Share

Bab 5. Trauma

Bab 5.

Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.

“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.

“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.

“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku.

Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.

Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.

“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bicara dengan Mas Arga sebentar.” Dia menyuruhku mendekat dan meminta orang tuanya keluar.

Mama dan Bapak Erika mengangguk dan pergi ke luar ruangan serta menutup rapat pintunya.

“Jadi, apa yang akan kamu jelaskan padaku sekarang?” tegasku dengan suara dingin.

“Sayang ... itu bukan apa-apa kok. Tadi ... aku hanya menghibur diri sendiri. Mas tahu ‘kan, selama menjadi istrimu aku hanya mendapatkan jatah bersamamu sebentar. Aku frustasi, Mas. Tiap malam kesepian. Apalagi aku kecewa saat Mas Arga pergi begitu saja ketika baru memulai percintaan kita. Mas baru aja sampai harus kembali ke Jakarta gara-gara Mbak Arum yang hilang. Sampai-sampai aku minum obat penenang terus keguguran. Aku enggak tahu saat itu sedang hamil, Mas.”

Suara Erika terdengar bergetar dan mulai terisak,” Mungkin memang lebih baik ... aku tak hamil. Palingan juga anak kita akan kesepian jauh dari Papanya seperti keadaanku sekarang ini.”

Aku yang sejak tadi emosi seketika itu pula langsung mereda. Sejenak berpikir, apa yang dikatakan Erika benar juga. Membuatku merasa bersalah karena selama ini tak adil kepadanya.

Kupeluk erat tubuhnya yang berguncang karena menangis,” Maafkan aku, Sayang. Ini semua salah, Mas. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah Arum ditemukan dan kembali ke rumah. Kamu akan Mas ajak ke Jakarta dan memberitahu hubungan kita padanya. Untuk masalah anak. Meskipun Mas tahu kamu sedih, kita bisa membuatnya lagi nanti. Mungkin Tuhan menyuruh kita untuk lebih lama pacarannya, bukan?” ucapku sambil menggodanya. Kuangkat dagu istri mudaku itu sambil memandang wajahnya cukup lama.

Dia tersenyum dengan muka memerah. Kemudian menenggelamkan kembali kepalanya di dadaku. Aku memang sedih kehilangan calon bayiku, tetapi tak ingin menunjukkan kekecewaan ini padanya. Itu bisa membuat Erika tertekan dan merasa bersalah.

Membuat istri senang itu memang sudah seharusnya, bukan? Bagaimana pun ini semua tak lepas dari kesalahanku juga. Aku belum bisa berbuat adil.

“Terus Mas besok tetap ke Jakarta?” tanyanya sambil melerai pelukan di tubuhku. Kami saling memandang cukup lama. Kubelai pipinya dengan lembut sambil mencium pucuk hidungnya.

“Iya, Sayang. Besok Mas mau ke Jakarta lagi. Kamu kan tahu, izin libur Mas enggak lama. Apalagi Arum belum juga ditemukan.”

“Lagi-lagi karena Mbak Arum.” Dia cemberut membuatku gemas melihatnya.

Tak sabar kusergap bibirnya yang terlihat menggoda di mataku. Dia membalasnya membuat kami saling bertukar napas cukup lama. Kalau saja bukan karena dia baru keguguran, sudah kubawa dia ke peraduan kami. Untungnya otak ini masih waras dan ingat kalau kami masih di Rumah Sakit. Lagi pula dia dalam masa pemulihan.

“Kamu sabar, ya, Sayang. Nanti Mas akan luangkan waktu untuk menemuimu. Kamu harus sembuh dan pulih dulu. Nanti kita ketemu lagi. Kalau perlu kita liburan ke mana saja yang kamu mau,” rayuku agar dia tak merajuk dan merasa senang ketika kutinggalkan pulang nanti.

“Beneran? Aku mau liburan ke Bali, Mas,” ujarnya dengan wajah berbinar.

Aku mengangguk menyanggupi keinginannya.

“Apa pun untuk membuatmu senang.”

“Aku mencintaimu, Mas.”

“Aku juga.” Dia memelukku erat sambil tersenyum senang. Untuk sesaat aku melupakan hilangnya istri pertamaku, Arum. Jika sudah bersama Erika diri ini memang selalu hilang kendali. Tak sadar waktu atau pun masalah lain.

Seketika teringat akan Mang Mansur yang sedang menungguku di tempat parkir.

Aku pamit kepada Erika dengan alasan akan mencari makan. Kebetulan memang dari siang perutku belum terisi apa pun, sekalian menemui Mang Mansur.

Tak lupa kutelepon ibnu untuk membuat janji agar kami bisa membuat janji untuk bertemu. Membahas tentang hilangnya Arum. Sungguh tak sabar untuk segera bertemu lagi dengan istriku itu.

Kutemui Mang Mansur yang kulihat sedang tertidur di dalam mobil. Mungkin merasa jenuh akibat terlalu lama menunggu. Dia terkejut saat Kuketuk kaca mobil dari luar. Gegas aku membuka kunci pintu mobil belakang lalu masuk ke dalamnya.

“Maaf, Den. Mamang ketiduran.”

“Enggak apa-apa, Mang. Nanti saya mau menginap di Rumah Sakit. Kemungkinan pulang besok. Jadi Mang Mansur cari tempat menginap di sekitar sini. Bisa cari hotel atau apa,” ucapku menjelaskan.

“Lho, memangnya siapa yang sakit, Den? Sampai-sampai Den Arga menginap segala?” tanyanya terlihat terkejut sekaligus heran dengan ucapanku barusan.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, bingung juga harus mengatakan apa padanya. Bagaimanapun Mang Mansur ini tak tahu aku sudah menikah lagi. Yang dia tahu aku suami yang baik dan setia pada Arum. Haruskah aku jujur padanya sekarang? Toh tak mungkin dia berani membuka rahasia ini pada siapa pun.

“Anu ... sebenarnya yang sakit itu ... istri keduaku, Mang.”

“Astagfirullah, apa maksud Den Arga? Maksudnya Den Arga punya istri dua? Jadi, Neng Arum aden khianati?” tanyanya terlihat keceplosan sebab langsung menutup mulutnya. Aku tersenyum samar memang benar yang dikatakan Mang Mansur. Sebagai suami diri ini memang sudah berkhianat pada Arum.

“Maaf, Den. Apa Neng Arum akan rela kalau tahu Den Arga memadunya? Bukankah dia sangat anti dengan pengkhianatan?” tanya sopirku dengan hati-hati. Mungkin takut aku tersinggung dengan pertanyaannya.

Aku tak menjawab semuanya, membuat Mang Mansur urung kembali berbicara. Bukan aku marah padanya atau pun tersinggung. Namun, bingung harus menjawab apa. Yang dikatakan sopirku memang benar. Arum sangat membenci pengkhianatan. Saat dia kecil ibunya ditinggalkan Ayah kandungnya demi perempuan lain. Bahkan sampai meninggal. Karena Arum hidup sebatang kara tak ada saudara, dengan terpaksa warga menitipkannya ke Panti Asuhan sampai dia beranjak dewasa.

Tiba-tiba saja aku merasa gelisah. Haruskah aku jujur pada istriku kalau aku sudah menikah kembali? Apa reaksinya mendengar itu semua? Tidak! Dia pasti mengerti. Aku bukan ayahnya yang tega meninggalkan ibunya demi wanita lain. Dia tetap prioritasku. Sampai kini tetap yang paling kucintai. Wajar saja bagi seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Apalagi mencintai dua wanita.

Lamunanku kembali buyar ketika suara ponsel terdengar berdering. Terlihat nama Ibnu di layar. Segera kuangkat siapa tahu ada informasi penting tentang Arum.

“Halo, Nu. Apa ada informasi penting tentang Arum sampai kamu meneleponku sekarang?” cecarku tak sabar.

“Sabar dulu, Ga. Gue sampe kaget langsung Lo tanya-tanya begitu. Bukannya tanya salam,” jawabnya sambil berusaha bercanda.

“Ah, sorry, Nu. Gue memang enggak sabar banget pengen cepet-cepet menemukan Arum. Gue khawatir sama dia.”

“Iya, Gue paham. Sebenarnya ada yang ingin gue sampaikan sama elo, Ga. Tadi pas Gue pulang terus ceritain masalah Arum yang hilang ke May. Dia bilang sempat ngelihat Arum keluar dari toko perhiasan dekat stasiun. Katanya dia enggak membawa tas atau apa pun. Apa mungkin kejadiannya setelah dia kecopetan. Lo kan bilang ada seorang wanita yang menyimpan dompetnya. Yang kecelakaan dari kereta itu.”

Aku terkejut dengan yang dikatakan Ibnu. Apa Arum berniat menjual perhiasannya? Untuk apa istriku melakukan itu? Lalu kenapa sampai sekarang dia tak juga pulang? Di mana kamu, Sayang?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Earlyna Linong
......... aku pum jengkel loh ama suaminya ini, gedek liatnya tpi baca comen puji aku jadi kekeh ...
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
sayang sayang pret mkan tu si erina yang monthok
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
arum sdh tahu pengkhianat arga bagus jgan ningol arum
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status