Malam itu, di balik paviliun, pelayan setia Chun Mei berkeliling senyap, menuntaskan perintah tuannya. Di dapur utama, dia berbicara pada koki tua, menyerahkan permintaan Selir Chun dengan sikap lembut namun tegas. Tak ada yang mencurigai, sebab semua tampak seperti tata krama istana biasa. Sementara itu, Chun Mei duduk di kamarnya, menatap lentera yang goyah ditiup angin malam. Di sampingnya, tusuk rambut perak ibunya bersandar pada vas bunga kering. Dia mengelusnya pelan, matanya seteduh air di musim gugur. “Ma… aku tahu ini bukan jalan yang kamu ajarkan dulu. Tapi di sini, di tempat ini… hanya yang licik yang bisa tetap bernapas.” Keesokan paginya, suasana aula utama istana ramai oleh hidangan kecil yang dibagikan untuk para selir. Para pelayan hilir-mudik membawa sup hangat dalam mangkuk porselen. Aroma jamur dan kaldu ayam menebar ke segala penjuru. Mu Fei, yang duduk di antara para selir lain, menerima mangkuk dengan ukiran bunga teratai. Dia menatap sup itu, sedikit
Terakhir Diperbarui : 2025-06-28 Baca selengkapnya