Kantin rumah sakit yang tadi penuh teriakan dan kecemasan, kini mendadak senyap. Bahkan suara napas mereka saja tak terdengar.Galtero menatap dingin pada Alonso. Begitupun Nicolas di sisi lainnya. Dua pria itu membuka mulut.“Katakan sekali lagi.” Kompak keduanya.Alonso mendekati Sofia yang terduduk lunglai di lantai. Kelopak mata wanita itu mengedip kecil dan tangannya terkepal di atas paha.“Nyonya Sofia, putri bungsu mendiang Tuan Maverick Marquez.” Alonso menggeser sorot matanya pada Nicolas yang makin melotot. “Ya, dia adik kandung Anda, Tuan Muda.”Nicolas membanting kursi di depannya hingga patah jadi dua. Pria itu melangkah maju, mendekati Alonso. Bersiap melayangkan pukulan.“Persetan denganmu, Alonso. Keluarga Marquez hanya punya satu putri!” bentak Nicolas, tak peduli lagi suaranya didengar semua orang.Tak tinggal diam, sigap Galtero maju. Menerjang tubuh Nicolas yang dipenuhi bara amarah. Tanpa ampun, menyeret rivalnya itu keluar dari kantin.Sementara Sofia menggeleng
Setengah jam sebelumnya. Nicolas menatap tajam pada layar. Senyum sinis terukir pada bibirnya setiap kali melihat Isabel menabrakkan badannya pada pintu besi. “Bodoh,” desisnya. Ia menikmati setiap penderitaan wanita itu. “Kamu tidak akan bisa bebas, Isabel.” Ia menekan interkom. Memerintah asistennya masuk ke ruang kerja. “Cari tahu di mana Carlitos tinggal. Akan kubawa pulang anak haram itu.” Rahang Nicolas mengeras. Sedangkan asistennya itu memegangi perut sambil mengangguk pelan. “Belum menggugurkannya, hm?” Nicolas bangkit dan mencengkeram rahang wanita itu. “Gugurkan atau kubuat kamu menyesal seumur hidup.” “Tuan … biarkan anak ini hidup. Aku mohon.” “Kamu pikir siapa wanita yang berhak mengandung anakku? Bukan perempuan kotor sepertimu!” hardik Nicolas, ia bersiap mengayun kakinya. Namun, sebelum itu pintu terbuka dan mengurungkan niatnya untuk menendang asistennya. Mata biru Nicolas beralih ke arah pintu. “Katakan! Aku tidak punya banyak waktu!” Nicolas men
“Sofia!” panggil Galtero. Matanya membelalak, kala melihat istrinya sesenggukan di atas karpet. Di sampingnya Livy menggenggam tangan Sofia. Kamar ini cukup ramai. Wajah semua orang memucat. Ia melangkah lebar. Lalu merengkuh tubuh wanitanya. Tak peduli di kamar itu banyak orang. “Ada apa, Mi Amor? Badanmu sakit, hm? Di mana?” berondongnya. Sofia menggeleng pelan. “Bukan aku, tapi Mama. Tolong, Mama, Gal.” Meskipun telah dipeluk erat oleh Galtero, tubuhnya berguncang cukup hebat. Saraf-saraf Galtero yang sempat menegang, seketika meregang. Napasnya yang kasar mulai teratur. Di tengah kecemasan sang istri, ia justru bersyukur wanitanya baik-baik. “Kami sudah menghubungi ambulan, Tuan,” terang kepala pelayan. “Terima kasih.” Galtero tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Sofia. “Kita doakan yang terbaik untuk mamamu. Ssst jangan menangis.” Suara lembut Galtero mencoba menenangkan. Mata birunya menatap sesaat pada Renata, terbaring lemah seolah tak berjiwa. Dokter da
Renata menggeleng lemah. Kepalanya menunduk dalam. Bulir bening mulai berjatuhan ke atas piama hijau mudanya. Bahunya pun bergetar kecil.Spontan Galtero menyodorkan sapu tangan. Ia tidak mengeluarkan suara apa pun. Hanya saja matanya menajam, melihat betapa terlukanya wanita itu.Barulah setelah beberapa saat, Renata mengangkat pandangan. Dengan mata bergelimang air mata ia menatap Galtero.“Ja–ga Sofi–a, Tu–an.” Suara Renata bergetar. “Dia har–taku satu-satu–nya.”“Tugasku sebagai suami memang menjaganya. Nyonya tidak perlu cemas.” Galtero memang tak akan rela, Sofia-nya disentuh seujung kuku pun oleh orang lain, apalagi pria. “Terima ka–sih, sudah be–bas–kan dia da–ri Ramiro. Aku berhu–tang pa–damu, Tuan.” Air mata Renata mengalir deras, suaranya mulai serak.“Nyonya—”“Jangan ka–ta–kan apa pun pa–da Sofia.” Tatapan Renata penuh permohonan, dan bibir Galtero seakan tak sanggup menolaknya.“Tidak. Tapi apa hubungannya dengan Tuan Marquez?” Nada bicara Galtero agak hati-hati. Ia tak
“Kenapa Mama mau pulang? Kalau Mama tidak nyaman di sini, tabunganmu masih cukup untuk sewa apartemen.” Sofia menatap lekat pada Renata.Sejak tadi dia sengaja menunggu momen berdua bersama mamanya. Di sinilah mereka, dalam kamar tamu. Nyaman dan hangat. Kontras dengan suasana hatinya.“Bu–kan.” Renata tersenyum kecil. Jemari kakinya terangkat, berusaha mengelus pipi putrinya.“Kenapa? Aku ingin kita tinggal bersama. Papa tidak ada di sini, Ma,” Rajuk Sofia. Matanya berlinang. Dia tak tahu lagi bagaimana cara membujuk Renata. Haruskah ia menjual nama Galtero? Ah, yang benar saja.“Kamu … su–dah menikah.” Renata terpejam sesaat. “Aku tid–ak mau gang–gu.” Cairan bening menetes dari sudut mata. “Baha–gi–a anakku.”Tubuh Sofia bergetar. Ia menunduk dalam, karena impiannya untuk tinggal satu rumah dengan sang mama pupus sudah.“Mama ….” Sofia menghambur, memeluk Renata. “Tapi, malam ini aku mau tidur di sini,” lirihnya.Alih-alih menolak, Renata justru terkekeh sampai terbatuk-batuk. Gega
“Mi Amor, bangun.” Sapuan lembut jemari Galtero yang panas menyentuh sepanjang kulit lengan Sofia.“Hng.” Tubuh Sofia menggeliat kecil. Kantuk dan lelah melebur jadi satu. Matanya terlalu berat untuk terbuka, seperti ada lemnnya. Namun, darahnya berdesir.Sial. Tubuhnya ini benar-benar haus akan belaian. Padahal Galtero sudah memuaskannya tadi. Apa dia menjadi wanita murahan? Sofia menggeleng kecil, mengempas rasa kurang ajar itu. “Aku mau tidur lagi,” lirihnya.“Kamu harus mandi.” Bibir sensual pria itu mencium daun telinga wanitanya. Gemas karena tak juga membuka mata, Galtero mengigit pelan. Sontak Sofia terbelalak dan mendorong kepala prianya.“Apa yang kamu lakukan?” Sofia mengusap telinganya yang basah.“Melakukan yang seharusnya. Terbukti berhasil.” Seringai di bibir Galtero tampak menyebalkan. Dia merangkak maju, membuat Sofia menggeser perlahan tubuhnya ke samping.Sekalipun mau lagi dan lagi mendapat kehangatan, Sofia tahu saat ini tubuhnya bukan hanya milik sendiri. Ada j