diberi kesempatan lahir kembali tapi sialnya malah menjadi Nona ketiga di keluarga Chun; Chun Mei, yang ternyata dikirim ke istana sebagai Selir. Chun Mei bertekad hidup berumur panjang dan tidak terikat aturan bangsawan yang mengerikan! Namun karena dia terlanjur menjadi Selir Kaisar Lin Yi, dia hanya punya satu pilihan untuk bertahan hidup di sana. Dia tidak boleh menarik perhatian Kaisar Lin Yi atau Selir-selir lain di istana harem mengirimnya ke kematian! Chun Mei melakukan segala cara demi menghindari pertemuannya dengan Kaisar Lin Yi, tetapi tak disangka dia dan pria itu malah ditakdirkan bertemu secara tidak sengaja hingga dia berakhir menjadi satu-satunya Selir yang dikejar Kaisar. Selir senior; Li Mu Wan marah besar. "Chun Mei! Beraninya kamu menggoda Kaisar Lin Yi! Wanita sepertimu layak mati!"
Lihat lebih banyakHujan gerimis membasahi atap istana, mengguyur daun plum yang menguning di musim gugur terakhir. Di dalam Paviliun Qingxin, seorang gadis muda duduk bersimpuh di tepi ranjang ukiran giok, matanya menatap kosong pada bayangan di cermin perunggu.
Chun Mei, nama yang kini disematkan padanya, menarik napas dalam. Tapi di balik dada ramping itu, bukan jiwa seorang selir istana yang lemah dan jinak seperti yang diharapkan semua orang. “Aku hidup kembali,“ bisiknya lirih, jari-jarinya yang pucat mengepal di atas pangkuan, "tapi bukan sebagai Putri Agung dari Klan Hu Nalan seperti dulu, melainkan seorang selir?” Ingatannya masih membekas jelas. Sakit yang membakar sekujur tubuh, darah yang mengalir dari mulutnya saat tabib ternama menyerah. Dia mati di ranjangnya sendiri, karena penyakit akut yang sulit disembuhkan. Tapi sekarang... dia membuka mata di tubuh seorang wanita muda berusia delapan belas tahun, selir kelas rendah yang dihadiahkan ke istana Kaisar Lin Yi. Nama besar itu... Lin Yi. Kaisar muda yang memegang kekuasaan absolut atas Dinasti Han. Tampan, dingin, dan kejam, kata orang. Takdir mempermainkannya! Chun Mei selalu ingin panjang umur, hidup tidak dibayang-bayangi kematian, tetapi dia malah menjadi seorang Selir, sementara di istana harem... kematian dan kehidupan hanya sebatas seutas benang tipis yang rapuh. Tidak! Chun Mei bertekad hidup lebih lama lagi di kelahiran barunya ini. Dan jika dia menginginkan itu, maka dia harus menjadi selir yang tak dikenal Kaisar meski hanya namanya saja. Waktu bergulir. Tanpa terasa satu bulan sudah Chun Mei menjalani kehidupannya sebagai selir di paviliun Qingxin. Sejauh ini dia berhasil memainkan perannya sebagai selir yang tidak mencolok, atau bahkan dikenal Kaisar sekalipun. Chun Mei berdandan biasa, pakaiannya selalu yang paling sederhana, jika ada momen-momen yang mungkin bisa membuatnya bertemu Kaisar, dia selalu menjadi orang pertama yang menghindar. Berbanding terbalik dengan selir lain, yang bagaimanapun caranya ingin menarik perhatian Kaisar lalu berakhir di ranjang, memiliki anak, diangkat menjadi Ratu. Hingga pada hari ini... Langit temaram menembus tirai sutra tipis yang tergantung di sekeliling aula megah. Aroma dupa wangi melati melayang lembut di udara, bercampur dengan alunan merdu alat musik petik dan denting lembut lonceng hias. Di hadapan panggung opera yang didekorasi megah, tujuh selir berpakaian paling indah duduk bersisian di kursi ukir berlapis brokat emas. Wajah mereka berhias senyum, mata memancarkan hasrat tersembunyi—bukan kepada pertunjukan, tapi kepada satu-satunya pria di ruangan itu. Kaisar Lin Yi. Duduk di singgasana rendah dari kayu cendana, pria muda itu mengenakan jubah hitam berhias sulaman naga perak. Wajahnya tak berubah, dingin dan nyaris tak menunjukkan emosi. Mata tajamnya menatap lurus ke panggung, tapi jelas terlihat bahwa pikirannya entah melayang ke mana. Opera di panggung memainkan cerita cinta tragis antara putri kerajaan dan prajurit biasa. Para aktor menyanyi dan menari penuh penghayatan, suara mereka menggema hingga ke langit-langit paviliun. Tapi Lin Yi tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Di sisi lain, Selir Li Muwan menyenderkan tubuhnya sedikit ke depan, suara tawanya lembut saat dia sesekali menyisipkan komentar pada Kaisar yang tak menanggapi. Selir Mu Fei ikut tersenyum, menggoda dengan kipas berhiaskan batu giok yang terus digerakkan pelan-pelan. Namun Lin Yi... tetap membisu. Hanya satu kali dia bergumam pelan, hampir tak terdengar. “Membosankan.” Nenek Permaisuri yang duduk tak jauh darinya menoleh, namun belum sempat menegur, Lin Yi sudah berdiri perlahan. Tubuh tegapnya menjulang di tengah ruangan, membuat semua orang seketika menunduk. “Lanjutkanlah opera ini tanpaku,” katanya datar, “aku ingin udara segar.” Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah keluar. Suara langkah kaisar menggema di lantai batu, mengiris kesunyian ruangan yang seketika menjadi tegang. Nenek Permaisuri menahan napas, tapi akhirnya hanya menghela pelan. “Biarkan dia pergi,” ujarnya lirih kepada dayang di sampingnya, "jika dia jenuh, tak ada yang bisa menahannya.” Para selir hanya bisa menunduk, bibir mereka tersenyum kecut. Sementara itu... Taman Dalam – Jalur Bebatuan Putih Udara sore terasa lembut. Angin berembus, menggoyang daun maple merah dan kuning yang gugur satu per satu. Lin Yi berjalan perlahan, tanpa pengawal. Seperti bayangan yang menyelinap di antara pilar dan semak berbunga, dia menyusuri taman istana harem yang jarang dikunjunginya. Hingga langkahnya terhenti. Di bawah pohon plum tua yang menggugurkan bunga-bunga kuning, berdiri seorang wanita muda dengan rambut disanggul sederhana, pakaiannya lebih mirip dayang daripada selir. Dia tampak kebingungan, menatap peta kecil di tangannya sambil mengerutkan kening. Seolah waktu berhenti. Tatapan Lin Yi mengeras. Siapa dia? Kenapa bukan di paviliun? Wanita itu—Chun Mei—belum menyadari kehadirannya. Dia terlihat sedang berpikir keras, bingung tapi juga khawatir.Selir Mu Fei menatap kantong merah itu dengan napas tercekat. Tangannya bergetar saat meraih pemberian Selir Agung, seolah benda kecil itu menimbang seluruh nasibnya. “A-apa… aku benar-benar harus menggunakan ini?” suaranya gemetar, bagai bisikan angin yang nyaris tak terdengar. Kemudian dia teringat ucapan Selir Agung beberapa waktu lalu. Suaranya tegas namun rendah, “A’Fei, ini bukan hanya tentangmu atau Chun Mei. Ini tentang keseimbangan istana. Jika dia hamil lebih dulu, kamu takkan punya peluang lagi. Kamu tahu, kaisar Lin Yi sudah mulai meliriknya.” Kata-kata itu menancap ke hati Mu Fei, menumbuhkan ketakutan yang sama besarnya dengan tekad. Dia menggenggam kantong obat erat-erat. Sementara itu, di Paviliun Qingxin, Chun Mei menatap cermin besar di kamarnya. Wajah cantiknya terpantul tanpa cela, namun sorot matanya gelap, menandakan badai di pikirannya. Dia mendengar kabar kunjungan Selir Agung lebih cepat dari siapa pun, dan kini pelayannya membacakan kabar terbaru de
Malam itu, di Paviliun Angin Timur, Selir Agung duduk di kursi kayu cendana yang diletakkan menghadap taman teratai.Wajahnya yang menua tetap menampakkan wibawa seorang wanita yang pernah menguasai hati mendiang Kaisar terdahulu.Di sampingnya, seorang pelayan menyiapkan obat rendaman kaki, sementara seorang kasim berdiri menunggu perintah.“Bagaimana keadaan Selir Mu Fei?” tanyanya dengan suara rendah, serak oleh usia namun tetap tegas.Kasim itu menunduk dalam. “Beliau masih terbaring lemah, Selir Agung. Tabib Shen sedang mempersiapkan ramuan penawar untuk meredam sisa racun yang membuat tubuhnya rentan kejang.”Mata Selir Agung menyipit, tatapannya menembus gelapnya malam. “Mu Fei terlalu ceroboh. Tapi… dia gadis yang berguna, dan aku tak akan membiarkannya disingkirkan begitu saja.”Pelayan di sampingnya meneguk ludah. Dia tahu, jika Selir Agung sudah turun tangan, maka siapa pun yang menyinggung orang yang dilindunginya akan menghadapi konsekuensi besar.Keesokan paginya, Tabib
Malam itu, di balik paviliun, pelayan setia Chun Mei berkeliling senyap, menuntaskan perintah tuannya. Di dapur utama, dia berbicara pada koki tua, menyerahkan permintaan Selir Chun dengan sikap lembut namun tegas. Tak ada yang mencurigai, sebab semua tampak seperti tata krama istana biasa. Sementara itu, Chun Mei duduk di kamarnya, menatap lentera yang goyah ditiup angin malam. Di sampingnya, tusuk rambut perak ibunya bersandar pada vas bunga kering. Dia mengelusnya pelan, matanya seteduh air di musim gugur. “Ma… aku tahu ini bukan jalan yang kamu ajarkan dulu. Tapi di sini, di tempat ini… hanya yang licik yang bisa tetap bernapas.” Keesokan paginya, suasana aula utama istana ramai oleh hidangan kecil yang dibagikan untuk para selir. Para pelayan hilir-mudik membawa sup hangat dalam mangkuk porselen. Aroma jamur dan kaldu ayam menebar ke segala penjuru. Mu Fei, yang duduk di antara para selir lain, menerima mangkuk dengan ukiran bunga teratai. Dia menatap sup itu, sedikit
Malam hari pun tiba. Langit gelap menggantung rendah di atas istana. Di Paviliun Qingxin, Chun Mei duduk di hadapan cermin perunggu, ditemani cahaya redup dari lentera minyak. Jemarinya memintal benang tipis pada sudut sapu tangan, namun pikirannya jauh melayang. Pelayan setianya mendekat sambil membawa nampan kecil berisi secawan sup hangat. “Nyonya minumlah ini dulu. Perut kosong di malam seperti ini tak baik bagi kesehatan.” Chun Mei tersenyum tipis. “Terima kasih.” Dia mengambil mangkuk itu, meniup pelan uapnya. Matanya tak lepas menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah lembut, sorot mata teduh namun di balik itu, badai kecil berputar. Pelayannya memberanikan diri bertanya, “Apa Nyonya sungguh akan pergi minum teh lusa nanti?” Chun Mei meletakkan mangkuknya di atas meja, kemudian menepuk tangan pelayannya pelan. “Aku harus. Di istana, menolak dua kali akan membuat kita tampak takut. Dan bila kita tampak takut, musuh akan semakin berani.” Pelayannya menunduk. “Lalu
Sore hari, di Paviliun Qingxin. Langit mulai memerah, seolah malu dengan segala tipu daya yang menyelimuti istana. Di halaman kecil Paviliun Qingxin, para pelayan menunduk sopan saat sebuah kotak kayu bersulam bunga teratai dibawa masuk. Di atasnya tersemat kartu kecil bertinta hitam. “Dari Selir Mu Fei, ucapan simpati atas hari-hari sulitmu.” Chun Mei belum menyentuh kotaknya saat pelayan membukanya dengan hati-hati. Tampaklah kalung mutiara berkilau, tergeletak anggun di atas bantalan merah beludru. Mutiara-mutiara itu bersinar seperti tetesan embun di pagi hari, indah, nyaris tak nyata. Para pelayan terpana! Sedangkan Chun Mei hanya menatapnya dalam diam. Sorot matanya berbeda dari yang lain. Ada kecurigaan halus yang tersembunyi di balik tatapan tenangnya. Dengan jemari ringan, dia mengambil sehelai sapu tangan dan menyentuh permukaan mutiara. Tak sampai dua detik. Seketika, sapu tangan itu menghitam di ujungnya. Tipis, nyaris tak terlihat, namun cukup bagi mata seseora
Malam hari, kediaman Kaisar Lin Yi. Langit Luoyang malam itu tampak pucat. Awan tipis menggantung di langit seperti selubung mimpi yang enggan pecah. Di dalam ruang pribadinya, Lin Yi duduk sendirian, mengenakan jubah tidur bersulam awan naga. Cahaya lentera di dekatnya bergetar pelan oleh angin yang menyusup dari celah pintu. Di hadapannya tergeletak sepasang anting giok putih, masih terbungkus kain merah yang dia titipkan lewat kasim paling setianya malam tadi. Dia memandang benda itu lama. Tak ada senyum. Tak ada geram. Hanya sunyi. "Dia tidak mengambilnya?" tanya Lin Yi akhirnya, pelan. Kasim kepala menunduk dalam-dalam. "Maafkan hamba, Yang Mulia... selir itu hanya menatapnya lama, lalu meletakkannya kembali di ambang jendela. Dia bahkan tidak menyuruh siapa pun mengambilnya." Lin Yi tak menjawab. Keheningan yang tercipta lebih menusuk dari amarah. Di meja samping, tumpukan dokumen negara belum disentuh. Bahkan laporan dari perbatasan barat yang biasanya membuatny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen