Share

Kita Sama Tapi Beda

Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum.

"Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!"

"Waalaikum salam cah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!"

"Siap, mbok!"

Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untuk ngopi. Karena harganya yang murah, dan fasilitas yang Mbok Jum berikan termasuk wifi gratis cukup di minati oleh anak gamers, tak terkecuali Pandu.

+++

"Weleh, mas Al, to! Lama engga lihat, kemana aja, mas?"

"Haha, iya, nih mbok. Habis lulus alhamdulillah langsung dapet kerjaan. Dulu jaman skripsi padahal suka numpang nugas di sini, ya? Gegara temen dulu ada yang kos di kampung sini, sih."

"Haha, iya. Mas Al mau pesen apa? Sekalian Mbok bikinkan, atau mau kayak biasanya?"

"Boleh deh, mbok. Kopi Joss, pake arang, gulanya dikit aja, ya?"

"Siap, di tunggu dulu mas. Duduk dulu di sana, ya!"

Pandu menoleh ke asal suara, di bulan Ramadhan seperti ini Mbok Jum merupakan salah satu pedagang kaki lima yang masih bisa bertahan karena sudah punya banyak pelanggan setia. Pandu tersenyum sekilas, di balik rasa lelahnya Mbok Jum, selalu ada keberkahan yang di terima wanita paruh baya itu. Kadang ketika Pandu akan berangkat maupun pulang sekolah, Mbok Jum terlihat letih, namun di usia senja seperti beliau, semangatnya untuk terus melawan kemajuan teknologi sama sekali belum pupus. Ah, membahas soal kemajuan Pandu jadi teringat abangnya, karena sibuk buka puasa dan teraweh jadi tidak sempat buatnya bertanya perkara kedekatannya dengan Gisel.

'Kalau iya naksir, apa abang engga tahu, soal itu.. Bisa gawat kalau udah terlanjur jatuh cinta. Mau ngasih tahu, entar di kata sok tahu, abang kan sering merasa aku ini bocah.'

Pandu mengerang sekilas, membuat orang yang duduk di sebelahnya menatapnya heran. Pandu yang menyadari sikapnya yang aneh buru-buru cengengesan seraya meminta maaf.

"Maaf, ya mas. Lagi banyak beban hidup, hehe. Biasa anak kelas tiga SMA. Puber memuncak di kala ujian menghantui."

"Haha, santai saja. Saya juga di sini tujuannya ngadem, karena beban hidup juga. Sudah kelas tiga? Sekolah dimana emang?"

"Iya, sekolah di SMA Lazuardi Bangsa, mas. Saya siswa baru, sih. Di sebut baru banget juga engga, soalnya udah jalan dua minggu lebih kayaknya. Hehe, mas nya udah langganan lama, ya sama Mbok Jum? Tadi sekilas denger dari jauh obrolannya."

"Oh, ya? Adik saya juga sekolah di sana. Haha, iya dulu sering numpang nugas pas lagi susah engga ada paketan. Terus setelah lulus S1 nerusin kuliah S2 di luar negeri sambil kerja. Jadi baru sempat sekarang jajan di sini."

"Wah, masnya pinter, deh. Saya jadi inget sama kakak kembaran saya, haha. Otaknya beda banget meski kami kembar. Dia kalau akademik udah susah di geser kayak pemeran Elsa di Ikatan Batin."

"Ah, kamu bisa aja, haha. Public speaking-mu bagus, pede aja siapa tahu ada bidang lain yang bisa kamu asah, dik."

"Hehe, iya ya, mas. By the way, mas nya rumahnya deketan sini? Kok saya jarang lihat."

"Engga, saya agak jauh sebenernya tadi kesini mampir ke kos temen aja, sekalian ketemu silaturahmi sama Mbok Jum. Oh, iya katanya punya saudara kembar? Mukanya sama, dong."

"Ah, engga, kok gantengan saya, hehe. Kami kembar tapi engga sepenuhnya sama mas."

"Sama pabrik beda setelan, ya?"

Pandu kembali bercengkrama dengan orang di sampingnya itu. Dan tak di sangka orang bernama Al-Jaelani ini berkuliah di bidang olahraga juga, bahkan sampai ke Turkey. Sungguh prestasi yang luar biasa. Dan entah mengapa, Pandu merasa dia seperti punya harapan dan gambaran akan kemana langkahnya setelah lulus nanti.

"Wah, saya jadi punya inspirasi, mas. Terus terang, saya juga unggul di bidang olahraga cuman engga pede karena kebetulan serumah itu otaknya pada pinter semua, haha. Dari cerita mas Al, saya pede buat bahas ini ke mamah saya."

"Iya, selagi kamu tahu langkahmu akan seperti apa, orang tua engga akan marah, kok. Kadang orang tua melarang sesuatu itu karena mereka engga mau kita sakit."

"Sakit dengan perguliran roda kehidupan ya, mas? Haha."

Pandu dan Al terbahak bersama. Tak terasa, pesanan mereka pun sudah setengah tandas, jam tangan Pandu juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Bisa terlalu malam kalau dia tidak pulang sekarang, mengingat dia jalan kaki dan jarak rumah lumayan jauh dari warung ini.

"Wah, mas saya minta maaf dan makasih nih udah di ajak ngobrol asik. Cuman kudu pulang takut kena amuk mama sama papa, hehe. Kalau engga sekarang nanti kemalaman soalnya."

"Kamu jalan? Rumahmu mana? Sini aku antar aja. Kasihan kalau kena marah padahal, kan saya yang ajak obrol kamu."

"Eh, engga usah mas, malah ngerepotin."

"Halah, santai aja. Saya engga doyan anak kecil, kok. Kalau nyulik segede kamu susah kudu ngasih makan, haha. Yuk."

"Yee, mas Al, mah, haha. Oke deh siap."

Setelah memastikan semua jajanannya terbayar, Pandu menuruti kenalannya itu mengantar. Hari ini sepertinya hoki sekali dia. Sudah di izinkan jajan sama papa, ketemu teman baru asyik, di traktir teman baru, di antar pulang pula. Sesampai di rumah dia akan cerita keseruan ini ke abangnya. Ah, mengingat soal abangnya tiba-tiba saja Pandu teringat soal bahasan papa dan mamanya yang meminta tolong. Padahal dia buta soal cinta, ada-ada saja orang tuanya itu.

"Nah setelah ini, belok kanan aja mas."

"Okay."

Beberapa menit setelah melewati sawah milik kakek Meita, sampailah mereka berdua di depan sebuah rumah tingkat dua. Seorang pemuda yang tak lain adalah Jay sudah menanti di luar gerbang rumah.

"Lama amat, sih. Kamu jajan apa aja? Untung engga sampe langgar jam malam."

"Jangan di marahin adiknya, mas. Kasihan, tadi kebetulan dia saya ajak ngobrol lama, jadi lupa waktu."

"Maaf, situ siapa, ya?"

Pandu mendelik, mencubit kecil lengan abangnya dengan gemas dan mengacuhkan tatapan protes Jay setelahnya.

"Maaf, ya mas. Abang saya satu ini lagi pms masalah cewek sejak sore."

"Heh, Pandu!"

"Lho? Kan bener! Abang marah karena gebetanmu ngobrol sama aku, padahal obrolan kita biasa aja, lho!"

"Sudah, haha. Kalian ini ributnya di terusin setelah lebaran aja, saya pamit pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya dek Pandu? Assalamualaikum."

"Waalaikum salam. Hati-hati, mas!"

+++

Sepeninggal Al-Jaelani, si kembar memutuskan masuk ke rumah karena hari sudah semakin larut. Sesuai dengan kebiasaan masing-masing, mereka memulai ritual sebelum tidurnya. Pandu dengan handphone-nya dan Jay dengan bukunya. Pandu melirik ke arah abangnya yang masih sibuk membaca.

"Bang, aku boleh nanya?"

"Nanya apaan? Kalau soal hasil tes belum keluar, kok kata wali kelas ketunda gegara sistem di sekolah down hujan terus."

"Bukan, aku tanya aja abang ada hubungan apa sama Gisel?"

Jay menghentikan gerakannya yang tengah membalikkan halaman buku di pangkuannya. Atensinya kali ini benar-benar teralihkan ke arah Pandu yang menatapnya balik.

"Emang kenapa kalau aku deket dia?"

"Ya engga apa-apa, aku cuman nanya aja kenapa abang semarah itu? Apa abang naksir dia? Atau malah udah pacaran?"

"Kenapa kamu tanya soal privasi?"

"Ha? Sejak kapan ada privasi antara kita, bang? Abang biasa curcol begitu pula aku. Kita selalu gantian. Aku cuman nanya emang salah?"

"Iya salah, soal urusan cewek itu urusanku, kamu engga berhak urusan lebih jauh."

"Tapi, bakalan jadi urusanku kalau abang kenapa-napa."

"Emangnya Gisel berani apain abang? Abang gini-gini juga engga lemah, Pan. Abang lebih dewasa beberapa menit dari kamu." 

"Bukan itu maksud aku, bang."

"Ya terus, apa?!"

"Aku takut abang sakit hati kalau tahu Gisel itu beda agama sama kita!"

Teriakan si kembar dari lantai atas rupanya menarik perhatian kedua orang tua mereka, terlihat dari langkah mereka yang segera menyusul ke ruang belajar.

"Ada apa ini ribut-ribut? Kalian bahas apa?"

"Mah, lainkali kalau mau bahas ginian mamah aja yang nanya jangan aku. Di mata orang-orang aku tetep masih bocah yang engga dewasa. Tuh yang lebih dewasa harusnya ngerti, bukannya malah cinta buta keluarga sendiri ngasih kode tanda sayang, malah di lawan."

"Lho? Kok kamu marah ke aku? Kamu yang mulai nanya dengan nada yang engga enak. Seolah-olah Gisel itu jahat. Kamu tahu sejauh apa soal dia?!"

"Aku tahu dia beda keyakinan kamu pikir itu engga perlu di pikirin!? Bang, aku gini karena abang saudaraku. Kita kembar!"

"Kita memang sama, tapi bukan berarti engga ada perbedaan!"

"Cukup!"

Jeritan keras nyonya Gandhi yang menggelegar cukup mengagetkan suami maupun kedua anaknya hingga terdiam. Raut muka ibu dua anak itu memerah menahan amarah.

"Sayang, tenang dulu-"

"Engga, di sini mama yang salah engga bahas langsung sama Jay karena mama pikir kalau Pandu yang menyampaikan akan lebih masuk karena usia kalian hampir sama. Ternyata kalian sama saja."

"Mah, tapi-"

"Diem kalian semua, kalau mau lanjut ribut tidur sana di pos ronda. Besok kita bahas lagi."

Pandu mendengus, berjalan keluar tanpa menghiraukan abang maupun papa mamanya. Pemuda itu merasa niat baik yang seharusnya tersampaikan malah di salah artikan, belum lagi kalimat tajam yang selalu sama terlontarkan dari abangnya, yang seolah tak mau di katakan sama, apakah tandanya abang tak lagi sayang padaku sebagai kembarannya? Semua permasalahan pubertas ini sungguh membuatnya pusing.

Drrt... Drrrt...

"Halo? Iya, kenapa Mei?"

"Idih, kenapa nadanya kusut gitu? Abis gelut sama abang?"

"Kalau engga ada urusan penting lanjut besok aja, Mei. Lagi engga mood."

"Eh, engga, penting banget ini. Besok anterin aku ke toko buku boleh? Sekalian refreshing nanti aku traktir takjil deh."

Pandu menghela napas, tapi masih berusaha menanggapi ucapan demi ucapan Meita meski moodnya sudah kandas.

"Ya udah gitu dulu aja, dan Pandu.."

"Hmm... Kenapa lagi?"

"Semangat, ya! Inget, kapanpun butuh cerita, cerita sama aku aja, okay? Ya udah assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Pandu membiarkan Meita memutus sambungan telepon duluan, bagaimana mau cerita kalau ini hubungannya dengan Jay yang jatuh cinta dengan gadis lain, bisa-bisa Pandu justru mematahkan semangat sahabatnya itu.

- to be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status