Hidup Ilona hancur saat menerima kenyataan bahwa anak yang dilahirkan ternyata tidak bisa diselamatkan. Parahnya, sang suami justru menceraikanya saat tengah berduka. Kala Ilona hampir menyerah, tangisan seorang bayi yang membutuhkan ASI menyadarkan Ilona. Ia pun bersedia dijadikan Ibu Susu untuk sang bayi, sampai ia menemukan bahwa ... ayah si bayi adalah Egar, seorang presdir tampan dan mantan kekasih Ilona yang telah mencampakkannya, hanya karena sebuah fitnah! Lantas, bagaimana nasib Ilona?
View MoreHening yang mencekam mengisi ruang perawatan di rumah sakit, hanya suara jam dinding dan tetesan infus yang terdengar di antara ketegangan yang menggantung di udara.
“Ceraikan dia!” Teriakan itu menggema dengan penuh kemarahan, menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Nyonya Mike berdiri tegak dengan tatapan penuh kebencian, menunjuk ke arah seorang wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya sembab akibat tangisan yang tiada henti. Ilona, istri Romy, masih berjuang menerima kenyataan bahwa bayi yang baru saja ia lahirkan telah meninggal. Namun, belum selesai kesedihannya, kini ia harus menghadapi satu kenyataan pahit lagi—penolakan total dari keluarga suaminya. Padahal bukan inginnya seperti ini, dan kalau bisa dia rela menukarkan hidupnya dengan bayinya. Tapi, semua sudah takdir yang tidak bisa dia tolak. Tuhan lebih sayang kepada anaknya. “Ma…” Romy mencoba membela, suaranya lirih, tetapi segera dipotong oleh ibunya yang tak ingin mendengar bantahan apa pun. Padahal seharusnya Nyonya Mike juga tahu kalau Romy sedang berduka. Anaknya baru saja dikuburkan, bahkan belum sempat menghirup udara di dunia ini. “Jangan salahkan Mama kalau melakukan sesuatu!” Nada ancaman di suara wanita itu membuat Ilona semakin gemetar. Air mata kembali membasahi pipinya, tetapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hatinya sudah cukup hancur, kini ditambah dengan ketidakadilan yang harus ia telan bulat-bulat. Nyonya Mike sejak awal memang tak pernah menerima Ilona sebagai menantunya. Baginya, wanita yang menikah dengan wali hakim hanyalah sampah, tak berharga, tak pantas masuk dalam keluarga kaya seperti mereka. Ilona memang tidak tahu siapa orang tuanya, sejak dia ingat, dia hanya hidup dengan seorang wanita tua yang dia panggil ibu. Tapi, itu bukanlah ibu kandungnya, menurut cerita Ilona ditemukan di depan rumah wanita itu. Hingga akhirnya dialah yang merawat Ilona hingga besar, berjuang seorang diri, karena dia juga seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Dua tahun lalu, ibu angkatnya juga sudah meninggal. Ilona benar-benar seorang diri. Dan kini, setelah Ilona gagal melahirkan pewaris keluarga mereka, Nyonya Mike melihat ini sebagai alasan yang tepat untuk menyingkirkannya selamanya. Tidak ada lagi alasan mereka mempertahankan Ilona. “Rom, ceraikan dia! Atau kau akan menyesal seumur hidup! Untuk apa punya istri yang tidak berguna seperti itu? Menjaga kandungannya saja tidak bisa! Apa yang kau harapkan darinya?” Darah Romy berdesir, ada rasa sesak yang menghimpit dadanya. Ia mencintai Ilona, tetapi di satu sisi, ia tahu betapa keras kepala ibunya. Jika ia menentang, Nyonya Mike tak akan segan menghancurkan kehidupan Ilona dengan cara yang lebih kejam. Dan Romy, tidak mau sesuatu terjadi kepada Ilona. Ia mengalihkan pandangannya pada Ilona. Tatapan itu penuh dengan rasa bersalah, tetapi juga penuh dengan keputusan yang tak bisa ia hindari. “Ilona…” Romy menelan ludahnya. Suaranya serak, hampir tak terdengar, tetapi di detik berikutnya, kalimat itu keluar dari mulutnya seperti belati yang menghujam dada Ilona. “Saya ceraikan engkau… dan saya bebaskan engkau, Ilona Almadar.” Deg! Dunia Ilona seperti berhenti berputar, perutnya yang baru saja di operasi masih sakit. Tapi, sakit itu tidaklah seberapa dibanding sakit hatinya. Ilona menatap Romy dengan mata terbelalak. Hatinya seakan berhenti berdetak. Tangannya yang lemah meraih lengan Romy, berusaha mencari pegangan dalam jurang kehancuran yang baru saja menganga di hadapannya. “Mas, kamu tidak bisa…” Suaranya tercekat, tubuhnya gemetar. Namun Romy tak bergeming. Ia menarik lengannya perlahan, melepaskan genggaman Ilona yang mulai melemah. “Aku harus,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Nyonya Mike tersenyum penuh kemenangan, sementara Ilona hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Cinta yang selama ini ia pertahankan dengan air mata, dengan luka, dengan segala pengorbanan, kini hancur dalam sekejap. Tak ada yang tersisa. Bahkan anak yang menjadi alasan ia bertahan pun telah pergi. “Aku harap kau tak kembali dalam hidup Romy lagi,” ujar Nyonya Mike sinis sebelum berbalik dan berjalan pergi. Ilona hanya bisa terdiam. Dalam sekejap, ia kehilangan segalanya. Pernikahannya, anaknya, dan harapannya.Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments