Motor yang dipakai Sendanu mengantar Nana tiba-tiba berhenti di jalan yang cukup ramai. Beruntungnya dia mengemudi di pinggir, jadi bisa terhindar dari kendaraan yang lain.
“Kenapa Nu?”
Sendanu mengecek spidometernya dan ternyata motornya kehabisan bahan bakar. Gengsi bukan main, apalagi ada Nana. Padahal tadi pagi Sendanu sudah menyuruh salah seorang petugas di rumahnya untuk mengisikan bensin. Awas saja nanti, akan Sendanu beri pelajaran karena membuatnya malu di depan Nana.
“Lo diem aja di situ.” Sendanu menurunkan standar motor lalu turun dengan Nana tetap berada di atas motor. Kalau Nana turun dan ikut berjalan, nanti semakin rumit, jadi Sendanu biarkan saja dia di atas motor. Sendanu menghilangkan gengsi sejenak.
“Lho kok kamu turun aku tetep di atas motor Nu? Aku mau turun juga. Kasihan kamu dorong sendiri.”
“Kalau lo turun juga, makin repot yang ada. Paling bener juga lo di atas motor aja.”
Suara mobil menandakan bahwa Mahesa telah sampai di rumah. Sedari tadi sudah ada yang menunggu Mahesa di ruang tamu, yaitu Sendanu. Tentang apa yang Sendanu janjikan kepada Nana mengenai donatur baru di panti itu bukan main-main. Sendanu memang akan meminta Mahesa menjadi donatur panti. Tentunya itu tak gratis, Sendanu tahu betul papanya seperti apa. Saat Mahesa mengetahui Sendanu ada di ruang tamu, saat itu juga Mahesa tahu ada yang ingin Sendanu minta darinya. Karena tak mungkin Sendanu dengan senang hati menunggunya. Memanggil Sendanu untuk datang dengan sukarela sangatlah susah. “Pa, ada yang mau aku bicarakan.” “Kita bicara di ruang kerja Papa.” 
Danang datang lagi ke panti untuk meluruskan semua kejadian tempo itu. Dia sudah bersiap dengan segala macam pengusiran dari orang panti, terutama Nana. Di hari minggu seperti ini seharusnya Nana ada di panti. Jadi ini waktu yang tepat menurut Danang. Sengaja ia datang pagi-pagi sekali. Selain menghindari hansip yang masih tertidur di pos jaga, Danang juga tak ingin memancing perhatian warga sekitar. Bisa saja hal itu terjadi bukan? Saat gerbang panti dibuka, itulah kesempatan Danang untuk masuk. Terlihat bunda sangat kaget dengan kehadiran Danang. “Bun, kasih saya kesempatan untuk menjelaskan.” “Kamu masih nggak kapok Nang ke sini lagi?” 
“Bun, Nana berangkat dulu ya.”“Hati-hati Na!” teriak bunda dari dapur. Sudah telat sekali Nana di kelas pagi hari ini. Namun beruntungnya Monic mengabari kalau dosen baru akan datang tiga puluh menit lagi. Waktu yang cukup untuk melewati kemacetan Jakarta untuk sampai ke kampus. Bus yang biasa ditumpangi Nana belum sampai karena memang tadi sudah terlewat sepuluh menit. Bus datang lagi lima menit kemudian. Untuk memastikan dosen belum datang, Nana menelepon Monic lagi. Dan memang benar belum ada dosen di kelas. Nana menarik napas lega. Setidaknya dia masih bisa mengikuti kuliah. Tak lama kemudian bus yang ditunggu datang juga. Biasanya saat Nana masuk dia akan
Kelas pertama selesai dan ada sekitar dua jam untuk kelas kedua. Tak tersisa waktu cukup banyak untuk Nana kembali ke panti. Ia ikut saja saat Sendanu mengajak ke kantin untuk mengisi perut. Sendanu menaruh tangannya di pundak Nana sehingga mengundang banyak perhatian. Di belakang mereka, ada Monic yang hanya bisa menjadi nyamuk. Sendanu telah mengklaim bahwa Nana, sekarang menjadi miliknya. Itu berarti jika sesuatu sudah menjadi milik Sendanu, tak ada orang lain yang bisa menyentuhnya. Orang yang berani mengusik milik Sendanu hanya punya dua pilihan, menjauh dengan sendirinya atau Sendanu beri pelajaran. Nana juga sebenarnya merasa canggung karena ini pertama kalinya Sendanu sangat dekat dengan dirinya. Sebelum jadian, Sendanu sangat anti terhadap Nana. Bahkan bis
“Ini buat ngobatin luka lo.” Monic menyerahkan sepaket alkohol dan kapas juga obat merah ke depan Danang. Selepas Sendanu membawa Nana pergi, Monic langsung mengejar Danang. Ternyata Danang pergi ke danau bukannya mengobati luka yang ia dapat. Monic heran, pengaruh Nana bergitu besarnya untuk Danang. Seharusnya Danang yang marah ke Sendanu, tapi dia tak melakukan itu dan memilih sendiri di danau kampus yang sepi. “Makasih Mon.” Danang menoleh dan tersenyum. Ia mengambil obat dari Monic tapi tak langsung menggunakannya, melainkan diletakkan di kursi. Monic menghela napasnya dan mengambil obat itu lalu duduk. “Luka nggak akan sembuh sendiri tanpa lo berusaha untuk mengobati Nang.” Ia mulai mengeluarkan kapas dan memberinya alkohol.
Rumah tampak sepi ketika Sendanu datang untuk mengunjungi sang mama. Nihil tanda-tanda keberadaan Mahesa. Hanya ada sang adik, Riris yang sedang mengerjakan tugas di ruang keluarga. Karena tak ingin mengganggu Risis jadi Sendanu langsung menuju lantai dua, tepatnya kamar sang mama. Sudah satu minggu ini Sendanu tak pulang ke rumah. Ia menunggu saat yang tepat di mana Mahesa juga tak ada di rumah, barulah dia akan pulang. Hari ini waktu yang tepat karena Mahesa akan pulang larut sesuai jadwal yang Sendanu dapatkan dari sekretaris perusahaan.Pintu kamar sedikit terbuka saat Sendanu masuk. Ternyata ada seorang suster yang sedang mengantarkan makanan dan beberapa obat. Sendanu baru tau jika Mahesa menyewa suster untuk merawat mamanya.“Bu Sekar, saya permisi dulu ya. Tolong makanannya dimakan, obatnya diminum juga ya. Ada Sendanu di sini, saya permisi.”Suster itu berpapasan denga
Sudah basah, sekalian menyelam. Begitulah yang kira-kira menggambarkan Sendanu saat ini. Sendanu berusaha menyimpan sendiri masalah keluarganya tetapi ia harus keluar dari jeratan Mahesa secepatnya. Mustahil jika itu dilakukan sendiri. Alhasil Sendanu meminta bantuan Rizki, Reza, Dendi, Noval dan Nana. Sendanu meminta bantuan Rizki yang keluarganya punya butik untuk mendandani Nana dan juga membawa Nana ke hotel tempat makan malam dilangsungkan. Meskipun Sendanu sedikit tak suka saat Rizki dekat dengan Nana, ia tetap harus melakukan itu untuk menuntaskan rencana yang telah ia pikirkan. Saat Mahesa dan Sendanu menuju tempat makan malam dilangsungkan, Reza, Dendi dan Noval membantu Riris dan Sekar berkemas dan pindah ke apartemen. Tanpa mereka, Sendanu mungkin masih harus tunduk dengan Mahesa dan tak bisa melakukan apa-apa untuk menolong mama dan adiknya.&n
Kuliah selama satu semester sudah dijalani dengan baik oleh para mahasiswa Seni. Waktunya mereka berlibur sejenak untuk menyegarkan pikiran sebelum masuk ke semester yang baru lagi. Salah satu kelas di mata kuliah Nana sepakat untuk mengawali liburan mereka dengan berlibur ke Puncak, Bogor. Dibentuk beberapa panitia untuk mengurus transportasi, konsumsi, acara dan dokumentasi. Untuk dana yang digunakan mereka sudah punya Danang sebagai penyumbangnya. Ada juga Monic, Sendanu, Nana yang tergabung dalam kelas itu. Di mata kuliah inilah mereka dipertemukan saat di kelas. Selain itu mereka hanya sesekali bertemu di luar atau di kelas yang lain. Awalnya Nana menolak untuk ikut dikarenakan ia takut untuk meminta izin ke bunda. Namun Sendanu sudah berkompromi dengan Monic agar mau membujuk bunda supaya mengizinkan Nana. Alhasil setelah negosia