Share

Setelah 17 Tahun
Setelah 17 Tahun
Penulis: Queenbee

TWINS REBORN

Duduk di kursi yang goyang sambil membaca novel romantika di  dan tak lupa secangkir susu khusus ibu hamil dan camilan roti kacang dan Almond terhidang di meja. Menginjak usia kehamilan tiga puluh tujuh minggu membuat Risa sedikit was-was, tetapi dia senang karena dalam pemeriksaan USG anaknya kembar perempuan. Sudah lima tahun Risa menantikan buah hatinya ini.

Bibi Sri datang sambil membawa jus mangga. Risa selama hamil memang doyan makan dan ngemil.

“Terima kasih, bibi Sri. Maafkan jika aku merepotkan bibi. Bibi tahu selama hamil kembar ini aku banyak sekali doyan makan dan ngemil sampai perutku semakin membesar.” Risa menguyah Almond dan menikmatinya.

Bibi Sri hanya bisa tersenyum. ”Namanya juga ibu hamil nyonya. Rasa Ingin makan itu besar apalagi nyonya sedang hamil kembar jadi memang harus banyak makan.”

“Benar juga, Bi. Pokoknya aku dan calon kedua bayiku ini sehat. Yang terpenting adalah asupan nutrisinya.”Risa mengelus-elus lembut perutnya. Bibi Sri yang melihat dari kejauhan sangat senang atas kehamilan majikannya.

Risa berbagai upaya menjalankan prohamil terutama bayi tabung tetapi apa yang dilakukan semua tidak sesuai ekpetasi. Bayi tabung yang dilakukan Risa tidak berhasil.

“Nyonya harus semangat. Saya pamit ke dapur dulu.”

“Silahkan, bibi Sri.”

Bibi Sri meninggalkan Risa yang masih menikmati segelas susu dan kacang Almond. Majalah tentang kehamilan sangat membuat dia bersemangat.

Tok ... Tok ...Tok!

Suara gedoran yang sangat keras membuyarkan lamunannya. Siapa yang menggedor pintu sampai sekeras itu. Risa langsung bangkit dari tempat duduknya dan tiba-tiba perutnya sangat sakit dan merasakan mules. Risa memegang sandaran tempat duduk sambil memegang perutnya yang sakit.

“AH! BIBI SRI TOLONG!” Risa memegang perutnya yang sakit tiba-tiba darah segar keluar dari bawah. Risa merasa takut.

”BIBI SRI TOLONG! BIBi SRI SAYA TIDAK KUAT!” teriak Risa masih merintih kkesakitan

Suara gedoran pintu yang keras dan berkali-kali digedor tidak Risa hiraukan. Paling orang gila atau orang iseng yang sedang iseng. Berkali-kali digedor membuat Risa semakin kesal dengan orang tersebut. Bibi Sri langsung datang dengan tergopoh-gopoh.

“Astagfirullah, nyonya. Anda mau melahirkan. Saya telefon tuan dulu iya nya,” Bibi Sri juga bingung dan hendak beranjak meninggalkan Risa. Tetapi Risa mencegahnya.

“Jangan bi Sri. Nanti sudah di rumah sakit baru dikabari karena hari ini ada meeting. Aku takut jika dia khawatir dan menganggu meetingnya. Panggil pak Deden suruh antar aku ke rumah sakit Bi dan mohon untuk tas perlengkapan bayiku dan aku ada di kamar. Bibi bawa saja. Aku sudah tidak kuat!” Risa merintih kesakitan dan masih memegang perutnya. Darah sudah mengucur deras. Risa takut  kalau terjadi dengan bayi kembarnya. Bibi Sri menghilang mencari pak Deden.

Suara gedoran pintu tidak lagi terdengar. Risa lega. Beberapa menit suara gedoran itupun kembali. Risa sangat terganggu apalagi perutnya masih sakit. Bibi Sri membopong Risa.

“Bi, itu siapa yang gedor pintu seperti itu?seperti tidak ada sopan santun.” Kata Risa sambil menahan sakitnya.

“Saya kurang tahu nyonya. Orang seperti apa itu? Memang tidak punya sopan santun.” Bibi Sri juga ikutan kesal.

Bibi Sri dan Risa melangkah keluar. Sampai di depan pintu. Risa langsung membuka pintu dengan kencang karena suara gedoran itu masih saja berlanjut. Risa melihat seorang wanita Seumuran dengan dirinya sedang menggendong bayi.

“Maaf saya menganggu nyonya bisakah anda membantu saya?” Kata Weni, dia adalah mantan pembantu Risa.

“Maafkan aku Weni aku sedang terburu-buru. Aku mau melahirkan jadi aku tidak bisa meladeni mu saat ini.” Risa masuk kedalam mobil dibantu dengan bibi Sri. Weni masih saja membututi Risa.

“Tolonglah aku nyonya. Hanya nyonya yang bisa membantu saya. Saya butuh uang.” Weni masih mengharapkan bantuan dari Risa. Risa hanya diam dia masih merintih kesakitan.

“Pak Deden jalan! Saya sudah tidak kuat pak!” Risa semakin lama semakin sakit dan merasakan mules yang hebat.

“Tetapi bagaimana dengan keadaan Weni nyonya?” Pak Deden melihat keadaan Weni merasa khawatir.

“Jalan pak Deden. Jangan hiraukan dia. Aku ingin melahirkan. Aku tidak ingin ada apa-apa dengan kedua bayiku. Cepat!” Risa tidak tahan.

“Nyonya saya mohon!saya butuh uang nyonya!saya tahu saya pernah salah dan berbuat fatal. Maafkan saya nyonya.” Weni masih menggedor kaca mobil, tetapi Risa tidak menghiraukannya.

Pak Deden mulai menghidupakan mobil dan melaju. Weni masih mengharapkan belas kasih dari Risa tetapi mobil sudah melaju dengan cepat.

Weni dengan nafas tersengal-sengal sambil menggendong bayinya yang bernama Nadine keadaannya mulai memburuk, dia hanya ingin berhutang uang kepada Risa karena Nadine sedang sakit panas tinggi. Bayi yang berusia tujuh hari ini harus butuh perawatan. Weni tidak punya uang. Suaminya Dendi juga belum gajian. Weni duduk tersungkur di jalan, dia bingung apa yang harus dia lakukan.

Nadine adalah anak yang sedang dia nantikan selama dua tahun. Weni segera bergegas menuju rumah sakit. Apapun yang terjadi yang penting Nadine ditangani dahulu. Nadine sudah kejang-kejang.

Rumah Sakit Umum Yogyakarta.

Risa merintih kesakitan dia didorong di brangkar oleh perawat. Suara rintihan Risa menggema di lorong rumah sakit.

“Bi Sri, tolong hubungi suami saya mas Farhan.” Kata Risa meminta bantuan ke bibi Sri.

“Iya nyonya. Nyonya harus kuat. Semoga persalinan lancar iya nya. Ini penantian selama lima tahun. Jadi nyonya harus kuat.” Bibi Sri menyemangati Risa. Risa hanya mengangguk.

Risa dibawa ke ruangan bersalin. Bibi Sri dan Pak Deden menunggu majikannya. Bibi Sri menghubungi tuan Farhan untuk datang ke rumah sakit.

“Hallo.”

“Hallo bibi Sri ada apa?”

“Tuan Farhan saya mau memberitahukan bahwa nyonya mau melahirkan di rumah sakit umum. Nyonya minta tuan untuk segera kemari.”

“Baiklah bibi saya akan Kesana. Ini meetingnya sudah selesai. Titip dulu istri saya bibi Sri.”

“Baik tuan.”

Bibi Sri mematikan telefonnya. Melihat ruangan masih tertutup. Bibi Sri tak henti berdoa agar Risa bisa melahirkan dengan lancar.

Di sisi lain Weni datang di rumah sakit yang sama dimana Risa melahirkan. Weni datang ke UGD. Bayi Nadine kondisinya sudah benar-benar menghawatirkan.

“Ibu bayi mohon tunggu diluar dulu,” Kata perawat perempuan. Pintu UGD langsung ditutup.

Weni duduk di bangku ruang tunggu. Dia benar-benar cemas akan keadaan Nadine. Dia sangat kesal dengan Risa mantan majikannya. Seharusnya dia memberi uang untuk biaya perawatan Nadine.

Apa dia tidak ada belas kasihan sama sekali? Uangnya banyak apa salahnya jika membantu sedikit. Jika ada apa-apa dengan Nadine, Weni tidak akan segan-segan memberi pelajaran kepada Risa. Setengah jam berlalu dokter keluar dari UGD.

“Keluarga bayi Nadine.”Sapa dokter lelaki dengan memakai jas putihnya. Weni langsung menghampiri dokter.

“Iya dokter. Saya ibunya. Bagaimana dengan keadaan bayi saya dokter?” Tanya Weni khawatir.

“Maaf ibu. Kami dari tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bayi ibu, tetapi Tuhan berkehendak lain. Maaf kami harus mengatakan bahwa bayi ibu meninggal dunia.”

Weni langsung lemas dan langsung masuk UGD. Melihat bayi perempuannya terbujur kaku. Weni menangis.

“Maafkan ibu sayang. Ibu tidak becus mengurusmu. Ibu terlambat membawamu ke rumah sakit. Maafkan ibu sayang. Kenapa kamu harus pergi meninggalkan ibu nak?” Weni memeluk bayi Nadine.

Bayi yang tadi menangis sekarang tidak ada gerakan sama sekali. Weni sangat sedih kehilangan bayinya. Ini semua gara-gara Risa. Jika dia cepat memberikan uang untuk biaya bayinya maka nyawa Nadine masih tertolong.

Weni keluar dari ruang UGD. Tubuhnya lemas, hatinya rapuh. Anak yang dinantikan selama dua tahun harus pergi. Weni duduk di bangku sambil menunggu bayi Nadine perawatan, dia benci dengan keluarga Risa. Sekelibat dia melihat Farhan. Weni langsung mengikuti Farhan dan dia melihat di depan ruang bersalin. Berarti Risa sedang melahirkan.

“Enak sekali mereka. Mempunyai anak. Sedangkan aku harus kehilangan bayiku Nadine karena ulah Risa. Seharusnya Risa memberikan uang sedikit pasti Nadine bisa tertolong. Belum tadi aku kerumahnya. Lama sekali responnya. Lihat saja aku akan membalas dendamku kepada kalian. Kalian harus menanggung rasa kehilangan yang aku rasakan.”Weni menatap tajam Farhan. Ada rasa benci dan balas dendam kepada keluarga Risa dan Farhan.

Dokter keluar dari kamar bersalin.

“Selamat atas kelahiran putrinya. Mereka kembar sehat dan lengkap.”

“Alhamdulilah.” Farhan langsung sujud syukur dengan perasaan bahagianya.

“Jika ayah bayi bergama Islam silahkan untuk mengadzani bayinya terlebih dulu. Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter perempuan pergi meninggalkan mereka.

“Kembar tuan. Pasti lucu sekali anak tuan. Saya tidak sabar ingin melihatnya.” Bibi Sri ikut bahagia.

“Saya sangat menantikan bayi ini selama lima tahun akhirnya kesampaian juga. Anak kembar pula. Aku sangat bersyukur bibi Sri, saya ke dalam dulu mau mengadzani kedua bibidari kecilku yang cantik.”

“Silahkan tuan.”

Melihat mereka sangat bahagia. Weni iri. Tidak seharusnya mereka bahagia di atas penderitaan yang dialami Weni karena kehilangan bayi Nadine. Weni langsung kembali ke UGD untuk melihat bayi Nadine. Betapa sedihnya dia. Air mata tak henti-hentinya keluar dari kedua matanya.

“Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku harus bilang ke mas Dendi Kalau Nadine sudah meninggal. Bagaimana reaksinya? Pasti aku akan dimarahi habis-habisan dan bisa-bisa aku diceraikan. Tidak aku tidak bisa. Aku cinta dengan mas . Salah satu cara adalah menculik salah satu anak dari Risa. Mereka kan punya anak kembar. Sekalian balas dendam.”

Telefon berdering. Dendi suaminya.

“Hallo.”

“Hallo sayang. Maafkan aku belum bisa transfer uang buatmu. Insyallah besuk sudah gajian. Aku akan berusaha untuk bekerja semaksimal mungkin untuk keluarga kita. Bagaimana dengan Nadine anak kita?”

Weni hanya terdiam, dia bingung bagaimana bilang ke suaminya tentang kondisi Nadine yang sudah meninggal.

“Hallo sayang apakah kamu mendengarkanku?”

“Iya sayang aku dengar. Nadine baik-baik saja, dia sedang tidur. Aku tidak mau membangunkannya karena barusan saja dia tidur. Kasihan.” Weni mencari alasan agar tidak ketahuan oleh suaminya.

“Oh baguslah kalau begitu. Sayang aku ingin sekali melihat wajah bayiku mulai kau lahiran aku belum lihat bayi kita, dia pasti cantik sekali sama seperti ibunya.”

“Harus sekarang?”

“Iya cuma lihat wajahnya saja. Lagipula tidak akan menganggu dia bangun sayang.”

Weni tambah bingung harus bagaimana. Tidak mungkin dia melihatkan bayinya yang terbujur kaku.

“Sudahlah sayang, besok saja. Baiklah jaga dirimu baik-baik aku mau ke dapur dulu”

Weni mematikan teleponnya, dia menangis tersedu-sedu. Posisinya saat ini membuatnya bingung. Dendi suaminya memang belum tahu wajah anaknya karena dia belum punya ponsel yang mendukung video call. Wajar jika Dendi sangat ingin melihat bayinya. Semua sudah selesai akhirnya pemakaman bayinya. Weni akan pindah rumah selesai pemakaman bayinya. Jika dia tetap tinggal tetangga akan memberitahu kalau Nadine meninggal.

Bibi Sri melintas di depan UGD. Weni melihatnya. Dia segera menemui bibi Sri.

“Mbak Sri.” Sapa Weni.

“Weni.” Sri kaget dengan kehadiran Weni. ”Kenapa kamu ada disini? Siapa yang sakit?” Sri sedikit khawatir.

“Aku mbak Sri.” Weni berbohong.

“Sakit apa Weni kamu?”

“Cuma kecapekan saja. Mbak Sri kenapa ada disini? Siapa yang sakit? Weni memancing pembicaraan.

“Alhamdulilah ada kabar bahagia kalau nyonya Risa sudah melahirkan. Kamu tahu Weni selama penantian lima tahun akhirnya sudah dikaruniai putri kembar pula. Kalau kamu bagaimana Wen?”

“Eh, iya aku sudah punya anak mbak Sri. Sejak aku resign dari sana aku program kehamilan. Akhirnya aku diberi putri namanya Nadine.” Weni lagi-lagi berbohong.

“Syukurlah Weni akhirnya penantian selama dua tahun kamu mempunyai anak. Dimana anakmu sekarang?”

Duh, kenapa sih mbak Sri ini banyak tanya saja. Aku menyesal tadi menyapa orang ini. Batin Weni.

“Anakku dirumah mbak Sri.”

“Oh ... Salam iya untuk anakmu. Kamu tidak ke nyonya Risa untuk lihat bayinya.”

“Tidak mbak Sri. Saya takut dia masih marah kepadaku karena masa lalu kemarin.”

“Kemungkinan tidak Weni. Tunggu kamu tadi Khan gendong bayi cepat sekali kamu ke rumah. Bayimu tidak apa-apa ditinggal sendiri?” Sri penasaran.

Weni lagi-lagi tidak bisa membalas ucapannya mbak Sri, dia takut makin lama dia ketahuan kalau bayinya sudah meninggal dan rencana untuk menculik bayi Risa gagal.

“Mbak Sri saya kedalam dulu iya.” Weni langsung meninggalkan Sri yang masih bingung. Sri hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, dia langsung pergi ke kantin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status