Share

Keputusan

Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.

Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?

DRRT.. DRRT..

Getar ponsel di atas meja membuyarkan lamunan Pandu, menemukan pesan dari Meita yang entah kenapa berhasil membuatnya tersenyum dari telinga ke telinga.

From : meitap

Sore kita ketemu di rumah pohon deket sawah kakekku, ya. Aku mau ngomong sesuatu.

Pandu mengerjapkan matanya perlahan, mengapa dia merasa senang? Mengapa pula sekarang dia berdebar? Apa jangan-jangan yang Jay katakan padanya benar?

"Kamu naksir dia? Kalau engga, kenapa sebegitunya belain dia?"

Pandu menggelengkan kepalanya, semenjak masalah abangnya dengan Gisel kenapa kejadian yang serupa juga seperti ia alami? Atau memang saat ini ia pun mengalami masa pubertas? Pandu menghela napas, kembali menyelimuti badannya rapat tanpa berniat membalas pesannya, perlahan namun pasti rasa kantuk menyerangnya, Pandu menguap sesekali, mungkin tidur beberapa menit bisa meredakan pusing dan menghilangkan pikirannya yang terasa aneh.

+++

"Pan, bangun, ah! Mandi sekalian mandi besar, gih!"

"Hah? Mama, kapan pulangnya?"

Nyonya Gandhi nampak tersenyum di sampingnya sudah ada Meita yang menunggui Pandu terbangun sepenuhnya. Pandu segera mengumpulkan nyawanya, memastikan bahwa pandangannya bukan sekedar fatamorgana.

"Ayo, bangun. Kamu engga malu, di bangunin Meita pas lagi mimpi basah pula. Ya ampun, nak."

"Hah?"

Perlu beberapa lama otak Pandu untuk memproses kalimat mamanya. Ia kemudian menunduk ke arah tengah selimutnya yang basah. Dan untuk kedua kalinya (yang pertama terjadi saat dia sunat) dalam seumur hidupnya, Pandu menjerit dan segera melarikan diri dengan selimut yang ia bawa ke kamar mandi. Terdengar dari luar mamanya tertawa terbahak melihat tingkah anaknya.

"Tuh, kan Mei? Kamu engga usah cemas lagi. Pandu itu cepat sehatnya kalau sakit."

"Mama, sama Meita keluar dulu, deh! Malu nih! Aaaah!"

"Hahaha, iya-iya. Meita kesini agak lama engga apa-apa, ya? Lepas mandi selesai kamu turun temenin dia antar pesenan, okay?"

Pandu masih menggerutu, mengutuk dirinya sendiri saking malunya. Ia lupa apa yang ia mimpikan, yang dia ingat, dia mendengar suara Meita, dan mimpinya sangat indah. Pandu buru-buru mengusir pikiran kotornya dengan mengguyur sekujur tubuhnya dengan air. Entah kenapa rasanya seperti kehilangan keperjakaan untuk pertama kalinya, ratap Pandu dalam hati.

Pandu menghela napas, menyiapkan hati dan dirinya sendiri sebelum turun menyusul mama dan Meita di bawah sesuai dengan perintah. Terlihat Meita tengah bermain dengan Ciko, kucing peliharaannya.

"Nih, Meita tadi bawain kamu ubi jalar, mumpung mama masak kolak lagi, kamu kasih ke om Jordi, ya. Sekalian antar ke tempat pak RT."

"Mah, kok perintahnya banyak amat, sih."

"Hei, hitung-hitung buat jalannya pedekatemu! Mama denger kamu mimpiin sesuatu yang berhubungan sama Meita, lho! Hihi."

"Iss, iya-iya."

Pandu menggerutu, menyusul ke tempat dimana Meita menunggunya, masih sambil bermain dengan Ciko. Meita menoleh, membuat Pandu salah tingkah akan tatapannya. Gerakan Meita yang menyentuh keningnya, membuat Pandu menahan napas.

"Demamnya udah turun, aku engga masalah kok sama cowok yang doyan ngompol."

Pandu melongo menatap Meita. Sepertinya gadis di depannya ini tak paham dengan ucapan frontal mamanya tadi.

"Yang penting kamu udah sehat."

"Kamu engga marah lagi?"

"Siapa bilang aku marah? Kemarin itu aku lebih ke merasa bersalah, tahu."

"Tapi-"

"Udah, yuk ke tempat pak RT dulu, keburu sore sama buka nanti."

Pandu berjalan beriringan di samping Meita, sudah lama juga mereka tidak berjalan berdua begini, terakhir di mall kemarin, tapi berakhir dengan tidak menyenangkan.

"Woi! Pandu! Meita! Mau kemana?"

Pandu dan Meita menoleh, mendapati Candra yang berjalan mendekat ke arahnya dengan sarung tersampir di pundak. Candra adalah salah satu remaja paling aktif dan muadzin masjid yang suaranya paling merdu, hanya saja sekolahnya dengan sekolah Pandu dan Meita berbeda.

"Mau ke tempat pak RT, nganter kolak sekalian antar Meita balik, Can. Darimana kamu? Kok bawa sarung."

"Oh, abis bantuin pak Ustadz bersihin musholla. Neng Meita teh cantik pisan, tahu aja bakalan ketemu aa Candra di jalan, hehe."

"Hehe, biasa aja, kok. Kebetulan habis dari acara pengajian tempat teman, hijabnya belum kulepas, a."

"Jangan, dong! Bagusan pake, nanti kalau udah siap, aa Candra siap halalin-"

"Kita lagi buru-buru, nih Can. Udah dulu, ya? Ayo, Mei."

Meita mengerjapkan matanya bingung, sedikit mengernyit saat Pandu setengah menyeret langkahnya menjauhi Candra yang kebingungan dengan tingkah mereka. Meita masih terdiam, sesekali menatap ke arah Pandu yang terlihat kesal akan sesuatu. Ah, sepertinya ia tahu apa yang di rasakan pemuda ini.

"Kamu cemburu?"

"Hah? Engga!"

"Terus? Kenapa marah coba? Kamu cemburu Candra muji aku pake hijab?"

"Aku engga suka kamu keliatan cantik di depan orang lain selain aku."

Pandu menjelaskan dengan nada sengau yang lucu. Meita mengerjapkan matanya perlahan, baru setelahnya tertawa kecil.

"Kok kamu ketawa, sih?"

"Habisnya lucu, hahaha."

"Apanya yang lucu?"

"Cemburumu, lucu."

Meita terkekeh pelan, menautkan kelingkingnya dengan kelingking Pandu. Gadis itu kemudian tersenyum kecil, mereka kembali berjalan di bawah sinar mentari sore.

"Aku mau bilang makasih banyak sama kamu. Makasih kamu menjagaku selama ini, dan maaf kalau aku sering engga menyadari keberadaan kamu yang lebih sering karena aku sibuk mengagumi orang lain yang bahkan menoleh pun engga."

Mereka berdua sejenak berhenti, Meita menatap ke arah Pandu yang balas menatapnya.

"Tapi, Pan. Aku bingung harus balas seperti apa? Apa yang harus kuberikan untuk kebaikanmu itu?"

"Cukup kamu bahagia dengan apa yang jadi pilihanmu, aku rasa cukup."

"Hm?"

Meita terkesiap saat Pandu kali ini beralih menggenggam erat tangannya, tanpa rasa malu dan canggung.

"Aku tahu kamu masih belum sembuh karena cinta pertamamu yang berpaling, dan aku pun engga mau terburu memutuskan karena kita yang masih kelewat muda. Tapi aku harap, kamu engga menjauh dariku. Aku engga bisa jauh darimu, Mei. Engga setelah semua ini-"

Pandu terkejut saat Meita tiba-tiba memeluknya, bingung dan panik pemuda itu melihat sekitar. Untunglah tidak ada siapa-siapa di sini.

"Me-Mei bukan muhrim, Mei."

"Eh, astaga maaf."

Keduanya tertawa malu, menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Pandu memberanikan diri kembali meraih genggaman tangan Meita, tersenyum meyakinkan ke arah gadis itu.

"Ingat itu baik-baik, aku engga akan membalikkan punggungku ke kamu, begitu pula kamu. Oke?"

"Huum.."

"Yuk, lanjut. Kolaknya om RT-mu keburu dingin nanti, hehe."

+++

"Terima kasih kamu sudah seperhatian ini dengan Gisel."

"Sama-sama, om. Saya hanya memberikan support sebisa saya."

Jay tersenyum ke arah Marcel selaku orang tua Gisel. Situasi rumah sakit lumayan lengang sore itu, Jay sepulang dari latihan memutuskan untuk mampir sebentar menjenguk Gisel. Ia tahu dan sangat memahami tak ada celah baginya untuk berharap gambaran seperti apa hubungannya dengan Gisel meski mereka berharap hubungan mereka lebih dari sekedar teman.

"Kabar orangtua kamu gimana, Jay? Salam ke mereka, ya. Maaf om belum sempat berkunjung."

"Engga apa-apa, om. Alhamdulillah mama sama papa sehat, papa yang menyarankan saya untuk kesini dan tetap berhubungan baik dengan Gisel."

"Uh?"

"Saya tahu, yang om khawatirkan itu sama dengan orang tua saya.."

Marcel menatap Jay penuh atensi, untuk anak semuda ini, Jay memiliki intuisi tajam dan sangat dewasa, persis seperti mamanya. Marcel tersenyum kecil, menganggukkan kepalanya maklum.

"Kamu layak menjadi anaknya Safa, ya? Mirip sekali sama mamanya, haha."

"Saya pikir Gisel pun mewarisi sebagian besar sifat om, kok."

"Kamu benar, sangat benar. Dia benar-benar mirip saya, Jay."

Marcel menatap menerawang, tiba-tiba ia teringat masa-masanya saat keluarga yang ia miliki sangat lengkap dan bahagia meski perbedaan napas itu mengiringi.

"Mama Gisel dulu meninggal karena sebuah kecelakaan kebakaran di sebuah mall, demi menyelamatkan Gisel istriku itu terjun dari lantai tujuh menuju lantai dasar. Alasan kenapa om dan Al begitu protektif karena Gisel sering merasa tak nyaman dengan situasi ramai, dan warna merah sepekat darah. Gisel akan kumat ketika sesuatu memicu traumanya."

Jay meremas tangannya sendiri, seolah mengerti dan bisa menebak arah pembicaraan Marcel kali ini akan kemana.

"Om ingin, kamu tetap melanjutkan pertemanan dengan Gisel, tapi om mohon sama kamu untuk tidak terlalu mendekati Gisel detik ini."

"Om-"

"Kamu tanya sama mamamu, kamu akan tahu seperti apa rasanya menjalani perbedaan dimana rasa itu semakin subur di dalam hati. Sebelum terlambat, tolong kamu pertimbangkan ini, demi kamu dan demi putriku satu-satunya."

Jay terdiam, mencoba berpikir dan mencari jalan lain agar ia bisa terus mendampingi Gisel tanpa Marcel perlu khawatir soal putrinya.

"Aku bisa jamin aku engga akan meminta lebih dan balasan dari apa yang kulakukan pada Gisel, om."

"Tapi kamu, belum tentu bisa menjamin akan seperti apa yang harus Gisel hadapi. Tolong, tolong sekali lagi pertimbangkan ini, Jay."

Marcel beranjak dari duduknya, tersenyum untuk terakhir kalinya ke arah Jay seraya menepuk sekilas pundaknya.

"Kamu bisa pulang sekarang, biar om saja yang menjaganya bergantian dengan Al nanti."

+++

"Ini silahkan, minumannya."

"Terima kasih."

Jay bergumam pelan ke arah bartender di depannya, pemuda itu tidak memutuskan pulang ke rumah karena hatinya yang terlampau pedih mendengar segala ucapan Marcel yang terlontar tadi sore. Segelas minuman keras yang terhidang di hadapan Jay belum tersentuh sama sekali, hingga bartender di hadapan pemuda itu bertanya tanya, mau sampai kapan Jay memelototi minuman itu?

Jay meraih perlahan gelas berisi minuman keras itu, menatap kosong seolah segala sesuatu yang terjadi padanya sudah berakhir. Benar, memang sudah berakhir. Dia brengsek, telah menanamkan harapan lebih pada Meita, jatuh cinta pada seorang gadis yang berbeda akidah dengannya, bertengkar dengan kembarannya, juga banyak hal buruk yang sudah ia lakukan.

TEP..

"Eh?"

Jay terkejut saat sebuah tangan menahan perlahan tangannya, mendorong gelas itu lebih jauh dari jangkauannya. Dia Al Jaelani, kakak dari Gisel.

"Terlalu cepat buatmu berpikir bahwa semua ini adalah akhir dari semuanya."

-to be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status