ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
Ponselku di atas nakas terus saja berdering. Tertera nama Bi Surmi yang ada di layar benda pipih persegi panjang yang masih menyala tersebut.‘Sebenarnya ada apa sih Bi Surmi menelepon?’ Aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan semua panggilan asisten rumah tanggaku itu. Ia bahkan sudah mengganggu malam panas dengan Erika, istri mudaku.Wanita itu membuatku penasaran, sebenarnya apa yang terjadi? Tak biasanya ia terus menghubungiku tanpa henti, dengan kesal kuangkat juga teleponnya. “Ada apa sih, Bi. Mengganggu waktuku saja,” tekanku.“Den ... Neng A-arum, Den,” ucap Bi Surmi dengan nada terbata-bata. Aku mengernyit heran setelah menangkap kepanikan dari suara Bi Surmi. Tak biasanya asisten rumah tanggaku begitu. Dari suaranya yang bergetar, kutebak pasti Bi Surmi tengah menangis.“Ada apa dengan Arum, Bi?” tekanku tak sabar ingin mendapatkan penjelasan dengan segera. “Neng Arum ... enggak ada di rumah, Den. Ka-kata Mang Mansur dari tadi siang belum pulang,” ujar Bi Surmi menjelask
Bab 2.Gegas aku memunguti pakaian yang masih berserakan di lantai. Melihatku yang sedang memakai baju Erika menghampiri.“Mas. Mau ke mana? Kenapa memakai baju lagi?” tanyanya heran.“Maafkan Mas, Sayang. Mas dapat kabar kalau ada wanita yang jadi korban kecelakaan, di dalam tasnya ada dompet Arum. Mas takut itu benar dia,” terangku. Semoga saja Erika bisa mengerti situasiku sekarang.“Tapi, Mas! Kamu ‘kan baru sampai di sini, kita bahkan baru saja memulai? Apalagi aku masih kangen denganmu, Mas,” ucap Erika dengan suara manjanya. Dia mulai menggodaku kembali dengan memeluk dan meraba-raba tubuhku yang belum memakai baju.Jika saja ini bukan menyangkut keselamatan Arum, mungkin saja aku sudah tak tahan mengurungnya semalaman di dalam kamar. Menghabiskan malam-malam panas kami seperti sebelumnya. Namun, aku tak bisa menundanya lagi. Bagaimanapun, kabar tentang kecelakaan di mana perkiraan Arum lah yang menjadi korbannya, itu membuatku tak bisa lagi abai.Aku takut Arum meninggalkanku
“Ibu tidak tahu ada masalah apa dengan rumah tangga kalian. Beberapa hari ini Arum selalu datang ke Panti kalau siang hari. Mungkin saja saat Nak Arga sedang bekerja. Dia mengaku tak izin dulu, membuat Ibu selalu menegurnya. Ibu tahu itu bukanlah sifatnya, bahkan sebelumnya Arum tak pernah ke sini tanpa mengabari Nak Arga dulu. Dia pernah bilang izin suami adalah Ridha Allah. Namun, terus terang ibu sempat khawatir melihat tingkahnya yang tak biasa. Gurat wajahnya menyiratkan akan kesedihan, berkali-kali dia selalu melamun bahkan saat kami sedang mengobrol.” Benarkah yang dikatakan Bu Rina? Sebenarnya masalah apa yang sedang dihadapi Arum istriku? Setahuku kami tak ada masalah apa pun. Bahkan jika bersamaku ia tak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Tetap menjadi Arum yang seperti biasanya. Apa aku saja yang kurang peka padanya? Teringat beberapa hari sebelum aku ke Bandung, dia selalu memberikan perhatian seperti biasa. Tak ada hal yang mencurigakan darinya, bahkan aku i
Bab 4.“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.“Iya bener, Nu. Ar
Bab 5. Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku. Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bica
Di dalam kepalaku terus berputar-putar seribu pertanyaan. Namun, aku bersyukur Arum baik-baik saja. Meskipun aku masih tak tahu keberadaannya sekarang di mana. Apa sebenarnya yang membuat dia pergi meninggalkanku?Tega sekali kamu, Sayang. Apa salahku? Bukankah selama ini aku sudah berusaha menjadi suami yang baik untukmu?Adakah yang membuatmu menyerah dalam pernikahan kita?Aku tersentak ketika suara Ibnu terdengar berteriak memanggil. “Ga ...!”“Ga ...! Woy ... Lo lagi apa? Lo ngelamun!” tanya Ibnu di telepon. Aku memang tak bereaksi apa pun setelah temanku itu mengatakan informasi tentang Arum. Diri ini terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sampai-sampai lupa kalau masih dalam panggilan yang sama dengan Ibnu.“Sorry, Nu. Terus May lihat Arum ke mana? Maksudnya apa dia membuntuti atau menyapa istri gue, misalnya.” “Katanya dia mau susul tapi keburu pergi. Lagi pula mereka di tempat yang berseberangan. Apalagi jalanan lagi ramai banget mobil yang lalu lalang. Saat istri gue mau ny