Lusiana masih berada di dalam ruangannya hingga matahari sudah mulai berganti tugas dengan bulan. Ia baru saja selesai mengoperasi seorang pria dengan luka tembak di bahu nya. Entah sudah berapa kali ia menemukan korban dengan luka tembak. Sejak kedatangan Jason, banyak hal aneh yanh terjadi. Mulai dari kasus pembunuhan anak, lansia, aparat kepolisian, bahkan anggota pasukan khusus. Lusiana mendengus pelan, memikirkan hal yang sama sekali diluar dari pekerjaannya.
"Apa benar dia yang sudah membunuh adik ku?" Tanya Lusiana pada dirinya sendiri.
Lagi lagi Lusiana mendengus sambil merebahkan kepalanya di atas tumpukan kertas di meja kerja nya. Lusiana kini berada dalam dua sisi yang bersinggungan. Pada satu sisi, ia merindukan sosok Jason yang selalu muncul tanpa sepengetahuannya. Namun sisi lainnya membenci sosok Jason yang ternyata adalah orang yang sudah merenggut nyawa adiknya sendiri. Walaupun sampai saat ini Lusiana masih belum menemukan kebenara
Hari sudah malam, namun Dave dan rekannya masih berada di kawasan hutan. Mereka lupa jalan untuk tiba ke jalan utama yang mengarah keluar dari hutan. Dave merutuki dirinya yang dengan bodoh meninggalkan mobil dalam kondisi menyala. Ia mengira hanya akan memakan waktu yang sebentar, namun ternyata akhirnya mereka melupakan jalan untuk keluar dari hutan ini.Saat tengah lelah berjalan, Dave dan rekannya melihat kilauan cahaya dari sebuah kabin. Tentu saja itu adalah kabin yang pernah ditinggali oleh Jean dan kawan-kawannya. Namun sekarang kabin itu hanya di tinggali oleh Keanna dan Nancy. Sedangkan asisten Keanna saat ini masih belum kembali. Dave dan rekannya itu berjalan mendekati kabin tersebut dengan cara mengendap-endap.Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi, asisten Keanna sudah berada di belakang mereka dengan membawa mayat di kedua tangannya. Langkah Dave terhenti saat terdengar suara seperti sesuatu yang tergesek dengan tanah berasa dari b
Lusiana terbangun saat terdengar suara dering telepon rumah. Ia menyipitkan matanya saat sinar matahari pagi secara langsung menerpa kornea matanya. Ia merasakan tubuhnya sangat sakit karena tidur dalam keadaan terikat di kursi. Punggungnya terasa sebentar lagi akan mati rasa. Lusiana menyapukan pandangannya ke segala arah, namun ia tak menemukan sosok wanita yang menculiknya semalam. Lusiana menggerak-gerakan kedua tangannya yang terikat, berusaha membuat tali itu sedikit longgar. Ternyata ikatan itu sangatlah kencang sampai tak bisa di longgarkan dengan cara seperti itu.Lusiana berusaha mengambil ponselnya yang berada di saku belakangnya. Sangat sulit untuk meraih ponsel itu walau jaraknya yang tak jauh. Akhirnya Lusiana dapat mengambil ponselnya tersebut. Lalu ia yang sudah menghafal fitur di ponselnya pun segera menekan panggilan darurat. Ia dapat merasakan getar dari dering panggilan tersebut. Sampai akhirnya getar itu berhenti, ia yakin bahwa panggilan sudah
Jason tiba di depan sebuah gedung besar yang merupakan titik tempat dimana Lusiana berada. Jason memberikan selembar uang kepada sopir tersebut. Untuk seketika, sopir itu menatap selembar uang tersebut. Lalu sopir itu mengalihkan tatapannya pada Jason yang masih berada di dalam mobil."Tuan sudah jatuh miskin?" tanya sopir tersebut.Jason mengernyit bingung. "Apa kau bilang?"Sopir itu tak mengambil uang yang di berikan oleh Jason. "Maaf tuan, uangnya kurang."Jason mengacak rambut belakangnya, kemudian mengambil ponsel dari saku celana nya."Berikan nomor rekening mu!" ujar Jason dengan ketus.Sopir itu terkekeh pelan, lalu mengetikan nomor rekeningnya di ponsel Jason. Setelah selesai bernegoisasi, Jason segera keluar dari dalam mobil yang sudah menghabiskan uangnya tersebut. Jason berlari masuk ke dalam gedung tersebut. Jason menyapukan pada seisi bangunan tersebut. Terdapat beber
Jason terdiam di dalam taxi, diam-diam ia terus memperhatikan Lusiana. Mereka baru berpisah kurang lebih tiga hari, namun Jason seperti melihat sosok yang berbeda. Kini tatapan Lusiana terasa sangat dingin. Saat Jason berbicara pun Lusiana hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Mungkin seharusnya Jason tak menyelamatkannya agar wanita itu terus berbicara dengannya."Kau ingin pulang ke rumah?" Tanya Jason."Hm." Jawab Lusiana dengan mata yang terus menatap ke luar kaca mobil.Jason menganggukan kepalanya beberapa kali, kemudian ia menuliskan alamat rumah Lusiana dan memberikannya pada sopir taxi tersebut."Hati-hati di jalan." Ujar Jason sambil tersenyum.Jason memberikan sisa uangnya untuk membayar taxi tersebut. Lalu ia keluar dari mobil, ia dapat melihat Lusiana yang kini menatapnya dari dalam mobil. Jason lagi-lagi tersenyum hingga akhirnya taxi itu berlalu dari hadapannya. Jason menghela nafas
Jean kini sudah berada di Chicago, tepatnya di depan kediaman Jason yang tertutup rapat. Jean memerintahkan Watt untuk menunggu di luar, sedangkan ia akan mencoba memanjat pagar yang tak terlalu tinggi itu. Jean yang sudah berada di dalam pekarangan rumah itu, tak menemukan adanya mobil Jason. Jean pun melanjutkan melakukan pencarian ke dalam rumah Jason dengan cara membuka paksa pintu berpengaman tersebut. Terakhir kali ia datang, Jason masih menggunakan Fingers print. Namun kali ini Jason sudah menggantinya dengan fitur suara."Anak itu benar-benar membenci ku." Gumam Jean yang sudah berada di dalam rumah.Jean melihat semua nya masih tertata rapih. Hanya ada beberapa piring kotor yang selesai di gunakan untuk makan. Jean mengambil ponselnya yang mati, lalu menchargernya. Setelah itu Jean berlanjut ke kamar Jason yang tak terkunci. Sama sekali tak ada tanda kehadiran Jason di rumah tersebut. Karena tak ada Jason di rumah itu, Jean memutuskan untuk
Jason menatap peluru yang hampir tiba di depan wajahnya. Jason terus menatapnya, sampai tiba-tiba peluru itu jatuh tak cukup jauh darinya. Jason mengerjapkan matanya sesekali. Ia mengernyit bingung dengan posisi masih berada di kursi roda. Si penembak pun terlihat bingung melihat tembakannya yang tak mengenai apapun itu. Ia mengganti senjata nya lagi, lalu mulai menembak ke arah Jason tanpa membidiknya. Lagi-lagi peluru itu jatuh di tempat yang sama. Jason menepuk dahi nya frustasi. "Jaraknya terlalu jauh, bodoh!" Jason menggerakan kursi roda nya ke arah gerbang. Si penembak yang melihat Jason mulai mendekat pun segera mengemasi barangnya dan kabur menggunakan mobil yanh terparkir tak cukup jauh darinya. Jason memeriksa kotak surat yang ada di luar pagar. Namun tak ada apapun di dalam kotak surat. "Dia tidak berniat mengganggu keluarga ini...." Gumam Jason sambil tersenyum. "Tapi dia berniat membunuhku." &n
Jason mengambil sesuatu dari saku celana nya. Lusiana dapat melihat kotak merah yang ada di tangan pria tersebut. Seolah-olah sedang menyiapkan surprise, Jason menyembunyikan kotak itu di belakang tubuhnya. Jason meringis saat melihat Lusiana yang menatapnya seolah mengintrogasi."Apa kau mau menikah denganku?" Tanya Jason.Jason menggeser kursinya, lalu ia berlutut di depan Lusiana. Tangannya perlahan membuka kotak berwarna merah tersebut. Jason tersenyum hangat dengan mata yang tak lepas dari Lusiana."Mengapa kau ingin menikah denganku?" Tanya Lusiana.Lewat matanya, Jason mengisyaratkan Lusiana untuk mengambil cincin tersebut. Namun Lusiana tak kunjung menerima cincin tersebut. Akhirnya Jason menutup kembali kotak tersebut, lalu ia kembali duduk di kursi nya. Jason berdeham pelan sebelum memulai pembicaraannya."Sebenarnya aku akan segera mati." Ujar Jason dengan tenang.
Pada malam hari Jean dan Watt baru tiba di depan gerbang yang menjulang tinggi. Menurut alamat yang di berikan Jason, rumah ini adalah titik yang sangat tepat. Jean menekan bel yang ada di dinding samping gerbang tersebut. Tak lama kemudian keluar seorang gadis dari pintu rumah tersebut, gadis itu tak lain adalah Melly. Jean menyipitkan mata nya untuk melihat jelas siapa gadis tersebut. Jarak dari gerbang ke rumah itu memang cukup jauh, lebih dari 30 meter hingga rumah itu terlihat cukup kecil. Halaman yang begitu luas, pasti rumah ini dimiliki oleh seseorang yang berpengaruh.Setelah cukup lama memandangi gadis itu berjalan, akhirnya Jean dapat melihat wajah gadis tersebut dalam jarak 3 meter. Ternyata Jean sama sekali tak mengenali gadis tersebut. Jean menatap Watt yang sedang menatapnya bingung."Apa kita salah alamat?" Tanya Jean.Watt mengedikan bahunya. "Coba kau tanya saja."Saat sudah tiba di