"Apakah dia anakku?" Meski Titi berulang kali mengatakan keponakannya bukanlah anak mereka, tapi Ryan --mantan sekaligus atasannya itu tak percaya! Terlebih, Ryan juga sedang dikejar target untuk harus menikah dalam waktu 2 bulan. Kalau tidak, ia akan menikah dengan pilihan keluarganya. Lantas, bagaimana nasib Titi? Sebab, ia harusnya menyembunyikan identitas asli keponakannya itu dari keluarga Ryan ....
View More“100 juta?” lirih Titi dengan tatapan kosong.
Biaya penalti kontrak kerjanya bila mundur sebelum waktu yang ditentukan sungguh besar. Tapi, ia pun bingung karena perusahaan startup yang menjadi kantor barunya ternyata milik sang mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa alasan yang jelas. Haruskah dia bertahan di sana dan menebalkan muka saja demi Sifa, keponakan yang sejak bayi dititipkan sang kakak? Terlebih, tabungannya menipis dan sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. "Titi, sedang apa kamu di sini?" Deg! Mendengar suara bariton yang familiar itu, Titi yang sedang ingin menjemput Sifa–terkesiap. Bagaimana bisa Ryan–mantan kekasihnya–mendadak ada di depan teras TK ini? "Saya menjemput adik saya, Pak," jawab wanita itu cepat, mencari alasan. Namun, Ryan tampak mengernyitkan dahi. "Seingat saya, kamu anak bungsu?" "Ya... em, Ibu saya menikah lagi dan mereka punya anak," ucap Titi sembari merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa dia lupa jika Ryan tahu tentang seluruh latar belakangnya? Titi hanya dapat berharap Ryan segera pergi dan melupakan apa yang terjadi. Untungnya, doa Titi terkabul! Meski masih terlihat bingung, Ryan tampak mengangguk paham. “Bapak sendiri sedang apa di sini?” ucap Titi mengalihkan pembicaraan “Oh. Saya sedang memeriksa proyek yang kebetulan akan dibangun di sekitar sini.” Kini giliran Titi yang mengangguk. Hanya saja saat Titi hendak pamit, anak-anak TK mulai berhamburan keluar! Bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil yang cantik dengan hijab mungil itu langsung memeluk Titi yang rutin menjemputnya. "Mama!" teriaknya kencang dan penuh kebahagiaan. "Mama?" ulang Ryan dengan alis terangkat. Pria tampan itu sontak menatap Sifa yang tampak berusia 5 tahun. Bocah itu putih dan memiliki mata sipit, khas orang Asia Timur yang mirip … dengannya. Padahal, Titi dan keluarganya memiliki bentuk mata almond! Segera, Ryan menatap Titi seolah minta penjelasan. Titi jelas menyadari itu. Sayangnya belum sempat ia memberikan alasan, guru TK dari Sifa keluar dan menghampirinya. "Mama-nya Sifa, ini ada pemberitahuan. Minggu depan datang ya...." Titi mengangguk dengan senyum paksa sambil menerimanya. Belum lagi, ia sedikit tertekan di bawah tatapan Ryan saat ini. "Oh ini Bapaknya Sifa, ya?" Kini nasib Titi benar-benar di ujung tanduk karena Guru putrinya itu terus saja berbicara, "Wah, senangnya bisa ketemu Bapaknya Sifa yang ganteng. Semoga sering ke sini jemput anaknya ya, Pak. Kasian Sifa, kadang dikatain temannya karena gak pernah bawa Bapaknya." Dan bukannya menolak, Ryan malah seolah menikmati peran singkatnya itu dengan mengangguk sembari tersenyum sopan! Hanya saja, itu tak bertahan lama. Begitu Guru paruh baya itu pamit dan kembali menemui beberapa wali murid, Ryan tampak menatapnya dalam. “Titi, ikut aku ke mobil!” perintahnya tiba-tiba. “Tapi, Pak.” Sayangnya, Ryan segera memberi isyarat pada sopirnya untuk membukakan pintu. "Silakan, Nona!" ujar sang sopir mempersilahkan. Titi terkejut, sementara Sifa terlihat girang. "Wah, naik mobil. Asyiiiik!" "Enggak Say..." Terlambat. Sifa kini sudah turun dari gendongan Titi dan segera masuk ke mobil mewah itu. Di tengah kebingungannya, Ryan berdiri di belakang Titi dan membisikan sesuatu yang sontak membuatnya tak bisa menolaknya, "Turuti aku atau aku akan membuatmu malu di sini." *** Srak! Di dalam mobil, Ryan menutup pembatas antara sopir dan jok penumpang. Sifa duduk di tengah, diapit Ryan dan Titi yang belum bicara. Ia menikmati perjalanan pulang dengan mobil mewah yang belum pernah ia naiki. "Wah, gede banget. Wanginya enak!" Ia terus mengucapkan kata-kata yang menunjukkan betapa antusiasnya ia naik mobil mewah itu. Sementara Ryan mulai tak tahan untuk tidak bertanya pada mantan kekasihnya itu. "Apakah kamu bisa menjelaskan semua ini sekarang, Titi?" tanya Ryan dingin. Titi memainkan kedua tangannya takut. Ia melihat Sifa yang masih sangat senang, sampai akhirnya ia berkata. "Tolong, kita bicarakan setelah Sifa tidur." Titi tahu Ryan bukan orang yang bisa menunggu, tapi untungnya pria itu mau mendengarnya. Sayangnya, Sifa yang kini tak bisa diajak bekerjasama. Gadis mungil kesayangan Titi itu tak lama tertidur pulas. Tampaknya, ia lelah dengan aktivitas di sekolahnya hari ini. Begitu lima menit setelah Sifa terlelap, Ryan pun langsung bertanya lagi. "Dia anakku, kan?" tanya Ryan. Titi langsung menggeleng, "Bukan, Bos. Dia bukan anakmu.""... tanpa saya ngomong kayak gini juga, saya sudah yakin kalau Nak Ryan memang sosok yang cocok untuk Titi. Apalagi kalian pernah bersama dan akan sangat mudah untuk mengerti satu sama lain." Ryan tersenyum lebar dan merasa malu. "Terima kasih, Pak," ujarnya. "Ya, ngomong-ngomong nanti kita akan berkunjung ke tempat Pak RT untuk izin tinggal. Karena kamu nggak mungkin kan cuma lamaran langsung pulang?" "Sepertinya saya akan langsung pulang Pak karena mengurus beberapa pekerjaan, tapi setelahnya saya akan kembali ke sini, sekaligus menikahi Titi." "Mungkin Titi yang akan tinggal di sini selama sebulan." "Oke... kita berkunjung ke tempat Pak RT untuk membicarakan soal rencana lamaran juga, rencananya yang sederhana kan?" tanya Adi. "Ya seperti pada umumnya, Pak. Tapi karena waktunya singkat mungkin saya bisa di sini seminggu saja. Apakah nggak papa, Pak?" "Kalau kamu bisanya cuma seminggu, ya coba bapak cari yang cepet." "Terima kasih, Pak." "Sama-sama," ujar Adi.
"Itu artinya saya belum berusaha dengan baik demi keluarga kami," jawab Ryan tegas. Adi terkekeh mendengarnya, lalu menyeruput kopinya dan menatap hamparan sawah dengan tatapan kosong. "Tidak seperti pemuda sekarang yang terus menyalahkan istrinya atas kegagalan pernikahan mereka?" "Maksudnya?" "Dalam pernikahan kalau dalam Islam, suami adalah Qawwam yang berarti pemimpin, pembimbing, penyangga (tiang), dan pelindung. Ada makna lain tapi ini yang akan Bapak jelaskan ke kamu," ujar Adi. Ryan pun mengangguk dengan sorot mata antusias. Sebagai member baru dalam Islam, ia berusaha mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang agama di dalamnya. Meski ia sudah lama mempelajarinya, ternyata ia tetap belum mencapai pengetahuan mendalam, otu wajar tapi ia jadi mengerti. Dulu sebagai pihak eksternal, ia mungkin melihatnya dari luar, sekarang ia sudah menjadi internalnya yang seolah bisa menyelam ke dalamnya. Ada terlalu banyak informasi yang belum ia serap, dan ia bersyukur kare
"Nanti Bapak sendiri ajalah yang tanya," ujar Adi akhirnya pergi. Titi, Marni, dan Melati merasa lega karena Adi sudah pergi. Keberadaannya sangat menegangkan, sosok yang lembut tapi, juga tegas secara bersamaan Sebenarnya, baik Titi ataupun Melati, keduanya sama-sama sudah mendapatkan role model suami perbaiki dari Ayahnya. Namun Melati ternyata salah langkah, dan ceroboh dalam membawa diri, sehingga harus mengalami semua itu. Sementara Titi, ia hampir berniat tidak akan menikah tapi, akhirnya takdir mempertemukannya dengan Ryan yang justru malah mengejarnya, ketika ia tidak menginginkan seorang pria ada di sisinya. Adi menemui Ryan yang sedang menggendong Sifa yang tertidur di belakang rumah. Belakang rumah itu langsung berhadapan dengan sawah, tapi bukan milik Adi, tapi milik orang lain. Sawah milik mereka tempatnya jauh dan yang pasti, mereka menggunakannya dengan baik. "Suudah tidur?" tanya Adi pada Ryan. Ryan yang tadi menepuk-nepuk punggung Sifa dengan hal
"Jadi anak ini, anak kandungmu?" tanya Adi dengan raut kaget. Sifa sendiri yang ditatap begitu langsung takut dan memeluk Titi. "Pak, jangan kayak gitu ah... Sifa jadi takut," ujar Titi. Adi pun langsung mengangguk, sementara itu Ryan mendekati Sifa dan mengajaknya keluar, agar keluarga itu bisa bicara dengan leluasa tanpa menakut-nakuti anak kecil tidak bersalah itu.Kl"Kenapa ini bisa terjadi?" tanya Adi.Hal itu membuat ruangan yang minimalis itu, menjadi sunyi.Bangunan rumah itu seperti bangunan di desa pada umumnya luas tetapi, ditinggali oleh orang yang tidak kaya.Artinya mereka mungkin punya tanah di mana-mana dan rumah yang luas tapi, bukan berarti mereka memiliki uang banyak, sehingga mereka hanya bertahan hidup dari hasil panen mereka sendiri.Meskipun mungkin orang-orang Desa ini lebih Seattle karena mereka ada di posisi di mana--jika mereka kehabisan beras mereka bisa memiliki hasil panen. Tidak seperti orang kota, mereka benar-benar harus membeli semua bahan makana
Di sepanjang perjalanan, Ryan duduk di jok depan di samping sopir. Sementara Titi, Melati dan Sifa di jok tengah. Jok belakang untuk membawa barang-barang yang akan jadi bahan lamaran untuk Titi, dan di atas mobil ada barang bawaan mereka semua. "Ma, kita mau ketemu Kakek dan Nenek?" tanya Sifa semangat. Ia memeluk boneka beruangnya dengan alami, karena itu boneka kesukaannya bahkan saat tidur ia membawanya. "Iya, Sayang. Pasti kamu gak sabar kan, kan?" tanya Titi sambil menggoda. "Iya, Ma! Akhirnya aku bisa cerita sama temen-temen baru aku tentang kampung halaman, soalnya sebelumnya aku diejek karena gak punya cerita," ujar Sifa. Hal itu langsung membuat Melati dan Titi tertohok, keadaan mereka yang tidak memungkinkan membuat Sifa terlantar. Melihat situasinya yang tegang, Ryan pun mengajak Sifa untuk mengobrol hal dan membuat suasana kembali seperti semula.Ia tahu kalau perbincangan itu sangat sensitif bagi Melati dan Titi, jadi ia mencoba untuk menengahi.Tiba jam 22.
"Cie Mama dilamar Papi, cie...." ujar Sifa dengan antusias.Titi pun terkejut dengan hal itu, "Sayang, kok kamu tahu sih?"Itu karena ia tidak pernah mengajari Sifa seperti itu."Aku pernah lihat temen aku bilang kayak gitu."Titi benar-benar tidak fokus pada Ryan yang sedang menunggu jawabannya, ia malah fokus pada Sifa.Sifa sudah mengerti arti dari Will you marry me, meskipun bahasa inggris Sifa bagus, tapi itu perkataan yang biasanya tidak dijadikan sample untuk pengajaran anak-anak."Ih.. kamu anak kecil harusnya nggak usah tahu.$Ryan terkekeh, "Hehe... ggak papa dong Sayang, dia harus tahu."Titi menghela napas, ia khawatir anak sekecil Sifa terpapar konten bucin sejak dini."Gimana, mau kan nikah sama aku?" tanya Ryan lagi memancing.Titi mulai kesal, "Ryan, kamu suka banget ngelakuin hal-hal yang enggak berguna ya? Lagian aku kan udah bilang kalau aku nggak punya pilihan. Ya udah berarti kita nikah," balas Titi sewot."Tuh dengar kan Sifa? Kamu bisa panggil Papa setelah Papi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments