“Nah, ini ice cream untuk kamu,” ujar Vanika sambil menyodorkan sebuah ice cream cone berukuran besar yang lengkap dengan vanilla ice cream yang lezat.Vanika dan Audrey duduk berhadapan di depan sebuah minimarket yang terletak tidak jauh dari tempat itu, sedangkan Adrian menunggu di taman.“Kakak ke mana saja? Kok gak pernah ada kabar lagi?” tanya Audrey sambil menjilat ice cream di tangannya.“Gak ke mana-mana kok. Kakak selalu ada. Apa kabarmu akhir-akhir ini?”“Kak Hayden pergi dan mungkin gak akan kembali lagi. Holiday House dan rumah pohon kami dijual. Aku merasa kalau akhir-akhir ini aku terus berduka. Padahal semuanya penuh dengan kenangan, tapi mama dan kakakku melepasnya begitu saja,”“Dijual?” tanya gadis bermata bulat itu dengan wajah yang terkejut.“Ya, sudah dibeli oleh salah satu teman kerja ayah dulu. Lagipula kami berencana untuk meninggalkan kota ini,” jawaban gadis bertubuh tinggi dan ramping itu membuat Vanika semakin terkejut.Holiday house dan rumah pohon milik H
“Siapa? Kamu akan kirim itu ke siapa? Hayden kah?” tanya Clarissa dengan penasaran.“Bukan. Aku hanya mau kirim ini ke Kak Akhyar. Dia ‘kan pecinta seni dan senang mengoleksi gambar-gambar begini,” jawab kakaknya.“Oh kakaknya Akhtar ya. Ya, itu lebih baik daripada kamu bakar. Ya ‘kan?” goda adiknya sambil melahap makanan ringan yang dibawanya.“Van, kalau suatu hari Hayden kembali ke sini gimana?” tanya Clarissa pada kakaknya.“Jangan bicara yang aneh-aneh. Itu gak mungkin,”“Ya siapa tahu ‘kan?” ujar Clarissa sambil mengunyah makanan ringan yang dipegangnya.“Gak akan. Mulai sekarang, aku mau menutup semua tentang Hayden. Jadi kamu jangan bicarakan dia lagi,” balas kakaknya dengan tegas.“Baiklah. Kerjakan tugasmu dengan baik, wahai mahasiswa baru,” goda gadis bertubuh jangkung itu yang langsung menerima tatapan tajam dari kakaknya.***3.5 TAHUN KEMUDIAN“Sudah tiga tahun lebih berlalu. Ah bukan, hampir empat tahun berlalu dan aku merasa semakin tua,” ujar seorang gadis bertubuh ja
“Adrian? Kamu sedang apa di sini?” tanya Vanika pada pria yang berdiri tepat di belakang tempat duduknya sambil sedikit membungkukan tubuhnya.“Loh kenapa kamu seterkejut itu?” balas Adrian dengan tawa kecilnya sambil duduk di dekat kekasihnya.“Kamu pikir aku gak akan terkejut tiba-tiba dengar suara orang bicara tepat di belakangku? Kamu hobi sekali mengagetkan aku begitu. Ngomong-ngomong tumben kamu ke sini,”“Ya ampun, memang aku gak boleh menengok pacarku sendiri? Katanya kamu sakit?”“Gak juga. Aku sudah baikan. Kamu ‘kan sibuk. Bahkan aku lupa kapan kita terakhir bertemu,”“Maaf, Van. Ini, aku bawa jurnal baru untuk kamu dan kaset baru,” ujar pria berkaki panjang itu sambil memberikan sebuah kaset kepada wanita muda itu.“Wah terima kasih, kaset apa?” tanya Vanika sambil memperhatikan barang yang dipegangnya.“Dengarkan saja. Aku suka lagu ini. Hope you’ll like it,”Saw you this morning with that look in your eyesI hate to see you lookin’ like you’re lost and lonelyIt isn’t ea
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter