Share

Bab 4. Obat Penenang

Bab 4.

“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.

“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”

Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.

Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.

“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.

“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.

“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.

“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.

“Iya bener, Nu. Arum istri gue. Dia pergi entah ke mana. Gue khawatir sama keadaannya. Apalagi dia yatim piatu. Gue enggak tahu harus nyari dia ke mana lagi. Di panti asuhan juga Arum enggak ada.” Benar, sesulit ini mencari Istriku yang hilang.

“Oke ... oke. Gue akan bantu Lo mencarinya. Apalagi dia pernah membantu menyelesaikan masalah rumah tangga Gue dulu. Dia berjasa banget buat Gue dan May. Kalau bukan bantuannya, mungkin kami sekarang sudah bercerai,” ucap Ibnu.

Arum dulu memang pernah menjadi penyelamat rumah tangga Ibnu dan May Istrinya. Saat temanku itu datang ke rumah dan cerita tentang kondisi rumah tangganya yang hampir hancur karena May selalu salah paham dan cemburu pada Ibnu.

Waktu itu katanya ada teman lama yang memakai jasa Ibnu untuk menyelidiki suaminya. Yang membuat istri May ini berburuk sangka karena memang orang itu Mantan kekasih Ibnu. Sehingga May berpikir kalau temanku itu berselingkuh, pengakuan hanya sebagai klien yang Ibnu katakan, istrinya kira hanya akal-akalan temanku itu saja.

Namun, dengan bantuan Arum yang membujuk istri temanku itu dengan bicara dari hati ke hati, membuat May sedikit percaya dengan memberikan syarat kepada Ibnu untuk membatalkan kerja sama dengan mantannya, serta meminta lebih mengerti dengan kondisi sang istri yang sedang hamil tua. Sekarang, rumah tangga Ibnu kembali harmonis. Apalagi mereka sudah dikaruniai keturunan. Membuat kebahagiaan itu menjadi sempurna berkali-kali lipat.

“Ya sudah, Nu. Aku ada urusan dulu. Nanti kita bicara lagi.”

Setelah bicara panjang lebar mengenai hilangnya Arum, percakapan kami berakhir. Karena temanku sedang di luar kota untuk saat ini, kami tidak jadi bertemu. Aku dan Ibnu hanya saling memberikan informasi lewat ponsel.

Kumatikan telepon dan memanggil Mang Mansur untuk menghadap, lalu memintanya mengantarkanku ke Bandung.

Terpaksa kali ini kuajak beliau sebab diriku tak mungkin berkendara jauh sendiri. Tubuhku sudah lelah dan kurang beristirahat. Mungkin, aku harus bersiap-siap pernikahan keduaku dengan Erika akan diketahui sopirku itu. Tak apalah. Dia tak mungkin juga berkata macam-macam kepada orang-orang termasuk Arum.

“Maaf, Den. Bukannya Neng Arum sedang menghilang, tapi kenapa malah ke Bandung? Memangnya pekerjaan Den Arga enggak bisa ditunda?” tanyanya heran.

“Sekarang Mamang antarkan aku dulu. Nanti juga akan tahu masalahnya,” tegasku. Saat ini aku malas menjelaskan apa pun. Badan dan jiwaku sedang lelah memikirkan keberadaan Arum dan keadaan Erika istri mudaku.

Di dalam mobil aku terus memandangi foto Arum di layar ponsel. Potret yang menampilkan sosok wanita sedang memegang tanganku sambil menoleh dan tersenyum ke belakang. Terlihat sangat manis sekali.

Foto di mana dulu kami berbulan madu di puncak. Awalnya telah kupersiapkan honeymoon ke Paris. Namun, istriku itu menolak. Dia bilang sayang uangnya, jangan dihamburkan. Apalagi saat itu Mama menyuruh Papa menghentikan jatah bulananku. Sehingga, segala fasilitas mewah yang biasa kupakai dicabut begitu saja.

Beliau tak ingin Arum hidup dari uang yang mereka diberikan. Padahal aku pun berhak, sebab selain profesiku sebagai dokter, pun sambil sesekali mengelola usaha Papa. Meski tak seperti kebanyakan pekerja kantoran lain.

Karena permintaan Mama itu keuanganku sempat tak stabil. Makanya, saat kami berbulan madu, Arum menyuruhku untuk berhemat dan memilih pergi ke puncak yang katanya lebih sejuk.

“Mas tak usah khawatir. Lebih baik, kita berhemat. Jangan menghamburkan uang. Kalau Mas mau, kita lebih baik pergi ke tempat yang dekat-dekat saja. Bagaimana kalau kita ke puncak? Di sana kan enak. Udaranya sejuk,” papar Arum saat itu terngiang-ngiang.

“Wah boleh juga tuh, ide bagus. Kebetulan, di sana kan udaranya sejuk banget. Dingin-dingin gitu, memang cocok buat pengantin baru,” godaku menatapnya intens.

“Ish. Mas ini apaan sih!” Pada saat itu, wajah istriku bersemu merah. Dia terlihat malu dan membuatku semakin gemas.

Ya, kembali aku mengingat kenangan kami dulu. Dia memang wanita yang pengertian. Bahkan tak mengeluh saat kami memulai semuanya dari awal. Untunglah berkat kesabaran, doanya serta dedikasiku sebagai dokter membuatku bisa mendapatkan karir yang bagus. Meski kesabaran istriku itu, kuhadiahkan pengkhianatan untuknya.

Ah ... kenapa baru sekarang terbersit rasa penyesalan menikahi Erika. Aku salah telah menuruti nafsuku. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, tak mungkin pula kutinggalkan istri mudaku itu. Bagaimanapun dia sudah sah menjadi tanggung jawabku. Kami saling mencintai. Aku pun merasa tak lengkap bila hidup tanpanya. Selama beberapa bulan ini, Erika lah yang sudah membuatku hidupku bergairah kembali. Dia berbeda dari Arum istriku, lebih memuaskan segalanya.

**

Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di Bandung. Kuminta Mang Mansur membawaku ke Rumah Sakit Santosa. Dari ekspresi wajahnya beliau terlihat heran. Namun, tetap tak menanyakan apa pun.

“Mang, tunggu di sini, ya. Kalau Mamang lapar bisa cari makan di sekitar sini. Aku ke dalam dulu. Ada seseorang yang membutuhkan keberadaanku sekarang,” titahku memintanya menunggu.

“Baik, Den. Nanti kalau saya tidak di mobil, hubungi saja nomor Mamang,” jawabnya.

Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan Mang Mansur di mobil. Gegas masuk ke Rumah Sakit serta mencari ruang perawatan di mana Erika berada. Sebelumnya mertuaku sudah memberikan alamat Rumah Sakit serta informasi di kamar berapa istriku di rawat. Setelah sampai di depan kamar, kuketuk pintu serta masuk dengan langkah tergesa.

Terlihat Erika terbaring lemah di atas ranjang, pun mertua duduk di sofa ruangan ini juga. Istri mudaku itu memang di rawat di ruangan VIP yang memiliki fasilitas lengkap dibanding kamar yang lain. Sehingga membuat nyaman orang yang menunggunya.

“Akhirnya datang juga, Nak Arga,” sahut Mama mertua yang langsung berdiri menyambut kedatanganku. Aku mencium tangannya dengan takzim lalu beralih kepada Bapak Erika yang sedari tadi hanya menatapku sekilas.

“Erika kenapa, Bu? Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.

“Erika pendarahan, Ga!” jelas Ibu mertua.

Aku penasaran bagaimana mungkin Erika sampai pendarahan padahal semalam saat kutinggalkan dia masih sehat seperti biasa.

“Bagaimana mungkin kamu tak ada bersamanya. Padahal bukannya tiga hari ini harusnya jatah temumu dengan anakku?” cecar Bapak Erika.

“Maaf, Pak. Aku enggak tahu akan terjadi sesuatu dengan Erika. Apalagi sekarang ada hal penting yang membuatku terpaksa menunda jatahku bersamanya, Pak. Arum istri pertamaku hilang.”

Mereka berdua terkejut. Namun, bapak Erika menatapku tajam sambil berkata, “ Itu masalahmu. Bukankah dari awal kau sudah bilang kalau bisa adil. Katanya putriku itu segalanya untukmu. Apalagi Erika bilang istri tuamu itu membosankan makanya kau menikah lagi,” sinisnya.

Mataku terbelalak mendengar semuanya. Bagaimana mungkin Erika mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu. Sampai-sampai dia mengatakan sesuatu yang tak pantas tentang Arum kepada orang tuanya. Kuakui itu memang alasanku menikahi Erika, tetapi tak sepenuhnya. Yang pasti aku tak bisa menampik pesona Erika yang terlihat lebih menantang untukku.

Aku tak menanggapi ucapan orang tua Erika. Biarlah mereka bicara apa pun sesukanya. Kutinggalkan ayah dan ibu mertua yang masih memberikan ceramah, lalu berlalu mencari keberadaan dokter dan menanyakan kondisi Erika.

“Istri anda mengalami keguguran, Pak. Dia terlalu banyak meminum obat penenang sehingga membuat kandungannya tak bisa bertahan,” paparnya membuatku seketika melotot tak percaya.

“Apa? Istri saya keguguran ...?”

Aku tak bisa menyembunyikan rasa syokku. Bagaimana mungkin Erika keguguran? Kabar ini membuatku terkulai lemah di kursi ruangan dokter tempatku berada dengan tatapan kosong.

Kabar apa ini? Setelah sekian lama aku menunggu hadirnya buah hati. Lalu, apa ini? Ketika baru saja kudapatkan Tuhan langsung mengambilnya seketika.

Lalu untuk apa Erika meminum obat penenang? Kenapa aku baru tahu kalau dia mengonsumsi obat semacam itu?

Dengan langkah gontai aku kembali ke kamar rawat Erika. Namun, saat hendak membuka pintu kudengar samar-samar suara percakapan istri mudaku dengan orang tuanya.

“Syukurlah, Bu. Anakku enggak lahir ke dunia. Kalau tidak semuanya akan kacau,” ucap salah seorang yang kukenali itu suara istriku.

“Sttt, jangan berisik. Bisa saja suamimu itu datang dan mendengar semuanya,” sahut wanita lain dan itu suara ibu mertua.

Apa maksud obrolan mereka? Memangnya apa yang disembunyikan Erika dan orang tuanya dariku?

Haruskah kutanyakan pada mereka yang sebenarnya sekarang?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hendri Safran
kayaknya bukan hamil sama arga deh kayaknya. Hem...jangan jangan erika selingkuh juga dubelakang arga. Makan tuh karma lho arga....rasain
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
nah kena karma itu nama nya hukuman suami dzolim tungu kelanjutn karma mu yang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status