Vi Ananda's POV
Setelah turun dari mobil yang di kemudikan Didit, aku berjalan tergesa menuju ruang IGD. Didit dan Sekar yang menggendong Abian berjalan menyusul di belakangku.
Sampai di depan pintu kaca, seorang perawat laki-laki menahanku. "Maaf, Ibu ingin menjenguk siapa?" Dia bertanya.
"Saya istrinya Pak Ilham yang kemarin pagi kecelakaan tunggal."
"Oh, beliau ada di ruang perawatan. Mari saya antar."
Aku mengikuti perawat menyusuri lorong rumah sakit. Didit dan Sekar ikut melangkah cepat mengikuti di belakang.
Pintu kamar perawatan di dorong oleh perawat tadi. Mas Ilham duduk kursi sebelah brankar, tempat berbaring Nino, sopirnya. Aku menubruknya, sampai dia menjauhkan tangan kanannya yang terbalut perban dariku.
Melihatnya bisa duduk dan bercanda dengan sopirnya aku merasa lega. "Mas, enggak apa-apa?" tanyaku.
&
Petra's POVSetelah Exel tidur aku keluar kamar perawatan untuk menelepon Melinda. Untuk memberitahunya kalau malam ini aku tidak bisa pulang. Sebab kemarin malam waktu aku tinggal pulang, Exel menangis mencariku saat terbangun tengah malam.Diagnosis dokter, Exel terkena typus.Dua kali panggilanku di abaikan. Pesan yang kukirim juga belum ada balasan. Marahkah dia?Dari teras rumah sakit aku menatap malam yang kelam. Rintik hujan turun perlahan. Hawa dingin menyapa tubuhku yang hanya terbalut t-shirt warna hitam.Satu deringan mengalihkan perhatian. Ada balasan dari Melinda. Hanya kata 'iya' sebagai balasan pesan panjang yang kukirimkan."Nak Petra," suara ibunya Winda memanggilku. Sudah tiga hari ini beliau mengunjungi putri dan cucunya.Beliau mengajakku duduk dan bicara di bangku besi tidak jauh dari depan k
Petra's POVAku segera masuk kamar setelah dokter Herlina pamitan. Lumayan lamalah mereka ngobrol tadi.Melinda masih berbaring, tapi tidak ada kompres lagi di keningnya."Bagaimana?" tanyaku sambil duduk di sampingnya. Kupegang jemarinya yang dingin."Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik," jawabnya bersamaan dengan senyum yang terbit di bibirnya.Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul sebelas malam. Aku menahan diri untuk tidak bertanya malam ini, Melinda butuh istirahat."Tidurlah, jaga kesehatanmu dan bayi kita." Kuusap perutnya yang masih rata. Tidak lama kemudian Melinda memejam.Setelah dari kamar mandi aku memeriksa ponsel. Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Winda. Exel memang sudah jauh lebih baik. Semoga saja besok dia sudah diperbolehkan pulang.Lelah seharian berkutat dengan pe
Petra's POVBau harum kopi yang dibawa Melinda masuk kamar membuyarkan lamunanku. Aku segera bangun dan duduk. Setelah meletakkan cangkir kopi di nakas, aku menarik pelan lengan Melinda untuk duduk di sebelahku."Lin. Masih ingat bagaimana dulu kita pertama kali kenal."Dahi istriku mengernyit. Tidak paham maksud dari kata-kataku."Aku magang di perusahaan Om Broto saat kamu masih kuliah di semester akhir. Kamu jual mahal tiap aku perhatikan."Tentu saja dia jual mahal, karena saat itu sedang hangat-hangatnya pacaran dengan Arvan.Melinda masih belum paham arah pembicaraanku."Kita mulai dekat setelah kamu wisuda dan kerja satu kantor dengan Abang."Melinda mau mengangguk. Jemarinya kugenggam erat dan kuletakkan di atas pahaku."Abang mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu hingga
Vi Ananda's POV "Kita berhenti minum dulu, Vi," kata Mas Ilham melambatkan laju kendaraan. Tidak jauh di hadapan ada warung kopi. Mobil terparkir di halaman samping warung. Untuk sampai ke kota harus menempuh perjalanan satu jam lagi. Mas Ilham membuka pintu untukku dan mengambil Abian dari pangkuan. Kami mau sambang pulang. Mas Ilham cuti dua minggu. Di samping kemarin juga di kabari kalau Mama mertua sedang sakit. Rindu putra bungsunya. Warung itu sepi. Hanya ada dua orang yang sedang minum kopi di salah satu bangku. Mas Ilham juga pesan kopi hitam, sedangkan aku pesan teh hangat dan roti bakar. "Nanti, Vi sama Abian, Mas antar ke hotel dulu. Baru Mas nemui Pak Petra ke kantornya." "Gimana kalau, Mas, nganterin aku ke rumah Pak Petra saja. Aku pengen ketemu sama Bu Melinda. Pengen ngobrol." Mas Ilham tampak berpikir sejenak.
Winda's POVNamun begitu aku masih mencintainya sampai detik ini. Ketika aku mulai terima jadi istri kedua, tapi justru Bang Petra makin menjauh. Pandanganku mulai mengabur. Aku mendongak untuk menghalau embun yang hendak menetes. Tari menggeser duduknya dan merangkul pundakku."Dari mana kamu tahu, kalau istrinya hamil lagi?" tanyaku penasaran."Aku melihatnya di mall kemarin sore." Berpikirlah secara waras, Win. Jangan begini terus. Sampai kapan kamu mau disebut sebagai pelakor, hah."Tangisku pecah. Pelakor? Menyakitkan sekali gelar itu. Aku memang wanita kedua, tapi aku tidak pernah menuntut Bang Petra untuk menceraikan istrinya. Tidak pernah sekali saja aku memintanya begitu.Memang aku pernah datang ke rumahnya beberapa kali atau menghubungi istrinya hanya untuk membuat kekacauan. Semua itu kulakukan karena aku hanya ingin perhatian. Aku ingin anakku di
Melinda's POVBang Petra pulang saat hujan deras mengguyur bumi, dia telat pulang hari ini. Wajahnya tampak sayu. Aku mengikutinya masuk kamar.Hidungku mencium bau minyak telon dari kemeja yang dipakai. Sepertinya dia baru pulang dari rumah Winda."Anak-anak sudah makan?" tanya Bang Petra."Sudah, nungguin Abang kelamaan akhirnya pada makan duluan. Mereka baru saja masuk kamar untuk belajar. Abang, mandilah dulu. Biar kusiapkan makan malam," kataku.Bang Petra mengangguk. Dia selalu begitu, meski sudah makan di rumah istri mudanya, kalau sampai rumah akan makan lagi meski sedikit. Hanya untuk menyenangkan hatiku.Opor ayam dan perkedel kentang telah kusiapkan di atas meja makan. Setengah porsi nasi sudah kutaruh di piringnya. Aku menunggunya di kursi meja makan.Cukup lama Bang Petra baru keluar kamar. Wajahnya yang terteku
Melinda's POVTaksi online yang kutumpangi melaju menuju sekolahnya Rama. Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 menit. Lima belas menit lagi lonceng sekolahnya Rama akan berbunyi.Aku menyuruh sopir taksi berhenti agak jauh dari pintu gerbang sekolah. Dari jarak hampir sepuluh meter aku bisa melihat mobil yang pernah di kendarai Arvan saat menemuiku waktu itu. Dia pun keluar dan berdiri di samping pintu mobilnya.Kami sama-sama menunggu kendaraan yang antar jemput Rama dan teman-temannya datang. Memang setelah bus itu menjemput Rama di rumah, kendaraan akan menjemput siswa lainnya. Makanya aku yang lebih dulu sampai di sekolah daripada Rama.Tidak lama kemudian mini bus yang biasa antar jemput Rama datang. Anak-anak turun dari bus. Kuperhatikan Rama memandang ke arah Arvan. Mereka saling pandang sejenak. Kemudian Rama melangkah memasuki gapura sekolah saat seorang temannya mengajak ma
Melinda's POVHening.Aku memandang beberapa pengunjung yang baru datang. Mereka sepertinya dari perjalanan jauh. Dari gesturnya Arvan tampak gelisah."Kamu nggak apa-apa, nggak masuk kerja hari ini?""Nggak apa-apa."Hening lagi.Dulu, aku berpikir. Jika bertemu Arvan lagi, ingin rasanya menumpahkan segala kekesalan. Ingin memaki, menyumpahi, bahkan ingin menghajarnya semampuku. Namun kini setelah bertemu yang ada hanya haru. Sisi hatiku yang lain percaya, Arvan tidak mungkin sekejam itu."Kenapa waktu itu kamu nggak segera kembali ke ibukota setelah ayahmu tiada?"Arvan menatapku. "Bukannya tidak ingin segera kembali. Tapi keadaan yang nggak bisa membuatku segera meninggalkan rumah. Meski telah merawat ayah bertahun-tahun, tapi ibuku tetap terpukul juga saat ayah meninggal. Terus dua adikku juga