Share

Selìni
Selìni
Penulis: kay

1 Ꮚ˘

"Jauhkan tanganmu, sialan– benda itu milikku!"

"Aku yg mendapatkannya kali pertama, bukan kau!"

Kepalang sama-sama tersulut, kedua hewan buas berbulu itu saling mengaum nyaring dan sekarang semakin tidak terkontrol menyerang satu sama lain. Cakar mengacung tinggi lantas melukai tiap-tiap bagian tubuh hingga bulu kasar mereka tak luput berhamburan. Suara mengaum dan geraman susul-menyusul gelegarkan hutan maple–beberapa daunnya terpaksa rontok kala tubuh mereka bertubruk atau menghantam pohon terlalu kuat.

"Dengar, orang buangan sialan, lebih baik kau mengalah saja. Putriku lebih membutuhkan daging itu!"

"Apa sekarang kau meminta belas kasih? Kau pikir aku akan luluh dan percaya akal bulusmu– aku bertaruh tak ada satupun wanita yang mau denganmu."

Keduanya kembali terlibat dalam perkelahian sengit. Terluka dan berdarah-darah sampai tak menyadari jika kelinci buruan yang sudah mati itu terlempar ke sudut semak-semak. Tanpa disadari siapapun, sejulur tangan muncul darisana lantas dengan cepat meraihnya– dibawa lari secepat yg ia bisa.

"Bodoh, malah sempat beradu mohon dikasihani," Tawanya lepas, senang, "Terima kasih tuan-tuan, lebih baik untukku saja."

Kakinya lihai menyingkap semak belukar yg menutupi jalan, melompat dan menghindar sempurna tiap ada jebakan hewan buruan atau sungai kecil di jalan yg dilalui. Jelas sekali dirinya hafal di luar kepala wilayah tersebut. 

Sesampainya di sebuah goa berukuran sedang yg lokasinya agak tersembunyi, karena berada di antara dinding tebing dan pohon akasia yg rimbun– tepat di sebuah goa yg terbuat dari granit berwarna gelap, pandangan gadis itu bergerak memastikan sekitar tidak ada yg mengikuti. Selepas sudah yakin ia pun masuk ke sana.

Di salah satu ujung cabang, ada pintu mahoni dipasang kokoh. Warnanya menyatu dengan dinding granit sehingga harus memfokuskan pandangan terlebih dahulu agar benar-benar melihatnya. 

Itu adalah tujuannya.

Gadis itu kembali menoleh ke belakang meyakinkan jika sudah aman untuk masuk, setelah menyusuri goa yg remang redup lantaran sengaja tak diberi pencahayaan guna menghindari kemungkinan buruk. Kemudian, jemarinya ketuk permukaan itu sebelum disahut seseorang dari dalam sana.

"Siapa?"

"Paman, ini Eleanor."

"Oh Elea? Sudah kembali ternyata, cepat sekali," Derit khas pintu yg terdengar sedikit mengganggu, wajahnya mengernyit tak nyaman. Lalu bunyi khas balok yg ditarik dan diletakkan di lantai goa seakan menjadi pengumuman jika pintu akan dibuka.

Eleanor ayunkan daun pintu melebar, sesegera mungkin masuk.

Pintu kembali ditutup, lengkap dengan balok kunciannya, "Wah, wah. Hari ini sedang beruntung rupanya, belakangan kelinci menghindari daerah utara maple. Kelihatannya kawanan mereka tau jika kita mengincarnya," Tawa pria itu terdengar ramah, "Ya sudah sana, daritadi adikmu terus-terusan menanyaiku kapan kau pulang. Sepertinya ada lebih dari 5x mendatangiku."

"Terima kasih, paman," Kemudian Eleanor berlalu, sebelah tangannya mendekap kelinci 'hasil buruannya' erat-erat. Seolah khawatir akan hilang jika tidak dipegangi dengan baik.

Kali ini langkahnya tidak seburu-buru tadi, sekarang jauh lebih santai melewati perbagian taighcòn¹ milik kawanannya. Sesekali gadis itu hentikan langkah setiap beberapa anak menyerbu melewati–tengah asyik sekali bermain. Bisa-bisa dirinya akan tertabrak, kan gawat.

Ia tiba bagian sudut, tepat di sebuah taighcòn berukuran sedang. Masih ada sisa asap bekas bakarannya beberapa waktu lalu sebelum pergi berburu.

Sebelah tangan Eleanor menyibak kain penutup, mendapati sosok adiknya sibuk bermain boneka serabut kayu di tengah ruang. Senyum di wajah si sulung seketika melebar.

"Kenapa tidak main dengan yang lain di luar? Ada Lionel dan Irish sedang bermain petak umpet."

Mata adiknya melebar kala mengenali suara sang kakak. Gadis kecil itu lupakan mainannya, segera bangkit dan lari memeluk sosok yang lebih besar, "Elea darimana? Kok baru pulang? Nenek, Elea sudah pulang!"

"Hei, jangan teriak-teriak begitu. Bagaimana kalau kamu mengganggu nenek istirahat?"

Ziria menggeleng, "Tidak kok, nenek tidak sedang istirahat. Tadi sedang menyulam di kamar."

"Tadi? Kalau sekarang sedang apa?"

Wajahnya tampilkan raut berpikir, kemudian mencicit kecil, "Tidak... tidak tau?"

Eleanor tersenyum saja, mengusak kepala Ziria sembari terkekeh kecil, "Ngomong-ngomong, lihat apa yg aku dapatkan."

Awalnya gadis kecil itu hanya berikan tatapan bingung saat kakaknya melepaskan sesuatu benda dari pelukan. Gumpalan berbungkus itu dipindahkan ke atas meja.

Saat bungkus dibuka, kedua matanya berkilauan, "Kelinci?! Elea dapat kelinci?! Kata Paman Darel kelinci lagi susah ditangkap saat berburu belakangan ini?"

"Iya dong, aku hebat kan?"

"Elea hebat! Nanti Ziria mau pamer sama Lionel dan Irish!"

"Pamer karena dapat kelinci?"

Lantas, Ziria menggeleng, "Bukan, ingin menunjukkan kalau kakak Ziria hebat!"

Ia hanya bisa sedikit nyengir saat mendengar kepolosan adiknya, mengingat bagaimana cerita ia bisa mendapatkan kelinci dengan ukuran tak seberapa ini. Namun, melihat aura kesenangan yg menguar-nguar dari adiknya hanya bisa membuat Eleanor makin lebarkan senyum.

Sebaiknya disimpan sendiri saja.

"Kamu berburu sampai mana hingga bisa mendapatkan ini, Elea?"

"Ah, nenek? Aku tidak pergi begitu jauh. Hanya memutari satu gunung dari tebing batu."

"Tidakkah itu berbahaya? Itu dekat dengan wilayah kekuasaan rogue pembelot."

"Astaga, nek, aku baik-baik saja– lihat?"

Wanita tua itu mengalah akhirnya, mau diberitahu bagaimanapun cucunya selalu punya jawaban untuk berkelit.

"Kalau begitu sampai besok tidak usah berburu dulu. Satu kelinci akan cukup 4-5 kali makan. Kamu tau kan jika tidak baik bolak-balik keluar dari sini? Terlebih kau sudah terlalu sering keluar."

"Nek– nenek! Berarti hari ini dan besok kita makan enak?"

Sesuatu melukai hati si sulung saat mendengar kata itu terlontar dari mulut mungil bungsu Ziria. 

Makan enak.

Adalah kalimat yg hanya bisa didengar perbandingan 1 : 10 setiap waktunya. Kesulitan bahan makan sebenarnya sudah biasa dan jadi masalah sehari-hari, namun mereka tetap tidak akan siap menanganinya. Mereka tetap tidak akan terbiasa.

Ada banyak alasan.

Pertama, hewan buruan yang dulunya melimpah mulai mempelajari kemampuan berburu yang mereka miliki sehingga tidak lagi menetap di wilayah yg harusnya jadi habitat mereka. 

Kedua, tidak semua bahan makan di alam aman untuk di makan. Mau perut sekenyang dan sepenuh apapun selepas melahap bahan alam yg kamu temui, gizi akan tetap kurang. Tidak sedikit dari kawanan mereka jatuh sakit karenanya. Belum lagi jika ternyata makanan tersebut memiliki kandungan racun yg bisa membahayakan.

Ketiga, pemerintah pusat yg amat bajingan. 

Mereka yg membuang rakyatnya karena tidak mampu menyelesaikan masalah yg disebabkan oleh orang-orang itu sendiri. 

Perang antar pack bukan sesuatu yg baru, sudah lebih dari biasa. Namun, itu bukan salah rakyat, menang atau kalah juga bukan salah warganya. Namun saat kekalahan itu tak dapat dihindari sehingga menimbulkan kerugian besar, mau tidak mau terjadi kekurangan dimana-mana. Pasokan bahan makan yg terjual di pasar langka, harganya melonjak naik, dan banyak kejahatan yg terjadi.

Dikira, pemerintah akan segera selesaikan permasalahan ini. Namun yg terjadi ialah petinggi mengumumkan untuk lakukan penggusuran rakyat alias kasarnya membuang mereka demi 'mencukupi yg kurang'.

Memang setelah penggusuran itu, keadaan kembali jadi stabil dan menjanjikan.

Hanya saja, bagaimana dengan mereka?

Percuma jika melapor dengan petinggi pack lain, pemilik wewenang yg tertinggi berada di pusat. Ah tidak– sebenarnya, segala hak kepemilikan tertinggi dimiliki oleh kerajaan di Central Land.

Dan, menurut kabar yg beredar pun Central Land sedang kacau karena masalah internal. Itu yg menjadi alasan kenapa seluruh laporan antar pack ditangani oleh pusat terlebih dahulu, mereka tengah menggantikan kerajaan yg sedang menyelesaikan permasalahannya yg tengah dihadapi.

Kalaupun, kerajaan sedang tidak ada masalah, laporan akan melalui penyortiran per-wilayah sebelum diteruskan ke kerajaan.

Percuma.

Rakyat berani bertaruh jika hal tersebut disimpan rapat-rapat oleh pack pusat, tidak sedikit orang yg mencoba melaporkan langsung ke kerajaan namun berakhir lebih dulu diasingkan jadi rogue.

Pikirannya buyar kala suara nenek memecah keheningan,

"Elea, bisa tolong ambilkan keranjang di depan? Saat kamu pergi tadi nenek diberi beberapa kentang oleh tukang tampah."

"Oh sudah musim panen? Cepat sekali."

"Kamu tau bukan jika tukang tampah itu kemampuan berkebunnya tidak perlu diragukan lagi? Kapan-kapan coba bergurulah padanya agar tak perlu terus-terusan pergi ke luar."

"Nek, aku tidak suka berkebun."

"Kalau begitu, langsung menikah saja dengan putra Darel."

Gadis itu berlagak menurut hendak mengambil keranjang yg dimaksud, padahal Eleanor menghindari ceramah neneknya. Membayangkan menikah dengan putra paman Darel saja cukup membuatnya merinding– Richard taunya hanya menggoda perempuan, sudah gitu tidak ada yg benar-benar serius!

Setelah mendapati keranjang yg diminta neneknya, ia menghela napas panjang. Mata bulatnya mengedarkan pandangan ke sepenjuru area goa. Sedikit banyak bersyukur karena mereka menemukan tempat ini, aman dari hujan dan panas. Kejadian alam tertentu menjadikannya seperti ruangan berukuran raksasa dan luas yang cukup ditinggali berpuluh-puluh orang.

Memang menjanjikan, tapi dari segi keamanan mereka harus tetap waspada kalau-kalau goa bisa runtuh. Sejauh mereka hidup disini, kondisi dinding selalu baik-baik saja, untunglah.

Yah, yg lebih utama ialah aman dari dunia rogue beringas di luar. Ini adalah tempat terbaik untuk mereka ketimbang hidup lepas dan berpencar-pencar.

Dunia teraman untuk saat ini.

Mereka sudah hidup disini sejak 2 tahun lamanya. Namun, Eleanor merasa setengah hidupnya sudah habis– lama sekali hari demi hari berlalu. Ia masih ingat saat di rumahnya dulu, seringkali protes dengan orang tuanya mengapa cepat sekali hari berakhir.

"Sebentar, jika tadi tak jauh dari Goa ada yg bisa menemukan kelinci. Ada kemungkinan masih ada kelompoknya yg lain meski terpisah," Menyadari hal tersebut, gadis berambut ikal hazel itu segera kembali dengan keranjang kentang di dekapan. Bersiap lanjutkan perburuannya lagi.

"Nenek, ini kentangnya. Aku mau pergi dulu!"

"Lihat, hasil panennya bagus– Tunggu, mau kemana? Elea!"

"Berburu, nek," Tasnya kembali dicangklongkan di punggung, sementara tangannya bergerak rapikan kunciran rambut.

Lengan cucunya ditahan, wanita tua itu menggeleng tegas, "Tidak ada berburu untuk hari ini dan besok, ini lebih dari cukup. Jangan terus-terusan membahayakan dirimu!"

"Nek, aku sudah besar. Aku tidak akan membahayakan diriku sendiri– aku janji kembali sebelum gelap. Kita harus memanfaatkan kesempatan kali ini, beberapa hewan buruan ada yg kembali berkeliaran," Jelas gadis itu berusaha menenangkan, "Ziria senang sekali bisa makan daging setelah hampir berbulan-bulan lamanya, juga aku ingin gizi kita tercukupi agar selalu sehat dan bersama-sama, ya? Izinkan aku pergi ya, nek?"

Ia ingin adiknya tumbuh baik dan sehat, ia ingin neneknya hidup nyaman meski keadaan terbatas.

Bukan Eleanor namanya jika tidak berhasil membujuk neneknya, wanita itu kembali menyerah. Melepaskan lengan si cucu sulung dengan setengah hati. 

"Baiklah, pulang sebelum gelap, kita makan malam bersama. Adikmu sejak kemarin memintanya padaku hanya saja kamu sering pergi keluar."

"Aku janji, nek! Sampai nanti malam, Ziria. Bantu nenek menyiapkan makan malam, oke?"

Ziria kembali memeluk gadis itu, mengacungkan ibu jari, "Sampai nanti, Elea!"

Selepas memantapkan diri dan bawaannya sudah lengkap, Eleanor beranjak dari taighcon keluarganya. Setengah berlari menuju pintu keluar tempat paman Darel berjaga setiap waktu. 

Dalam hati, gadis itu salut sekali dengannya, begitu menjaga keamanan kawanan sampai berhari-hari duduk di sana pun rela dilakukannya.

Kali ini, Darel tengah bercakap dengan seseorang yg tampaknya hendak pergi berburu juga. Terlihat dari pakaian dan bawaan yg lelaki itu kenakan.

"Astaga, hendak pergi lagi?"

Ia mengangguk, benarkan ucapan pria itu.

"Kebetulan ia juga akan berburu– Lebih aman jika kalian berangkat berdua lalu berpisah untuk berkumpul di satu titik yg sama lagi, tidak masalah kan, Elea? Jika Matthew pergi denganmu?"

"Tidak masalah," Sahutnya kemudian.

Matthew mengiyakan, tak lama tangannya menepuk kening, menyadari jika meninggalkan kapaknya, "Mungkin aku akan lama, kau bisa pergi lebih dulu, Elea, agar tidak kembali terlalu malam. Kelihatannya aku belum mengasahnya."

"Oke, Matt. Aku pergi dulu, sampai nanti, ya, paman Darel."

"Berhati-hatilah, pulang sebelum gelap!"

-

Deru angin senja menerpa wajah berkeringat Elea, napasnya kepalang ngos-ngosan kala berlari menuruni lembah. Sial, ia tidak menemukan apapun. Sudah lama sejak ia berangkat tadi dan sampai sekarang tidak satupun hewan didapat– bahkan melihat saja pun tidak!

Boro-boro, seekor reptil saja pun tak nampak!

"Apa sudah keburu habis?" Pikirnya. Banyak rogue keluar berkeliaran saat menjelang malam, kemungkinan besar itulah yg terjadi.

Dan bicara soal malam, sebentar lagi matahari sepenuh tenggelam. Sebaiknya, Eleanor kembali atau hutan akan terlalu menyeramkan dilewati sendirian.

Lagipula jika memaksa menyisir hutan sampai habis, belum tentu ia akan mendapatkan sesuatu. Daripada hanya mendapat lelah dan sakit badan lebih baik putar balik untuk pulang.

Saat ini kakinya menyusuri jalan bebatuan, melangkah hati-hati agar tidak tergelincir. Eleanor memutuskan memotong jalan agar lebih dekat.

Tiba-tiba, matanya menangkap pergerakan samar di antara cahaya langit yg meredup. Tepat di antara celah bebatuan berukuran sedang, tampak seperti perangkap buatan.

Itu seekor kelinci!

Dalam perangkap buatan itu ada seekor kelinci berukuran sedang tersangkut!

Pikirannya goyah.

Antara sudah lelah dan jengkel karena tidak menemukan apapun atau sekalian saja ia mencuri lagi seperti tadi siang– entahlah, pikirannya kacau sekali.

Netra Eleanor memicing ke sana kemari, melihat barangkali ada seseorang atau lebih yg berada di sekitar. Sudah jelas itu perangkap yg disiapkan dan siapa tau pemiliknya mengawasi dari jauh.

Tidak lucu kalau dirinya ketangkapan mencuri.

Eleanor tidak mau berkelahi dengan rogue liar manapun!

Setelah beberapa waktu mengamati, ia memantapkan dalam hati.

Jika tidak ada yg memilikinya, maaf saja. Ia akan mengambilnya. Toh, daripada keburu kabur? Kan sayang sekali.

Jemari gadis itu bergerak cepat ke tas miliknya, meraih jaring serabut yg sudah disiapkan beserta kain pembungkus agar kelinci tersebut kesulitan memberontak. Elea menghitung dalam hati, bersiap menangkap si kelinci malang.

Saat hitungan sudah masuk pada hitungan ke-dua, sebuah suara berat menginterupsi kegiatan gadis omega itu,

"Tidakkah kau diajarkan untuk tidak mengambil yg bukan milikmu, Nona?"

Eleanor tersedak– hampir tergelincir dari pijakannya. Kontan ia memasang posisi waspada, sementara telinganya menelisik arah sumber suara. Kemudian menyadari adanya pergerakan bayangan dengan posisi lebih tinggi. Kepala gadis itu terangkat– satu sosok lelaki bertubuh kekar berdiri di puncak batu cadas.

Yg ternyata menjaga hasil tangkapannya dari sana.

Ia meneguk ludah kasar, "Memang itu milikmu?"

"Bukannya sudah jelas mengapa aku menjaganya?"

"Bagaimana jika itu milik orang lain dan kau mengaku-ngaku?"

Seringai si lelaki melebar, "Kau baru saja meragukanku?"

Sial. Ia paling benci dan paling menghindari berurusan dengan rogue di luar kawanannya, bisa jadi mereka salah satu bandit, kawanan pembelot, atau yg lebih parah rogue terlama yg ada di luar area pack. Itu jauh lebih mengerikan, mereka beringas dan tak kenal ampun dalam level berbeda.

Namun, pikirannya sedang tidak bisa dikontrol dengan baik. Wajah Ziria dan neneknya lewat sepintas dalam kepala. Keluarganya menunggunya– meski Eleanor tau jika neneknya berharap agar dirinya pulang selamat meski tidak mendapatkan apa-apa, dalam hati dirinya tau keduanya ada rasa berharap perburuannya membuahkan hasil.

Eleanor tidak mau mengecewakan mereka.

Biarkan saja jika nanti dirinya dikenal sebagai pencuri.

Dalam sepersekian detik, kelinci itu diraup masuk ke dalam jaring. Lalu berlari dari sana dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan sosok rogue kekar itu begitu saja, tak percaya dengan apa yg baru saja dilihat.

Napas dihela kasar, "Yg benar saja."

Dalam satu lompatan, kakinya berhasil mendarat di pohon trembesi yg berada di seberang batu cadas. Sebelah tangannya berubah jadi kaki bagian depan wujud serigalanya, lengkap dengan kuku-kuku yg mencuat tajam. Butuh lebih dari 10 detik baginya menajamkan telinga sebentar, lalu menyusul dengan melompati pohon demi pohon. Hanya dalam sekejap bisa mengetahui dengan tepat dimana sosok incarannya berada.

Dalam beberapa lompatan pohon, gadis itu berhasil ia susul. Lelaki yg tubuhnya lebih besar turun, lantas menyengkat kakinya hingga gadis pencuri buruannya itu terguling jatuh.

Tubuhnya naik ke atas Elea– namun tidak sampai mendudukinya. Ia sudah mengacungkan lengan dan cakarnya yg siap mencabik-cabik apapun yg ada di depan mata. Bisa lelaki itu tangkap kengerian dan kepanikan dalam netra lawannya, namun di saat yg sama ada sorot tegas tanda tak ingin mengalah.

"Kembalikan."

"S– Sudah jadi milikku."

Mata lelaki itu nyalang. Tadinya hanya sebelah lengannya yg berubah wujud, kali ini lengannya yg berada di samping kepala gadis itu ikut berubah. Menyeringai lebar tampilkan taring-taring tajam– dari jarak sejengkal, Elea bisa rasakan hawa panas dari napas sosok itu. 

Sekujur badannya merinding.

Kelihatannya lelaki rogue itu luar biasa marah.

Jelas saja marah!

 "Minggir!"

"Kembalikan, Nona."

"Aku bilang minggir, sialan!"

Saat fokus rogue itu teralihkan, tangan gadis itu meraup segenggam tanah di dekat kakinya, lantas melemparnya ke mata lelaki tadi. Biarkan erangan pedih kala matanya bersentuhan dengan partikel asing, erangannya terdengar kencang sekali.

Lelaki itu mengusak matanya, berupaya hilangkan serpihan tanah yg masuk. 

Kesempatan untuk Eleanor pergi dari sana–

Sayangnya, sebelum benar-benar melepaskan diri, tangannya kasar meraup leher omega perempuan itu. Menekannya kuat-kuat ke tanah hingga napas tercekat, bisa gadis itu rasakan kuku tajam dari cakarnya menusuk tiap-tiap bagian leher.

Pupil lelaki itu berubah semakin gelap, emosinya membuncah,

"Beraninya– Memangnya siapa dirimu, huh?!"

Bahaya.

"Tatap mataku, dasar omega!"

Dirinya akan kalah jika terus begini, ia akan mati sebelum sempat pulang.

Oleh karena itu, Eleanor biarkan tubuhnya berubah wujud. Jadi seekor serigala berbulu hazel berukuran tak kalah besar dari lelaki tadi, balik menyerang tanpa ampun ketika keadaan berbalik secara tiba-tiba.

Perkelahian itu tak dapat lagi terhindarkan.

-

Napas keduanya memburu nyaring. Posisi mereka tergeletak jauh dari satu sama lain, kotor dan penuh luka. Entah berapa lama pergulatan tadi berlangsung, entah siapa yg membuat pergulatan tadi berakhir, dan entah kenapa mereka tidak benar-benar membunuh satu sama lain.

Semua berlangsung cepat sekali.

Tiba-tiba, sejulur tangan berada tepat di depan wajahnya, menyodorkan sesuatu yg tak begitu tampak di cahaya remang-remang hutan malam.

"Ambil."

Eleanor bangun, memasang posisi waspada– menggeram nyaring. Ia mendapati lelaki tadi menjulurkan setengah bagian daging kelinci yg terpotong rata ke arahnya yg masih berwujud serigala. Daging itu bahkan sudah bersih. Kapan lelaki itu membersihkannya? Sempat-sempatnya!

"Cepat, sebelum aku berubah pikiran."

"Kenapa mendadak sekali? Tadi kau ngotot jika itu milikmu?"

Si rogue mendengus, "Kau mempertahankan satu ekor kelinci tadi seakan itu benar-benar milikmu, aku jadi tidak nafsu memakannya. Cepat ambil."

Awalnya, Eleanor ingin kembali menyerang lelaki itu. Antisipasi kalau-kalau yg dilakukannya hanyalah tipu muslihat. Belum bergerak, tubuh serigalanya sempoyongan.

Melihat itu, sosok si rogue terlihat menghela napas, "Masih mau sok tidak menerimanya?"

Ragu-ragu Elea menerimanya, menggigit jaring serabut berisi daging itu dengan mulut. Sumpah, jika saat ini ia masih dalam wujud manusia, pasti ujung ke ujung wajahnya merah padam menahan malu.

"Lagipula aku yakin itu tidak hanya untuk dirimu saja."

Kok?

Telunjuknya, ngomong-ngomong lelaki tadi sudah seutuhnya kembali jadi manusia, mengarah ke arah tas miliknya yg terlempar jauh. 

"Gantungan boneka itu pasti dari seseorang yg berharga. Apa aku benar?"

100%.

Lelaki ini tampaknya bukan cuma sekedar rogue atau werewolves biasa. Elea yakin setengah dirinya ada kemampuan menerawang seperti Seer murni dari kerajaan Central. Orang sinting! Ini mah, makhluk kelewat jadi-jadian namanya!

"Sana pulang, sudah gelap. Aku yakin dirimu tau semakin malam maka semakin banyak rogue yg berkeliaran. Aku sarankan kau kembali ke wujud manusia saat sudah di dekat tempat tinggalmu."

Lelaki itu beranjak pergi dengan membawa setengah bagian daging yg lain. Membiarkan suasana seketika senyap dan hening. Hanya terdengar suara jangkrik atau burung hantu samar-samar.

Sedikit banyak, ia tak percaya seorang rogue melepaskan mangsanya dan bahkan membagi hasil buruannya.

Kali ini, Eleanor menuruti perkataan lelaki itu. Tasnya diraih dengan mulut, lantas sosok serigalanya berlari kencang di antara tumbuhan dan kegelapan yg semakin pekat. 

Tidak memakan waktu lama untuk dirinya sampai di mulut goa, ternyata tempatnya memperebutkan kelinci tadi tidak jauh. Baguslah, ia tidak terlalu lama di perjalanan. Masalahnya Eleanor sudah ingkar janji dengan nenek– pulang saat gelap.

Setelah wujudnya kembali jadi manusia utuh dan berpakaian lengkap menggunakan stel pakaian cadangan di tas. Gadis itu melangkah hati-hati, masuk ke sekitar goa yg 2x lipat lebih senyap dari biasanya. 

Mata lebarnya menatap jaring berisi daging itu, senyumnya tampak, "Pasti Ziria akan senang sekali."

Ukuran kelinci kali ini juga lebih besar, bahkan lebih dari kelinci pertama yg ia dapat. Padahal baru setengahnya.

"Tinggal bagaimana aku mencari alasan soal luka-luka yg kudapatkan," Ujarnya sembari meringis.

Setibanya di ujung cabang, mata Eleanor memicing melihat adanya sekilas cahaya dari celah pintu. Tumben sekali dibiarkan tidak terkunci, apa Darel lupa?

Bisa jadi ada yg hendak berangkat lagi, namun tertahan karena pria itu suka mengajak bercakap-cakap dulu sebelum membiarkan mereka pergi.

Lengan Eleanor mendorong pintu– sedikit mengaduh karena ada luka cakar di bagian tersebut, "Paman, ini Eleanor–"

Badannya mematung.

Ada apa–

Apa-apaan...

Apa yg terjadi di sini?

Rasanya semua terlalu banyak untuk dicerna. Otak dan pikiran gadis itu mendadak kosong. Seluruh syarafnya konslet.

Kenapa semua hancur dan berantakan–

Apa yg baru saja terjadi?

Api.

Ada api membumbung di sudut goa. Taighcon ada yg terbakar– bahkan lebih dari satu taighcon terbakar habis. Beberapa bangunan kayu yg dibangun runtuh. 

Kenapa banyak darah berceceran? 

Kenapa kawanannya bergeletakan– tidak bergerak, diam seperti orang yg ....

Kepalanya patah-patah menoleh ke sisi pintu, di sana tubuh Darel terbaring tak berdaya. Ada luka sabetan di dadanya bekas serangan benda tajam.

Tidak, Eleanor tidak sebodoh itu. Sudah jelas sekali apa jawabannya.

Jelas sekali apa yg terjadi dengan kawanannya.

Dibantai.

Mereka dibantai habis.

Tunggu dulu–

"Nenek .... Ziria– NENEK! ZIRIA!"

Eleanor berteriak keras, berharap seseorang menjawab atau sangat berharap keluarganya yg menjawab panggilan tersebut. Namun hanya gema suaranya sendiri yg memantul ke sana kemari, disertai gemerutuk dari api yg meloncat-loncat menjilat puing kayu taighcon.

Eleanor tidak memedulikan kemungkinan adanya orang yg melakukan hal jahat seperti ini masih ada di goa, ia tidak lagi peduli.

Di pikirannya saat ini hanyalah adiknya, neneknya. Keluarganya!

Gadis itu berlari kencang menuju taighcon miliknya, tidak peduli tersandung-sandung atau menabrak berbagai benda yg menghalangi langkah. Ia ingin memastikan sendiri, ia ingin melihat– Eleanor yakin keluarganya baik-baik saja.

Nyatanya, tidak.

Dari jauh saja, ia bisa melihat sosok neneknya tergeletak kaku di dekat pintu kain penutup taighcon mereka. Sesosok anak kecil tertimpa reruntuhan kayu yg terbakar, di dekatnya boneka serabut milik adiknya berada tak jauh dari sana. Kaki Eleanor melemah–

"Z, Ziria? N– nenek?"

Kali ini, dirinya tak lagi bisa menahan beban. Gadis itu ambruk ke tanah. Gemetaran melihat tepat di depan matanya, sosok raga nenek dan adiknya yg pergi meninggalkannya. Tragis dan menyakitkan.

Masih ada sisa masakan nenek– di dekat pembakaran ada panci berisi sup kentang dan daging yg tumpah. 

Air mata omega perempuan itu meleleh, membasahi wajahnya hingga menetes-netes basahi kain celana.

"Bohong."

"Ini semua bohong– BOHOONGG!!!"

Tangisannya meraung-raung, jeritannya terdengar kemana-mana. Merobek hati bagi yg mendengar tangisan tak percaya dan penuh putus asa itu. Berupaya memanggil-manggil keluarga satu-satunya yg tak lagi ada bersamanya.

"Bodoh– Elea bodoh! Kenapa sih kau harus ngotot ingin keluar? Kenapa menolak permintaan nenek dan Ziria? ELEA BODOOH!"

Tangannya memukul-mukul dada, hendak mengeluarkan semua perasaan sesak. Namun yg terjadi tangisannya makin nyaring.

Siapa yg tega melakukannya?

Siapa yg sekeji itu melakukan hal jahat semacam ini?

Di tengah tangis, nampak sesuatu yg berkilau tak jauh dari tempatnya terduduk. Dengan pandangan kabur karena air mata, Eleanor meraihnya. Jemarinya gemetaran menggenggam benda berukuran kecil itu.

Badge. 

Lencana tanda identitas.

Tak jelas pack atau kelompok mana, tapi ini adalah bukti yg cerobohnya tertinggal.

Meski bercampur dengan noda darah dan tanah kotor, Eleanor bisa mengenali bahan baku dari lencana itu. Bukan sembarang buatan.

Tangannya mengepal kuat, buku-buku jarinya memutih.

"Aku akan membalasmu– aku akan membalas kalian!" Gadis itu berkata serak, berteriak penuh benci.

"Hidup kalian akan sengsara, aku akan membuat kalian sengsara! Sampai kalian mati pun tidak akan lepas dari kesengsaraan!"

"AKU AKAN MEMBALAS KALIAN SEMUA, BAJINGANNNN!"

-

Sebongkah kain berlapis jaring serabut itu mendarat sempurna di sebelah si rogue, ia hanya melirik sedikit. Lalu memutuskan menghadap langsung ke arah Eleanor di belakangnya.

Keduanya hanya saling tatap dan tidak berbicara, meski lelaki itu penasaran bagaimana si gadis pencuri bisa menemukan lokasinya bermalam. 

Namun ia bisa menyadari dan tau alasan dari sorot kosong yg Eleanor tunjukkan.

"Terjadi sesuatu di tempat tinggalmu?"

Agaknya pertanyannya asal ditanyakan saja, Eleanor mendelik.

"Dimana biasanya kawanan rogue pembelot menetap?"

Lelaki itu hentikan kegiatan memasaknya, "Tidak usah macam-macam, posisimu sama sekali tidak menguntungkan."

"Aku bertanya padamu, bukan memintamu melarang dan mengaturku."

"Kau bertanya kan? Jawabanku bukankah sudah lebih dari jelas?"

"Tidak usah. Biar aku cari sendiri–"

Helaan napasnya terdengar. Tubuhnya menegak lantas lengan Eleanor dengan mudah ditarik lalu didudukkan paksa di salah satu bongkahan batu. Tak butuh waktu lama, satu porsi daging kelinci bakar itu disuguhkan padanya.

"Baru ku tarik aja dirimu sudah terseret-seret. Habiskan."

"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau tidak memakannya."

Meski posisinya kembali memunggungi, bisa lelaki itu dengar isakan kecil Eleanor mulai timbul di belakang. Terdengar pilu sekali. Oleh karena itu, ia memilih tidak menoleh dan memberikan gadis itu waktu meluapkan emosi pada rogue seperti dirinya.

Ia tau sekali. Jenis tangisan itu– tangisan kehilangan, sudah lebih dari sekali rogue itu mengalaminya. Sudah terlalu hapal dirinya dengan jenis tangisan seperti itu.

"Kenapa datang kepadaku? Kau tidak takut?"

"B– bisa tidak sih, biarkan aku selesai menangis dulu?"

"Maaf, tidak bermaksud."

Benar juga, kenapa kaki Eleanor yg asal melangkah malah membawanya pada lelaki ini– lelaki yg beberapa jam lalu jadi alasannya berkelahi hingga luka-luka. 

Anehnya, bagaimana bisa kakinya yg asal melangkah langsung menemukan si lelaki rogue?

Mungkin sekitar bermenit-menit baru isakannya reda. Sedihnya belum hilang, namun gadis itu merasa telah jauh lebih lega meluapkannya pada orang lain. Kali ini, pikirannya campur aduk antara marah, ingin terus menangis, atau langsung terjun bebas ke sungai deras di bawah sana.

"Aku mencekikmu tadi– dan kau masih tetap duduk di sini?"

Alis Eleanor bertaut, "Keberatan?"

"Tidak, ingin tau saja. Sejujurnya aku bukan yg sembarangan menyerang seseorang, mau itu bandit atau rogue atau lainnya. Tadi aku kelepasan– lebih dari 4 hari aku memasang perangkap dan tiba-tiba kau mencurinya," Lelaki rogue itu melempar setumpuk ranting ke api unggun, menambah kehangatan udara sekitar yg bertambah dingin, "Sementara kau setelah saling serang denganku malah datang kembali."

"Sudah ku kembalikan, tidak usah diungkit lagi," Eleanor mendengus, berusaha menyembunyikan fakta jika dirinya masih malu setengah mati.

"Berarti aku benar kan?"

"Soal?"

"Itu untuk seseorang, jika tidak kenapa dikembalikan?"

Kunyahan Eleanor berhenti. Seketika rasa bersalah menyerang lelaki tadi– aneh, biasanya ia tidak peduli perasaan orang lain atau acuh-acuh saja. 

Tapi kenapa ia merasa bersalah dan tidak enak?!

Keheningan kembali melanda keduanya, hanya terisi suara gemerutuk dari kayu yg terbakar.

Suaranya membuat Eleanor tidak nyaman, ia kembali buka percakapan agar tidak terlalu fokus pada suara tadi, "Siapa namamu?"

"Aku tidak punya nama."

"Pembual," Cerca gadis itu, tidak percaya.

"Kenapa ingin tau?" Pandangan keduanya bertemu, "Jangan banyak tanya, habiskan makananmu lalu pergilah."

"Kubilang aku tidak memintamu untuk mengaturku," Sepatu Eleanor mendorong punggung lebar lelaki rogue itu, "Siapa namamu?"

Suara helaan napasnya terdengar nyaring, kaki gadis itu masih berada di punggungnya sehingga harus ditepis dahulu, "Calum."

"Hei ...."

Si rogue– Calum, menoleh lagi.

Eleanor berkata mantap, "Aku ingin ikut denganmu."

Seringai meledek di wajah Calum muncul, "Mendadak sekali? Perasaanku sedang tidak berangin dan tidak hujan."

"Aku serius, sialan. Bawa aku ikut denganmu– ajari aku agar bisa punya kemampuan pengendalian seperti yg kau lakukan."

Pengendalian?

"Memang aku bisa mengendalikan apa?" Sambil mengambil daging kedua yg sudah dingin, Calum mencari posisi duduk yg nyaman untuk menikmati makan malamnya.

"Aku baru kali ini melihat seseorang bisa berubah sesuka hati, kau tadi hanya mengubah kedua lenganmu saja, kan? Tidak ada yg pernah melakukan itu sebelumnya. Sejauh ini paling hanya ukuran yg membedakan, selain itu pun berubahnya tetap satu wujud utuh."

Angin berdesir kencang tepat setelah Eleanor menyelesaikan kalimatnya. Sekujur badannya merinding. Terlebih tatapan Calum yg tampak berbeda kala mendengar kalimat itu keluar dari mulut Elea, entah tengah menyelami apa dalam pikiran,

"H– hei, jadi boleh aku ikut dengan–"

"Aku hidup sendiri selama 5 tahun ini, belum pernah terpikirkan olehku untuk membawa seorang lagi."

Apakah itu penolakan?

Eleanor merasa tenaganya terkuras. Jika Calum tidak mau mengajarinya– bagaimana bisa ia membalas perlakuan orang-orang kurang ajar itu dengan kemampuan bertarung yg ia miliki? Ini tidak seberapa. Berani bertaruh saat berkelahi memperebutkan kelinci, Calum tidak benar-benar serius menyerangnya. Yg tidak serius saja bisa sekuat itu, bagaimana jika lelaki itu kerahkan semua kekuatannya?

Mungkin Calum kira, dirinya tidak tau. Ucapannya sebelum tadi adalah basa-basi. Siapa sih yg tidak tau cerita soal cerita klan wolves terkuat? Mereka yg punya pengendalian berbeda dengan werewolves kebanyakan dan kekuatannya pun menurun dari genetika ke genetika. Dari banyaknya cerita sejarah mengenai klan itu yg diceritakan nenek pada Elea sebelum tidur, lebih dari cukup dirinya bisa mengetahui bahwa Calum adalah salah satunya.

Meski sedikit bagian dirinya tak yakin, ada kemungkinan lain. Barangkali Calum memang sekuat itu dan punya kemampuan yg lebih tinggi lagi.

Lagipula bagaimana bisa klan wolves sepertinya menjadi rogue liar sampai bertahun-tahun lamanya?

Melihat Eleanor yg hanya diam menatap rumput, lelaki itu mengerang lirih, "Berapa kali aku harus menghela napas saat berhadapan denganmu sih? Berhenti menunjukkan ekspresi itu– jangan coba-coba menyusahkanku atau tubuhmu ku lempar dari cadas batu di setiap tebing."

Gadis itu terkejut, dirinya sama sekali tidak berniat melakukan hal tadi, betul-betul tidak sengaja, "Hah? Kau setuju? Jika aku ikut dan mengajariku?"

"Jangan banyak tanya, pencuri."

Wajah Elea merah padam lantaran malu, "Aku sudah mengembalikannya!"

"Lagipula ngotot sekali ingin ikut denganku."

Senyim miring gadis itu muncul, "Kau lebih lama menjadi rogue daripada diriku, berani bertaruh banyak kawanan rogue yg kau kenal. Aku butuh itu juga selain permintaan agar kau membantuku jadi lebih pintar berkelahi."

Calum agak tertegun, "Kau serius soal ingin mencari kawanan rogue pembelot?"

"Siapa yg bilang aku bercanda?"

Sejenak, lelaki itu diam. Meletakkan daun yg digunakan sebagai alas makan malamnya, menerawang lama. Kemudian, memutuskannya agar membiarkan Eleanor tau.

"Rogue rata-rata penyendiri, namun tak sedikit yg memutuskan jadi satu kawanan. Pembelot, bandit, perampok, dan banyak lagi. Tidak mudah mencari yg kau cari, tapi setidaknya kau tau soal itu."

Eleanor tidak menjawab, hanya merogoh saku saku pakaiannya lalu menyerah sebuah benda berukuran kecil pada Calum. Benda itu diterima dengan bingung oleh empunya.

"Seseorang atau sekelompok yg membantai kawananku menjatuhkan itu, ceroboh sekali bukan?" Belum selesai Eleanor menjelaskan, ia melihat raut wajah serius dari air muka Calum, "Kau mengetahui sesuatu?"

"Dengar, pencuri. Saat ini, lingkungan di luar pack sedang kacau-kacaunya. Terlepas dari kejahatan yg dilakukan antar rogue, ada yg jauh lebih membahayakan daripada hal tersebut. Bahwa, ada mata-mata dari pusat yg menyamar jadi salah satu kawanan. Tidak ada yg tau apa alasannya, namun para rogue amat sensitif dengan hal-hal yg berhubungan dengan pack. Mengetahui jika ada mata-mata pusat yg menyamar jadi bagian dari mereka, tak sedikit rogue membunuh kawanannya secara membabi buta hanya karena satu kecurigaan kecil," Ujar Calum dengan suara amat sangat pelan, seakan tidak ingin ada yg mendengarnya, "Harusnya kau tidak percaya denganku, aku pun harusnya melakukan hal serupa. Tidak ada yg tau, yg pasti mereka tengah mencari sesuatu di antara kita. Apapun itu jadi incaran mereka– memang siapa yg bisa memahami pemikiran para petinggi? Bukan hal tidak mungkin jika salah satu di antara kita berdua adalah mata-mata tersebut."

Eleanor sama sekali tidak butuh pemikiran berlarut atas perkataan Calum barusan meski dirinya masih terkejut dengan fakta yg baru diketahuinya mengenai mata-mata pack tersebut. Gadis itu lebih dulu menjawab, "Aku bukan seseorang yg mudah menaruh percaya pada orang lain, Calum."

Mendengar itu, seringai khas si lelaki rogue muncul, "Kebetulan yg menarik," Badge tadi dikembalikan, "Simpan baik-baik, jangan sampai ketahuan sesiapapun jika kau memilikinya. Besar kemungkinan jika rogue lain mengetahuinya mereka akan mengira dirimu utusan dari pack. Nasibmu akan habis saat itu juga–"

"–ingat, kau belum boleh mati sampai balas dendamnya terselesaikan."

Tawa kecil Eleanor mendahului perkataannya, "Kau bicara soal balas dendam seperti sesuatu yg biasa. Terbiasa sekali atau sedang melaluinya?"

Bahu Calum mendelik acuh, "Mungkin antara keduanya," Kemudian ia melanjutkan, "Kok bisa-bisa kau semudah itu percaya denganku?"

"Jangan tanya kenapa. Kalau memang nasibku jelek, yah palingan aku akan habis di tanganmu atau sebaliknya. Mati ataupun tidak, keluargaku tidak akan kembali."

Lelaki itu lantas berdiri dari duduknya, meregangkan badan, "Hidupku tidak menetap pada satu lokasi saja, jadi kau harus terbiasa dengan itu. Berpindah setiap malam dimana belum tentu tempatnya nyaman atau aman, hilangkan semua jejakmu sebelum pergi, dan masih banyak lagi, pencuri. Ingat perkataanku."

Jika tadi gadis itu tertawa kecil, kali ini oktaf suaranya naik, tawanya kencang, "Aku tidak akan menyusahkanmu, Calum."

"Namamu."

"Apa?"

"Aku sudah mengatakan namaku, sekarang giliranmu."

"Eleanor, tanpa marga atau nama bawaan."

Calum mengangguk paham, beranjak merapikan sisa bara api agar lebih kecil. Ia memutuskan untuk istirahat agar lukanya saat berkelahi dengan Elea beberapa waktu lalu bisa lebih cepat membaik. Lagipula ia memang lelah, menunggui perangkap miliknya agar menangkap sesuatu sampai berhari-hari. Calum sudah kurang tidur.

"Lucu ya– baru saja tadi kau menatapku seakan siap menghabisiku saat itu juga."

"Pencuri."

Tendangan Eleanor meluncur mulus mendarat di punggung Calum,

"Aku sudah mengembalikannya, brengsek!"

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status