5. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
Storing
Penulis: Lusia Sudarti
Part 5
***
Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya.
Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya.
"Cieee Mama pacalan ya sama Papa," teriak si bungsuku sembari tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya.
Drrtt!
drrtt!
drrtt!
Terdengar suara gawai bergetar, aku melihat ada nomor tanpa nama.
Klik!
Ku usap layar benda pipih berwarna hitam itu.
(Haloo dengan siapa ya.) tanyaku setelah tersambung.
(Halo Mbak, ini dengan Dedi. Masnya ada Mbak.) tanya orang yang bernama Dedi diseberang telfon.
(Ada Mas, ada yang bisa dibantu.) jawabku.
(Gini Mbak, kebetulan mobil saya mogok nih, saya mau minta bantuan Mas Iman. Kira-kira bisa enggak ya?) tanyanya kemudian.
(Sebentar ya Mas, Suami saya sedang sholat.) jawabku.
(Oh iy Mbak. Saya tunggu kabarnya Mbak.) ucapnya lagi.
(Ok Mas, biar nanti di telfon balik.)
Klik!
Telfon terputus.
Setelah suami selesai sholat. Ia menghampiri dan duduk disampingku.
"Pa, tadi ada yang telfon minta tolong Papa katanya mobilnya mogok. Coba ditelfon balik," kataku menjelaskan.
"Oh iya, mudah-mudahan ini rizqi untuk anak-anak ya Ma," sahutnya bahagia.
"Amiin Yaa Allah. Mudah-mudahan ya Pa," jawabku seraya tersenyum bahagia.
Lalu ia bangkit mengambil gawai diatas rak buku dan melangkah keluar, agar tak mengganggu anak-anak yang telah lelap dalam tidurnya.
Tak lama kemudian beliau masuk dan pamit untuk siap-siap berangkat, menunggu jemputan, kebetulan Kak Dedi yang akan menjemputnya menggunakan mobil storing
"Ma, Papa berangkat dulu ya? Hati-hati dirumah," ucapnya sambil mencium keningku. Lalu kuraih tangannya kucium takzim.
"Hati-hati Pa," Pesanku. Ia tersenyum sembari mengangguk lalu melangkah menuju mobil yang terparkir ditepi jalan.
Kak Dedi mengklakson, aku mengangguk seraya tersenyum.
Mobil pun bergerak perlahan menyusuri jalan gang, hingga menghilang dari pandanganku.
Aku kembali melangkah masuk kedalam teras dengan langkai gontai.
Kursi yang menemaniku berhari-hari, bermalam-malam, seolah melambai-lambai, menggodaku untuk mendudukinya.
Aku menghempaskan bobotku diatasnya.
Duduk termenung seorang diri.
Memikirkan semuanya.
'Meong, meong, meong," si emak, kucingku mengeong meminta makan, ia mengusap kakiku dengan kepalanya seraya mendongak menatapku.
Kuaraih ia dalam gendonganku.
'Maaf ya mak, gak ada uang untuk beli makananmu," aku usap kepalanya, ia mendongak kembali dan menatapku.
'Doain ya mak nanti dapat uang buat beli makanan," ku cium mak, suaranya mendengkur menandakan bahwa ia manja dan menyayangi kita.
Semilir angin malam menerpa wajahku, memerbangkan rambutku hingga menutupi sebagian wajahku.
Suara gesekan dedauanan yang diterbangkan angin, melambai meliuk, suara nyaring binatang malam bersahutan membuat suasana menjadi mencekam.
Aku segera masuk membawa serta kucing kesayanganku.
Malam semakin larut, tapi kedua mataku tak mau terpejam sedetik pun. Ku pandang satu-persatu anak-anakku, pilu hati ini melihat mereka yang terlihat kurus karena kurang gizi.
Apalah dayaku, kami selalu berusaha.
Tangisku pun pecah tak terbendung.
Maafkan kami nak, yang tak bisa memberi makan yang layak.
'Jangankan untuk beli ayam satu potong, untuk beli permen seribu rupiah pun kami enggak bisa," lirihku disela isak tangis yang tertahan, laluku kecup mereka bergantian.
Si bungsu pun terbangun, karena usapanku.
Ia mengerjapkan kedua bola matanya.
"Mama kenapa kok nangis? Mama jangan nangis dong," ucapnya, kemudian duduk dan mengusap air mataku.
"E-enggak kok sayang, Mama gak nangis, tadi Mama pukul nyamuk, ehh malah terkena mata Mama, jadi perih deh. Da..an keluar air mata karena pedih," elakku berbohong.
"Ohh, hooaaam," jawabnya seraya menguap.
Aku pun tertawa melihatnya.
"Ya udah Adek bobo lagi ya? Sini Mama peluk," kuraih ia dalam pelukan.
"Dimana Papa Ma? Kok enggak ada," tanyanya, ia celingukan.
"Oh Papa, kerja sayang. Udah ayo bobo," Potongku cepat.
Ia terdiam dalam pelukanku, tak menunggu waktu lama ia pun kembali terlelap.
Aku membenarkan posisi tidurnya dengan benar. Kuciumi ia dengan lembut agar tak terbangun kembali.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 01:00 tapi aku sama sekali tak merasakan kantuk. Aku pun meneruskan cerita novel yang belum kuselesaikan.
Aku belajar membuat cerita yang berjudul. "Prahara Dalam Kehidupan"
Yang kubagikan di grup media sosial.
Tapi sayang, belum banyak peminatnya. Tak apa, yang penting aku menulis, ada yang suka apa tidak, itu cuma masalah waktu.
Dan Yang penting, menulis sambil belajar.
Aku menulis berbab-bab untuk cerita yang berbeda. Mumpung otak sedang encer dan banyak inspirasi yang mengalir.
Jika lelah, aku membuka sosmed dahulu supaya fikiran kembali fress.
Semua itu kulakukan berulang kali, hingga selesai mengupdate lima buku.
Esok tinggal menyalinnya ke aplikasi.
Kedua netraku mulai sayu, aku memutuskan untuk menyudahi menulis, ketika hendak menaruh gawaiku diatas meja televisi dari kejauhan terdengar suara adzan yang menandakan waktu telah subuh.
Dan terdengar ketukan perlahan dari luar.
Tok..!
tok..!
tok..!
"Assalamu'alaikum,"
"Ma. Ini Papa," terdengar suara parau suamiku.
Aku pun bergegas bangun.
"Wa'alaikumsalam, sebentar," jawabku.
Pintu pun kubuka, Suamiku berdiri diambang pintu, rautnya begitu lelah.
"Papa baru pulang," tanyaku.
"Iya Ma, baru beres," jawabnya.
Aku mengambil segelas air putih dan kusodorkan kepadanya.
"Makasih Ma," Lalu di sesapnya hingga tandas.
"Alhamdulillah Ma, ini rizqi untuk anak-anak kita."
Lalu ia menyodorkan uang 10 lembar seratus ribu.
Aku pun terbelalak melihatnya
"Alhamdulillah Yaa Allah, terimakasih Pa," aku menerima uang pemberian suami dan mengucap syukur.
"Sama-sama Ma, semoga bisa membeli kebutuhan dapur kita ya," jawabnya.
***
Untuk seminggu kemudian anak-anakku enggak akan kelaparan," lirihku sambil terisak mendekap uang itu.
Di peluknya aku dalam rengkuhan hangat suami.
"Papa pasti lelah, istirahat dulu Mama masakin air hangat ya," ucapku, aku melangkah masuk untuk menyimpan rizqi dari Allah.
Aku menyalakan api ditungku, maklum tiga bulan ini aku tak mampu membeli gas, jadi aku memasak ditungku, lumayan bisa mengirit pengeluaran.
Gas sekarang begitu mahal.
Setelah itu, aku pun mengambil wudhu dan melaksanakan sholat shubuh.
Setelah mandi dan sholat shubuh, Suamiku pun istirahat sebentar.
Kusiapkan segelas kopi untuk Suami.
Untuk sejenak aku duduk diteras, bercanda ria dengan anak-anak, sedangkan suami masih beristirahat, kasihan sekali beliau, membanting tulang siang dan malam demi kami..
Itulah sebabnya, aku selalu membantunya sebisa dan semampuku.
Aku yang terbiasa hidup susah, dan bekerja dari kecil, jadi tak masalah jika harus bekerja keras demi keluargaku.
"Mbak, Mas mau ikut gak, Mama mau kewarung bersama adek?" tanyaku kepada mereka.
"Mauu," jawab mereka serempak.
"Ayo kita berangkat!" aku berdiri mengajak mereka. Kami berjalan kaki menuju warung di gang sebelah barat, tak terlalu jauh dari kontrakan.
Hari ini tanggal merah, berarti anak sekolah libur.
Setelah sampai ditempat tujuan, aku segera memberikan catatan kepemilik warung.
Setelah selesai dan lengkap membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Kami kembali kekontrakan.
Mereka saling bercanda dan tertawa. Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas Ni'mat mu Yaa Allah," lirihku dalam hati.
Bersambung
60. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Tahun Penuh Kebahagiaan Penulis: Lusia Sudarti Part 60 (part terakhir) "Terima kasih untuk cintamu, untuk Papa Sayang!" Suamiku mengecup pucuk kepalaku, nampak sekali Suamiku begitu bahagia dari caranya menatapku ..."Terimakasih juga atas cinta yang Papa berikan buat Mama Pa! Mama begitu bahagia bisa menjadi bagian dari hidup Papa." "Tetaplah disamping Papa Ma ..." "Sudah larut, tidurlah Pa, sini Mama usap kepala Papa," aku menepuk kedua pahaku, memintanya untuk merebahkan kepalanya di pangkuanku. 'Malam belum terlalu larut saat aku bermimpi, hingga Suamiku membangunkan aku, kini ia terlelap begitu damai dalam pangkuanku! Tuhan ... aku bersyukur atas jodoh yang Engkau tetapkan untukku, yang menemani hidupku di dunia ini, amiinn ..." 🌺🌺🌺🌺🌺🌺Aku memang tidak cantik, tetapi tidak pula jelek, wajahku manis semanis madu. Wkwkwk. Tahun ini adalah tahun penuh kebahagiaan buat keluarga kami.Selama memasuki bulan diawal tahun ini, hid
59. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bermimpi Penulis : Lusia Sudarti Part 59Tak berapa lama, dari jauh terlihat sorot lampu yang menyinari area lokasi dan menerangi mobil dimana aku seorang diri di dalamnya. Sebetulnya di belakang mobil, masih banyak mobil yang antri seperti kami."Ma ..." Tok! Tok! Tok! Aku segera membuka pintu mobil, Suamiku tersenyum manis kepadaku yang duduk dijok stir. "Enggak ada apa-apa kan Ma ...?" tanya-nya sembari naik kedalam mobil. "Iya Pa, tapi tetap aja takut hehehe!" aku terkekeh sembari beralih tempat duduk. "Enggak akan ada yang menggigit, paling juga ada yang mau menculik!" Seloroh Suamiku sambil membuka plastik dan mengeluarkan dua bungkus nasi. "Ini Ma nasinya!" ia menyerahkan satu bungkus nasi dan aku meraihnya.Aku rasanya tak sabar untuk menyantap nasi yang aromanya begitu menggoda indera penciuman. Setelah mencuci tangan dan membaca doa makan, aku dan Suamiku segera menyantap makanan kami dengan lahap. "Alhamdulilah Ya Alla
58. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Berangkat Kerja Penulis : Lusia Sudarti Part 58"Terus gimana dengan sekolah Ma?" tanya Rani memecah keheningan "Untuk sementara Mama mau cari tukang ojeg," ucapku kemudian. Mereka semua terdiam mendengar ucapanku.Aku merenungi kehidupanku sekarang! Entahlah semoga ini awal yang baik untuk kami. Doa dan harapan yang tak pernah bosan dan putus kupanjatkan. "Ma, sudah sampai nih!" ujar Suamiku sambil menyentuh punggung tanganku. Aku tergagap karena terkejut, ternyata aku melamun, ia tersenyum melihatku yang terlonjak."Makanya gak usah melamun Ma!" canda Rani, ia bersiap turun dari mobil dan menurunkan semua alat-alat perlengkapan yang kami bawa. "Ayo turun Adek ...!" aku segera menuruni tangga mobil dan meraih Nayla untuk kugendong. Kami disambut hangat oleh keluargaku. Tarmi dan Anaknya, Tarmi seorang janda, Suaminya meninggal dunia tiga tahun lalu, karena menderita stroke.Mereka membantu membawa barang-barang yang kami bawa. "Dek
57. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Penulis : Lusia Sudarti Part 57Aduh Mbak, kami belum punya, tetapi jika mau lima ratus dahulu ada nih," ia merogoh uang di saku celananya.Kemudian diberikannya kepadaku. Aku menerima uang dari tangan Bosku itu tanpa semangat! Tetapi aku masih menunjukkan sikap menghargai kepada mereka. Malam ini terasa begitu dingin, kebetulan aku lupa memakai switer, jadi angin malam seolah menusuk kulit hingga tembus tulang sum-sum. "Ayo pulangn Pa." Aku dan Suamiku lemas seketika! Kami sedikit kecewa, bukan sedikit sih ... janji mereka mau melunasi hari ini. Tapi sayangnya mereka masih mengingkarinya. Sedangkan aku dan Suamiku mempunyai janji untuk membayar dulu bunga pinjaman pan4s!Tapi apa boleh buat, yang ada dulu dibayarin, sisanya nanti kalo udah dapat lagi. "Gimana ini Pa, masa iya cuma segini! Kan bingung mau kasih taunya gimana! Sedangkan semua telah menjadi dua juta!" ucapku sedikit kecewa. "Mau gimana lagi Ma, kirim dulu yang ada!" ja
56. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Pergantian Tahun Penulis : Lusia Sudarti Part 56"Heii, Mama gak apa-apa kok, udah jangan menangis, kita berdoa aja semoga kita dapat rizqi untuk membayar semuanya," aku memeluk mereka semua.Tak kupungkiri hatikupun sakit tiada terkira.Tetapi aku harus tegar demi mereka. "Mbak mau ngaji gak?" tanyaku seraya melerai pelukan. "Iya Ma ngaji," jawabnya. "Ya udah makan dulu lalu bersiap-siaplah," titahku kepada mereka berdua.Mereka pun mengangguk dan beranjak masuk. Aku menarik nafas dengan berat dan kuhempaskan perlahan.Aku membuka ponselku kembali dan menonton youtube bersama Nayla.Melihat tingkah lucu si kucing dalam video.Nayla tertawa terbahak-bahak hingga mengundang rasa penasaran kedua Kakaknya yang sedang beres-beres sebelum berangkat ngaji. "Hahaha, lihat Ma lucu sekali kucingnya, bisa beldili juga ngomong," teriak Nayla kembali, akupun tertawa melihatnya. "Mana Dek ...!" ujar Rani juga Indra berlari menuju kearahku dan Nay
55. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nas Selalu Sakit Hati Penulis : Lusia Sudarti Part 55 Tring! Aku terkejut mendengar suara nyaring dari ponselku. "Tolong antarkan sekarang ..." Aku hanya mengusap dada membaca pesan whatsapp dari Mbak Neni. "Mbak, saya belum gajihan, ada uang baru dapat sisa bayaran dari Kak Andi, tetapi gak cukup untuk bayar bunganya, di rumah saya beras pun gak ada, jadi untuk beli beras dan bahan-bahan masak yang lain karena sudah habis semua," segera aku mengirimkan balasan. Pesan balasanku pun telah dibaca dan dilayar ia sedang mengetik.Tring!"Tapi ini sudah berjalan tiga minggu, jadi gimana? Sedang perjanjian kemarin dua minggu bunganya lima ratus ribu jika meminjam satu juta ..." Aku membaca pesan itu dengan hati gundah gulana, bingung, sedih sekali pastinya.'Entah kenapa tak ada sedikitpun iba pada kami yang sedang betul-betul kesusahan.Untuk makan pun sulit," gumamku dalam hati. Sementara itu dalam kegelisahan aku melangkah masuk kedalam ka