Share

Bab 5. Trauma

Author: Nuri Art
last update Last Updated: 2022-10-04 15:07:11

Bab 5.

Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.

“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.

“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.

“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku.

Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.

Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.

“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bicara dengan Mas Arga sebentar.” Dia menyuruhku mendekat dan meminta orang tuanya keluar.

Mama dan Bapak Erika mengangguk dan pergi ke luar ruangan serta menutup rapat pintunya.

“Jadi, apa yang akan kamu jelaskan padaku sekarang?” tegasku dengan suara dingin.

“Sayang ... itu bukan apa-apa kok. Tadi ... aku hanya menghibur diri sendiri. Mas tahu ‘kan, selama menjadi istrimu aku hanya mendapatkan jatah bersamamu sebentar. Aku frustasi, Mas. Tiap malam kesepian. Apalagi aku kecewa saat Mas Arga pergi begitu saja ketika baru memulai percintaan kita. Mas baru aja sampai harus kembali ke Jakarta gara-gara Mbak Arum yang hilang. Sampai-sampai aku minum obat penenang terus keguguran. Aku enggak tahu saat itu sedang hamil, Mas.”

Suara Erika terdengar bergetar dan mulai terisak,” Mungkin memang lebih baik ... aku tak hamil. Palingan juga anak kita akan kesepian jauh dari Papanya seperti keadaanku sekarang ini.”

Aku yang sejak tadi emosi seketika itu pula langsung mereda. Sejenak berpikir, apa yang dikatakan Erika benar juga. Membuatku merasa bersalah karena selama ini tak adil kepadanya.

Kupeluk erat tubuhnya yang berguncang karena menangis,” Maafkan aku, Sayang. Ini semua salah, Mas. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah Arum ditemukan dan kembali ke rumah. Kamu akan Mas ajak ke Jakarta dan memberitahu hubungan kita padanya. Untuk masalah anak. Meskipun Mas tahu kamu sedih, kita bisa membuatnya lagi nanti. Mungkin Tuhan menyuruh kita untuk lebih lama pacarannya, bukan?” ucapku sambil menggodanya. Kuangkat dagu istri mudaku itu sambil memandang wajahnya cukup lama.

Dia tersenyum dengan muka memerah. Kemudian menenggelamkan kembali kepalanya di dadaku. Aku memang sedih kehilangan calon bayiku, tetapi tak ingin menunjukkan kekecewaan ini padanya. Itu bisa membuat Erika tertekan dan merasa bersalah.

Membuat istri senang itu memang sudah seharusnya, bukan? Bagaimana pun ini semua tak lepas dari kesalahanku juga. Aku belum bisa berbuat adil.

“Terus Mas besok tetap ke Jakarta?” tanyanya sambil melerai pelukan di tubuhku. Kami saling memandang cukup lama. Kubelai pipinya dengan lembut sambil mencium pucuk hidungnya.

“Iya, Sayang. Besok Mas mau ke Jakarta lagi. Kamu kan tahu, izin libur Mas enggak lama. Apalagi Arum belum juga ditemukan.”

“Lagi-lagi karena Mbak Arum.” Dia cemberut membuatku gemas melihatnya.

Tak sabar kusergap bibirnya yang terlihat menggoda di mataku. Dia membalasnya membuat kami saling bertukar napas cukup lama. Kalau saja bukan karena dia baru keguguran, sudah kubawa dia ke peraduan kami. Untungnya otak ini masih waras dan ingat kalau kami masih di Rumah Sakit. Lagi pula dia dalam masa pemulihan.

“Kamu sabar, ya, Sayang. Nanti Mas akan luangkan waktu untuk menemuimu. Kamu harus sembuh dan pulih dulu. Nanti kita ketemu lagi. Kalau perlu kita liburan ke mana saja yang kamu mau,” rayuku agar dia tak merajuk dan merasa senang ketika kutinggalkan pulang nanti.

“Beneran? Aku mau liburan ke Bali, Mas,” ujarnya dengan wajah berbinar.

Aku mengangguk menyanggupi keinginannya.

“Apa pun untuk membuatmu senang.”

“Aku mencintaimu, Mas.”

“Aku juga.” Dia memelukku erat sambil tersenyum senang. Untuk sesaat aku melupakan hilangnya istri pertamaku, Arum. Jika sudah bersama Erika diri ini memang selalu hilang kendali. Tak sadar waktu atau pun masalah lain.

Seketika teringat akan Mang Mansur yang sedang menungguku di tempat parkir.

Aku pamit kepada Erika dengan alasan akan mencari makan. Kebetulan memang dari siang perutku belum terisi apa pun, sekalian menemui Mang Mansur.

Tak lupa kutelepon ibnu untuk membuat janji agar kami bisa membuat janji untuk bertemu. Membahas tentang hilangnya Arum. Sungguh tak sabar untuk segera bertemu lagi dengan istriku itu.

Kutemui Mang Mansur yang kulihat sedang tertidur di dalam mobil. Mungkin merasa jenuh akibat terlalu lama menunggu. Dia terkejut saat Kuketuk kaca mobil dari luar. Gegas aku membuka kunci pintu mobil belakang lalu masuk ke dalamnya.

“Maaf, Den. Mamang ketiduran.”

“Enggak apa-apa, Mang. Nanti saya mau menginap di Rumah Sakit. Kemungkinan pulang besok. Jadi Mang Mansur cari tempat menginap di sekitar sini. Bisa cari hotel atau apa,” ucapku menjelaskan.

“Lho, memangnya siapa yang sakit, Den? Sampai-sampai Den Arga menginap segala?” tanyanya terlihat terkejut sekaligus heran dengan ucapanku barusan.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, bingung juga harus mengatakan apa padanya. Bagaimanapun Mang Mansur ini tak tahu aku sudah menikah lagi. Yang dia tahu aku suami yang baik dan setia pada Arum. Haruskah aku jujur padanya sekarang? Toh tak mungkin dia berani membuka rahasia ini pada siapa pun.

“Anu ... sebenarnya yang sakit itu ... istri keduaku, Mang.”

“Astagfirullah, apa maksud Den Arga? Maksudnya Den Arga punya istri dua? Jadi, Neng Arum aden khianati?” tanyanya terlihat keceplosan sebab langsung menutup mulutnya. Aku tersenyum samar memang benar yang dikatakan Mang Mansur. Sebagai suami diri ini memang sudah berkhianat pada Arum.

“Maaf, Den. Apa Neng Arum akan rela kalau tahu Den Arga memadunya? Bukankah dia sangat anti dengan pengkhianatan?” tanya sopirku dengan hati-hati. Mungkin takut aku tersinggung dengan pertanyaannya.

Aku tak menjawab semuanya, membuat Mang Mansur urung kembali berbicara. Bukan aku marah padanya atau pun tersinggung. Namun, bingung harus menjawab apa. Yang dikatakan sopirku memang benar. Arum sangat membenci pengkhianatan. Saat dia kecil ibunya ditinggalkan Ayah kandungnya demi perempuan lain. Bahkan sampai meninggal. Karena Arum hidup sebatang kara tak ada saudara, dengan terpaksa warga menitipkannya ke Panti Asuhan sampai dia beranjak dewasa.

Tiba-tiba saja aku merasa gelisah. Haruskah aku jujur pada istriku kalau aku sudah menikah kembali? Apa reaksinya mendengar itu semua? Tidak! Dia pasti mengerti. Aku bukan ayahnya yang tega meninggalkan ibunya demi wanita lain. Dia tetap prioritasku. Sampai kini tetap yang paling kucintai. Wajar saja bagi seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Apalagi mencintai dua wanita.

Lamunanku kembali buyar ketika suara ponsel terdengar berdering. Terlihat nama Ibnu di layar. Segera kuangkat siapa tahu ada informasi penting tentang Arum.

“Halo, Nu. Apa ada informasi penting tentang Arum sampai kamu meneleponku sekarang?” cecarku tak sabar.

“Sabar dulu, Ga. Gue sampe kaget langsung Lo tanya-tanya begitu. Bukannya tanya salam,” jawabnya sambil berusaha bercanda.

“Ah, sorry, Nu. Gue memang enggak sabar banget pengen cepet-cepet menemukan Arum. Gue khawatir sama dia.”

“Iya, Gue paham. Sebenarnya ada yang ingin gue sampaikan sama elo, Ga. Tadi pas Gue pulang terus ceritain masalah Arum yang hilang ke May. Dia bilang sempat ngelihat Arum keluar dari toko perhiasan dekat stasiun. Katanya dia enggak membawa tas atau apa pun. Apa mungkin kejadiannya setelah dia kecopetan. Lo kan bilang ada seorang wanita yang menyimpan dompetnya. Yang kecelakaan dari kereta itu.”

Aku terkejut dengan yang dikatakan Ibnu. Apa Arum berniat menjual perhiasannya? Untuk apa istriku melakukan itu? Lalu kenapa sampai sekarang dia tak juga pulang? Di mana kamu, Sayang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
mayank adrian
pengkhianat ternyata di khianati istri mudanya,yg suka umbar apemnya kemana mana,yg di keguguran itu bukan ankmu arga!
goodnovel comment avatar
Earlyna Linong
......... aku pum jengkel loh ama suaminya ini, gedek liatnya tpi baca comen puji aku jadi kekeh ...
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
sayang sayang pret mkan tu si erina yang monthok
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 143

    Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 142

    ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 141

    ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 140

    ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 139

    Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 138

    Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 137

    Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 136

    Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 135

    “Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status