Risna akhirnya mendapat pekerjaan lagi setelah setengah tahun menganggur. Tapi, pekerjaannya ini cukup unik: jadi pengasuh kucing! Bukan cuma harus memberi makan, mengajak bermain, dan rutin membawa 14 ekor kucing majikannya ke dokter hewan, Risna juga harus berhadapan dengan perasaannya kepada Deska, anak majikannya yang diam-diam dia taksir. Misteri masa lalu Deska membuat hubungan mereka sempat renggang. Bisakah Risna memperbaiki keadaan, menyatakan perasaannya pada Deska, sambil mengingat-ingat kucing mana yang dapat giliran vaksin bulan ini?
view more“Meet kita mulai lima menit lagi, ya.”
Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting.
Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah.
Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC.
Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok.
Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang.
HP-ku bergetar. Ada pesan masuk. Dari Mbak Karen.
Mbak Karen : Mbak, deg-degan nggak.
Risna : Pake nanya.
Mbak Karen : Asli aku takut. Bau2 nggak diperpanjang nih.
Risna : Biasanya kalo kamu takut, malah nggak ada apa-apa sih Mbak.
Mbak Karen : Tapi beneran deh, ini aja namanya sosialisasi end of contract kan, bukan pengumuman perpanjangan kontrak.
Aku meringis membaca chat Mbak Karen. Saat sedang mengetik balasan, tiba-tiba terdengar suara dari ruang zoom meeting. Pihak HC sudah memulai sosialisasi. Aku langsung duduk tegak dan fokus ke layar laptop.
“Selamat siang, teman-teman semua. Terima kasih sudah menyempatkan waktunya siang ini untuk mengikuti sosialisasi.”
Tidak mungkin ada yang melewatkan meet ini, sih. Nasib kami ditentukan di sini.
“Sebelumnya, kami dari pihak Human Capital juga ingin mengucapkan terima kasih atas kinerja teman-teman selama ini.”
Please, diperpanjang. Please, diperpanjang. Please, diperpanjang.
“Akan tetapi, ini adalah keputusan yang berat untuk disampaikan ….”
Jantungku mencelus.
“Pihak client memutuskan untuk tidak meneruskan kerjasama dengan teman-teman semua, sehingga project tidak bisa dilanjutkan. Kemudian, untuk kompensasi yang akan teman-teman dapatkan ….”
Kalimat selanjutnya tidak bisa aku dengar. Pikiranku mendadak kosong. HP-ku di sebelah laptop kembali bergetar. Kali ini getarannya terdengar berkali-kali, menandakan ada lebih dari satu pesan masuk.
Untuk kesekian kalinya hari itu, aku menghela napas berat sembari menutup mata. Ini tahun ketigaku bekerja di perusahaan outsourcing asal Jogja ini. Aku kebagian project menangani administrasi marketplace yang kantor utamanya ada di Jakarta. Sehari-harinya aku bekerja secara remote dengan tim di Jakarta dan rekan satu divisi di Jogja.
Bisa dibilang, aku termasuk beruntung karena sistem kerjanya WFH dan hanya wajib ke kantor di Jogja setahun sekali untuk menandatangani dokumen perpanjangan kontrak. Semua pekerjaan dilakukan secara online dari rumah. Pekerjaan ini membuatku bisa menikmati slow mornings karena tidak diharuskan on cam tiap waktu. Tidak akan ada yang protes juga kalau aku bekerja dalam kondisi awut-awutan atau belum mandi. Ini benar-benar pekerjaan impian buatku yang introvert.
Apalagi, bekerja dari rumah membuatku tidak perlu terlibat drama-drama kantor seperti di tempat kerjaku dulu. Karena tidak pernah bertemu langsung, kami bisa meminimalisir konflik. Hubungan dengan teman-teman kantor benar-benar hanya sebatas rekan kerja profesional.
Teman kerjaku yang paling dekat di sini adalah Mbak Karen. Kebetulan, kami ditempatkan di divisi yang sama. Umurnya sebenarnya lebih muda dariku. Tapi sejak awal, kami saling memanggil dengan sapaan Mbak. Aku duluan sih yang mulai, karena terbawa kebiasaan di kantor lama.
Tanganku memijit-mijit kepala sembari mendengarkan penjelasan seputar pencairan BPJS, gaji terakhir dan uang kompensasi kontrak. Gaji di sini memang tidak bisa dibilang sangat besar, tapi berhubung aku bekerja dari rumah dan tidak perlu mengeluarkan uang sewa kost, aku bisa menabung dalam jumlah lumayan selama tiga tahun belakangan.
Bahkan, aku sudah merencanakan akan membeli treadmill tahun depan supaya bisa rutin berolahraga. Bekerja dari rumah membuatku seakan terjebak di dalam kamar dan kurang aktif bergerak.
Sekarang, punya treadmill sepertinya hanya tinggal impian. Mulai bulan depan, aku tidak akan gajian lagi. Tidak akan ada agenda penandatanganan perpanjangan kontrak lagi. Kepalaku rasanya semakin pusing setelah menyadari fakta tersebut.
Aku mengalihkan perhatian dari layar laptop ke arah HP. Beberapa pesan masuk dari Mbak Karen.
Mbak Karen : Tuh kan bener, nggak diperpanjang.
Mbak Karen : Ah, padahal bentar lagi Ramadhan dan Lebaran.
Mbak Karen : Yakin deh, tim Jakarta masih butuh kita. Kenapa tiba-tiba cut begini sih?
Kulirik kalender di bagian pojok layar laptop. 20 Desember 2024. Sebentar lagi tahun baru dan bulan Ramadhan akan jatuh di awal Maret.
Aku bersandar pasrah ke kursi. Tahun depan umurku genap 32 tahun, dan aku akan menyambut tahun baru dengan status baru juga: pengangguran.
Kebanyakan orang-orang seumuranku sudah jadi manajer di kantornya, tapi ternyata jalan nasibku sedikit berbeda. Karirku stuck di level staf, mulai dari pekerja lepas di beberapa media, perusahaan start-up yang akhirnya bangkrut saat pandemi sampai sekarang di kantor outsourcing.
Siapa bilang gonta-ganti pekerjaan akan memudahkan naik gaji? Jumlah take home pay-ku juga mentok di satu digit. Satu digit itupun lebih mendekati angka 4 daripada 9. Bukannya aku tidak upgrade skill, tapi setiap kali aku sudah berusaha bekerja semaksimal mungkin di kantor dengan harapan bisa menaikkan jenjang karir, pemutusan hubungan kerja mendadak hampir selalu terjadi.
Sekarang, aku harus memulai semuanya dari awal lagi untuk kesekian kali. Memperbarui CV, memasukkan lamaran pekerjaan, dan bersaing dengan lulusan baru yang juga sama-sama butuh sumber pendapatan.
Duh, Gusti … bisa tidak ya dapat kerjaan baru di umur segini?
“Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”“Oh oke, baik Kak.”Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”“Terima kasih, Bu.”“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kala
Malamnya, kedua kakakku menelepon.Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”“Iya, Mbak.”“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”“Aku cek di Google Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”“Sama kayak ART, dong?”“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”“Mbak kok curiga, ya.”“Nanti ak
Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor
Enam bulan kemudian. Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu! “ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan. “Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan. “Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya. Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya. Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seo
“Meet kita mulai lima menit lagi, ya.” Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting. Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah. Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC. Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok. Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments