Share

Bab 4. Obat Penenang

Penulis: Nuri Art
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-04 15:05:45

Bab 4.

“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.

“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”

Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.

Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.

“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.

“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.

“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.

“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.

“Iya bener, Nu. Arum istri gue. Dia pergi entah ke mana. Gue khawatir sama keadaannya. Apalagi dia yatim piatu. Gue enggak tahu harus nyari dia ke mana lagi. Di panti asuhan juga Arum enggak ada.” Benar, sesulit ini mencari Istriku yang hilang.

“Oke ... oke. Gue akan bantu Lo mencarinya. Apalagi dia pernah membantu menyelesaikan masalah rumah tangga Gue dulu. Dia berjasa banget buat Gue dan May. Kalau bukan bantuannya, mungkin kami sekarang sudah bercerai,” ucap Ibnu.

Arum dulu memang pernah menjadi penyelamat rumah tangga Ibnu dan May Istrinya. Saat temanku itu datang ke rumah dan cerita tentang kondisi rumah tangganya yang hampir hancur karena May selalu salah paham dan cemburu pada Ibnu.

Waktu itu katanya ada teman lama yang memakai jasa Ibnu untuk menyelidiki suaminya. Yang membuat istri May ini berburuk sangka karena memang orang itu Mantan kekasih Ibnu. Sehingga May berpikir kalau temanku itu berselingkuh, pengakuan hanya sebagai klien yang Ibnu katakan, istrinya kira hanya akal-akalan temanku itu saja.

Namun, dengan bantuan Arum yang membujuk istri temanku itu dengan bicara dari hati ke hati, membuat May sedikit percaya dengan memberikan syarat kepada Ibnu untuk membatalkan kerja sama dengan mantannya, serta meminta lebih mengerti dengan kondisi sang istri yang sedang hamil tua. Sekarang, rumah tangga Ibnu kembali harmonis. Apalagi mereka sudah dikaruniai keturunan. Membuat kebahagiaan itu menjadi sempurna berkali-kali lipat.

“Ya sudah, Nu. Aku ada urusan dulu. Nanti kita bicara lagi.”

Setelah bicara panjang lebar mengenai hilangnya Arum, percakapan kami berakhir. Karena temanku sedang di luar kota untuk saat ini, kami tidak jadi bertemu. Aku dan Ibnu hanya saling memberikan informasi lewat ponsel.

Kumatikan telepon dan memanggil Mang Mansur untuk menghadap, lalu memintanya mengantarkanku ke Bandung.

Terpaksa kali ini kuajak beliau sebab diriku tak mungkin berkendara jauh sendiri. Tubuhku sudah lelah dan kurang beristirahat. Mungkin, aku harus bersiap-siap pernikahan keduaku dengan Erika akan diketahui sopirku itu. Tak apalah. Dia tak mungkin juga berkata macam-macam kepada orang-orang termasuk Arum.

“Maaf, Den. Bukannya Neng Arum sedang menghilang, tapi kenapa malah ke Bandung? Memangnya pekerjaan Den Arga enggak bisa ditunda?” tanyanya heran.

“Sekarang Mamang antarkan aku dulu. Nanti juga akan tahu masalahnya,” tegasku. Saat ini aku malas menjelaskan apa pun. Badan dan jiwaku sedang lelah memikirkan keberadaan Arum dan keadaan Erika istri mudaku.

Di dalam mobil aku terus memandangi foto Arum di layar ponsel. Potret yang menampilkan sosok wanita sedang memegang tanganku sambil menoleh dan tersenyum ke belakang. Terlihat sangat manis sekali.

Foto di mana dulu kami berbulan madu di puncak. Awalnya telah kupersiapkan honeymoon ke Paris. Namun, istriku itu menolak. Dia bilang sayang uangnya, jangan dihamburkan. Apalagi saat itu Mama menyuruh Papa menghentikan jatah bulananku. Sehingga, segala fasilitas mewah yang biasa kupakai dicabut begitu saja.

Beliau tak ingin Arum hidup dari uang yang mereka diberikan. Padahal aku pun berhak, sebab selain profesiku sebagai dokter, pun sambil sesekali mengelola usaha Papa. Meski tak seperti kebanyakan pekerja kantoran lain.

Karena permintaan Mama itu keuanganku sempat tak stabil. Makanya, saat kami berbulan madu, Arum menyuruhku untuk berhemat dan memilih pergi ke puncak yang katanya lebih sejuk.

“Mas tak usah khawatir. Lebih baik, kita berhemat. Jangan menghamburkan uang. Kalau Mas mau, kita lebih baik pergi ke tempat yang dekat-dekat saja. Bagaimana kalau kita ke puncak? Di sana kan enak. Udaranya sejuk,” papar Arum saat itu terngiang-ngiang.

“Wah boleh juga tuh, ide bagus. Kebetulan, di sana kan udaranya sejuk banget. Dingin-dingin gitu, memang cocok buat pengantin baru,” godaku menatapnya intens.

“Ish. Mas ini apaan sih!” Pada saat itu, wajah istriku bersemu merah. Dia terlihat malu dan membuatku semakin gemas.

Ya, kembali aku mengingat kenangan kami dulu. Dia memang wanita yang pengertian. Bahkan tak mengeluh saat kami memulai semuanya dari awal. Untunglah berkat kesabaran, doanya serta dedikasiku sebagai dokter membuatku bisa mendapatkan karir yang bagus. Meski kesabaran istriku itu, kuhadiahkan pengkhianatan untuknya.

Ah ... kenapa baru sekarang terbersit rasa penyesalan menikahi Erika. Aku salah telah menuruti nafsuku. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, tak mungkin pula kutinggalkan istri mudaku itu. Bagaimanapun dia sudah sah menjadi tanggung jawabku. Kami saling mencintai. Aku pun merasa tak lengkap bila hidup tanpanya. Selama beberapa bulan ini, Erika lah yang sudah membuatku hidupku bergairah kembali. Dia berbeda dari Arum istriku, lebih memuaskan segalanya.

**

Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di Bandung. Kuminta Mang Mansur membawaku ke Rumah Sakit Santosa. Dari ekspresi wajahnya beliau terlihat heran. Namun, tetap tak menanyakan apa pun.

“Mang, tunggu di sini, ya. Kalau Mamang lapar bisa cari makan di sekitar sini. Aku ke dalam dulu. Ada seseorang yang membutuhkan keberadaanku sekarang,” titahku memintanya menunggu.

“Baik, Den. Nanti kalau saya tidak di mobil, hubungi saja nomor Mamang,” jawabnya.

Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan Mang Mansur di mobil. Gegas masuk ke Rumah Sakit serta mencari ruang perawatan di mana Erika berada. Sebelumnya mertuaku sudah memberikan alamat Rumah Sakit serta informasi di kamar berapa istriku di rawat. Setelah sampai di depan kamar, kuketuk pintu serta masuk dengan langkah tergesa.

Terlihat Erika terbaring lemah di atas ranjang, pun mertua duduk di sofa ruangan ini juga. Istri mudaku itu memang di rawat di ruangan VIP yang memiliki fasilitas lengkap dibanding kamar yang lain. Sehingga membuat nyaman orang yang menunggunya.

“Akhirnya datang juga, Nak Arga,” sahut Mama mertua yang langsung berdiri menyambut kedatanganku. Aku mencium tangannya dengan takzim lalu beralih kepada Bapak Erika yang sedari tadi hanya menatapku sekilas.

“Erika kenapa, Bu? Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.

“Erika pendarahan, Ga!” jelas Ibu mertua.

Aku penasaran bagaimana mungkin Erika sampai pendarahan padahal semalam saat kutinggalkan dia masih sehat seperti biasa.

“Bagaimana mungkin kamu tak ada bersamanya. Padahal bukannya tiga hari ini harusnya jatah temumu dengan anakku?” cecar Bapak Erika.

“Maaf, Pak. Aku enggak tahu akan terjadi sesuatu dengan Erika. Apalagi sekarang ada hal penting yang membuatku terpaksa menunda jatahku bersamanya, Pak. Arum istri pertamaku hilang.”

Mereka berdua terkejut. Namun, bapak Erika menatapku tajam sambil berkata, “ Itu masalahmu. Bukankah dari awal kau sudah bilang kalau bisa adil. Katanya putriku itu segalanya untukmu. Apalagi Erika bilang istri tuamu itu membosankan makanya kau menikah lagi,” sinisnya.

Mataku terbelalak mendengar semuanya. Bagaimana mungkin Erika mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu. Sampai-sampai dia mengatakan sesuatu yang tak pantas tentang Arum kepada orang tuanya. Kuakui itu memang alasanku menikahi Erika, tetapi tak sepenuhnya. Yang pasti aku tak bisa menampik pesona Erika yang terlihat lebih menantang untukku.

Aku tak menanggapi ucapan orang tua Erika. Biarlah mereka bicara apa pun sesukanya. Kutinggalkan ayah dan ibu mertua yang masih memberikan ceramah, lalu berlalu mencari keberadaan dokter dan menanyakan kondisi Erika.

“Istri anda mengalami keguguran, Pak. Dia terlalu banyak meminum obat penenang sehingga membuat kandungannya tak bisa bertahan,” paparnya membuatku seketika melotot tak percaya.

“Apa? Istri saya keguguran ...?”

Aku tak bisa menyembunyikan rasa syokku. Bagaimana mungkin Erika keguguran? Kabar ini membuatku terkulai lemah di kursi ruangan dokter tempatku berada dengan tatapan kosong.

Kabar apa ini? Setelah sekian lama aku menunggu hadirnya buah hati. Lalu, apa ini? Ketika baru saja kudapatkan Tuhan langsung mengambilnya seketika.

Lalu untuk apa Erika meminum obat penenang? Kenapa aku baru tahu kalau dia mengonsumsi obat semacam itu?

Dengan langkah gontai aku kembali ke kamar rawat Erika. Namun, saat hendak membuka pintu kudengar samar-samar suara percakapan istri mudaku dengan orang tuanya.

“Syukurlah, Bu. Anakku enggak lahir ke dunia. Kalau tidak semuanya akan kacau,” ucap salah seorang yang kukenali itu suara istriku.

“Sttt, jangan berisik. Bisa saja suamimu itu datang dan mendengar semuanya,” sahut wanita lain dan itu suara ibu mertua.

Apa maksud obrolan mereka? Memangnya apa yang disembunyikan Erika dan orang tuanya dariku?

Haruskah kutanyakan pada mereka yang sebenarnya sekarang?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Atik Sunarni Widi Hidayati
rasain deh
goodnovel comment avatar
Hendri Safran
kayaknya bukan hamil sama arga deh kayaknya. Hem...jangan jangan erika selingkuh juga dubelakang arga. Makan tuh karma lho arga....rasain
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
nah kena karma itu nama nya hukuman suami dzolim tungu kelanjutn karma mu yang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 143

    Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 142

    ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 141

    ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 140

    ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 139

    Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 138

    Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status