LOGINDr. Raka Permadi, seorang sejarawan jenius, telah mengubur masa lalunya dalam arsip kuno, lari dari bayang-bayang ayahnya, seorang dalang legendaris yang kematiannya diselimuti misteri. Namun, ketika serangkaian pembunuhan brutal terjadi di Yogyakarta—setiap korban ditata menyerupai adegan tragis dari wiracarita Mahabharata—Raka dipaksa keluar dari keheningannya oleh Kompol Kirana, seorang detektif pragmatis dari Jakarta. Saat Raka menyadari gaya pembunuhan ini adalah tiruan sempurna dari pakem sang ayah, penyelidikan ini berubah menjadi pencarian kebenaran personal. Di antara manuskrip dan suluk kuno, Raka dan Kirana berpacu melawan Sang Dalang, seorang pembunuh cerdas yang mementaskan keadilan berdarah di jalanan kota. Namun, Raka segera menemukan bahwa ini bukanlah sekadar pembunuhan. Sang Dalang sedang menyiapkan panggung untuknya, sebuah babak final di mana dirinya harus memilih: menjadi pahlawan dalam lakon mematikan ini, atau menjadi korban berikutnya.
View MoreDr. Raka Permadi terperanjat dari kursi rotan peninggalan ayahnya, suara gedoran di pintu joglo membelah keheningan malam. Dia mengenakan sarung batik yang usang, rambut gondrongnya yang diikat seadanya terurai saat Dia berjalan gontai melewati lorong-lorong kayu berukir, menuju sumber kegaduhan.
"Dr. Permadi, kami dari kepolisian!" Suara berat itu terdengar lagi, lebih mendesak agar segera dibukakan pintu.
Raka membuka pintu kayu berdaun ganda. Di depan pintu telah berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap, siluet mereka diterangi lampu sorot mobil patroli.
"Ada apa?" tanyanya seraya mata menyipit, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang benderang yang menyorot.
Seorang polisi muda dengan wajah kaku melangkah maju. "Dengan Dr. Raka Permadi? Filolog dari Universitas Gadjah Mada?"
"Benar. Tapi saya sudah lama tidak aktif mengajar. Ada apa ini?" Raka menggeser sedikit badannya, membentuk celah kecil pada pintu, seolah ingin menutupi apa yang ada di belakangnya.
Polisi muda bernama Bripka Drajat itu menghela napas. "Maaf mengganggu, Dokter. Tapi ada kasus pembunuhan. Kompol Kirana Prameswari yang meminta Anda untuk datang. Beliau menunggu di TKP."
Raka memicingkan mata, dahinya berkerut. Dia mencoba menelaah maksud polisi muda itu, karena dirinya tidak paham ada keterkaitan apa antara dirinya dengan pembunuhan tersebut.
"Saya rasa ada kesalahan. Saya bukan forensik, juga bukan penyidik. Saya hanya sejarawan." Raka mencoba menutup pintu, namun Drajat dengan sigap menahan daun pintu.
"Dr. Permadi, tolong. Keadaannya cukup pelik. Dan Kompol Prameswari sangat bersikeras. Beliau bilang, hanya Anda yang bisa memahami pesan si pelaku." Drajat menatap Raka dengan tatapan memohon, ada jejak keputusasaan di matanya.
Pesan si pelaku? Sebuah firasat tak menyenangkan menghinggapi pikirannya. Dia berupaya membuang jauh-jauh bayangan mengerikan itu.
"Apa ada hubungannya dengan kasus yang kemarin?" Raka bertanya, teringat samar-samar berita tentang seorang konglomerat yang tewas aneh di sebuah lokasi konstruksi. Berita itu membuatnya bergidik, sebab ada desas-desus tentang detail-detail yang sangat mengerikan.
Drajat mengangguk. "Lebih parah. Yang sekarang jauh lebih dramatis. Mohon ikut kami, Dok."
Raka mendesah panjang. Mengabaikan firasatnya, dia akhirnya mengalah, kemudian mengambil kemeja batik yang tergantung di dekat pintu, memakainya dengan tergesa. Setiap gerakannya memancarkan keengganan. Meninggalkan rumah joglo saat malam terasa seperti meninggalkan bagian dari dirinya, menanggalkan perisai isolasi dirinya dari dunia luar.
Perjalanan singkat di dalam mobil patroli terasa panjang dan mencekam. Raka memejamkan mata, berusaha mengabaikan lampu-lampu kota yang melintas cepat dan ingatan-ingatan yang mulai menyeruak. Dia benci keramaian. Dia benci hiruk pikuk, dan dia benci segala sesuatu yang mengingatkannya pada panggung, pada kelir, pada bayangan yang menari diiringi gamelan, sebuah warisan yang benar-benar dia kutuk.
Mereka tiba di sebuah kawasan elit, di depan sebuah rumah yang lebih menyerupai istana modern. Lampu sorot polisi menembus kegelapan, menyinari dinding marmer dan gerbang besi tempa yang megah. Aroma anyir darah samar-samar mulai menusuk hidung Raka.
Di teras, puluhan anggota polisi hilir mudik. Suasana terasa tegang, penuh bisikan dan perintah singkat. Raka melangkah keluar dari mobil, matanya langsung tertuju pada sesosok perempuan yang berdiri tegap di tengah kerumunan, memancarkan aura otoritas yang tak terbantahkan. Dia mengenakan seragam dinas, rambutnya diikat rapi, wajahnya memperlihatkan sikap tegas.
"Dr. Permadi? Terima kasih sudah mau datang." Kirana menyapa, nadanya lugas tanpa basa-basi.
Dia menatap Raka, dari ujung kepala hingga kaki, seolah menimbang setiap inci dari tubuh lelaki itu dengan teliti.
Raka mengangguk canggung. "Kompol Prameswari. Saya masih tidak yakin apa yang bisa saya lakukan."
"Anda akan tahu sebentar lagi." Kirana memberi isyarat ke dalam rumah. "Ikuti saya."
Mereka masuk ke dalam, melewati ruang tamu yang dihiasi patung-patung modern dan lukisan abstrak mahal. Aroma darah semakin kuat, bercampur dengan bau desinfektan dan sesuatu yang asam—mungkin muntahan. Setiap langkah Raka terasa berat, seolah dia berjalan di atas kenangan yang sekian lama dia coba kubur, di atas reruntuhan masa lalu.
Kompol Kirana mengarahkannya menuju ke sebuah ruang kerja yang luas, dihiasi lemari buku dari kayu jati ukir, meja kerja marmer, dan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke taman. Namun, perhatian Raka tak tertuju pada kemewahan dekorasi. Fokusnya langsung jatuh ke tengah ruangan.
Di sana, sebuah panggung kecil telah dibuat. Bukan panggung sungguhan, melainkan sebuah penataan artistik yang mencolok dan mengerikan. Di tengah panggung tiruan itu, tergeletak sesosok lelaki paruh baya, tubuhnya membengkak dan memucat, terbaring dalam posisi yang aneh. Lidahnya ditarik keluar, memanjang secara tidak wajar dari mulutnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang menariknya secara brutal. Matanya melotot, pandangan kosongnya menerawang ke langit-langit, ke atap-atap yang berukir rumit.
Sekujur tubuh Raka menegang. Dia tahu posisi seperti itu, bahkan mengenalnya dengan baik. Di sekeliling mayat, terhampar berbagai properti. Ada beberapa buah dadu kuno yang berserakan, sebuah cawan berisi cairan merah kental yang menyerupai darah, dan yang paling mencolok adalah sebuah patung kecil berbentuk burung gagak. Patung itu terbuat dari kayu eboni dengan mata yang terbuat dari batu merah delima, bertengger di bahu si korban.
Bau busuk yang menusuk hidung membuat Raka nyaris terhuyung. Dia menekan tangannya ke mulut, menahan gejolak di perutnya. "Sengkuni," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, sebuah pengakuan yang keluar begitu saja.
Kirana yang berdiri di sampingnya, menoleh. "Apa yang Anda katakan?"
Raka menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Sengkuni. Ini adalah adegan kematian Sengkuni."
"Sengkuni siapa? Maksud Anda ... boneka wayang?" Nada Kirana terdengar skeptis, sedikit meremehkan, menganggap penjelasan Raka terlalu aneh untuk diterima akal sehatnya.
"Bukan boneka. Sengkuni adalah tokoh antagonis licik dalam wiracarita Mahabharata, paman dari para Kurawa, dalang di balik intrik dan kecurangan yang menyebabkan pecahnya perang Bharatayuddha," jelas Raka, tiba-tiba terdengar seperti seorang dosen yang sedang mengajar. Dia berupaya memisahkan dirinya dari kengerian adegan dengan bersikap ilmiah, menarik diri ke ranah intelektual.
"Jadi, Anda bilang pembunuh mereplikasi cerita kuno? Semacam ritual?" tanya Kirana, alisnya bertaut.
"Tidak hanya mereplikasi. Dia mementaskannya," Raka mengoreksi, kemudian melangkah lebih dekat, mengabaikan rasa mualnya yang perlahan mereda.
"Lidahnya yang ditarik keluar... itu adalah ciri khas kematian Sengkuni. Bima, salah satu Pandawa yang melakukannya. Dadu-dadu itu ... Sengkuni adalah ahli permainan dadu, Dia menggunakan keahliannya untuk memenangkan taruhan dalam sebuah pertandingan yang curang, menguras kekayaan Pandawa. Dan gagak ... seringkali menjadi simbol pertanda buruk, atau mungkin, metafora untuk karakternya yang licik dan suka menyebarkan kabar buruk."
"Jadi, Anda bilang semua punya makna?" Kirana menunjuk properti-properti di sekeliling mayat.
"Bukan hanya makna. Ini adalah pakem. Sebuah aturan baku dalam pewayangan, bagaimana sebuah adegan harus ditampilkan, bagaimana seorang tokoh harus mati."
Raka menelusuri setiap detail dengan matanya, perhatiannya beralih dari kengerian ke analisis. Dia melihat guratan pada patung gagak, pola ukiran pada dadu.
"Pengerjaan yang luar biasa teliti. Sangat artistic, terlalu artistik untuk sekadar pembunuhan biasa."
"Korbannya adalah Bapak Hartono, seorang politikus terkemuka, ketua Partai Demi Rakyat," Kirana memberikan informasi sembari menatap tajam Raka.
"Dia ditemukan pagi tadi oleh asistennya. Tidak ada jejak paksa masuk. Tidak ada sidik jari lain selain miliknya. Kamera CCTV di luar rumah rusak sejak semalam. Tidak ada satu pun saksi."
"Politikus ...." Raka bergumam, pikirannya menghubungkan titik-titik. "Sengkuni yang selalu bermain politik kotor. Menciptakan perpecahan, memprovokasi konflik untuk keuntungan pribadi."
"Apakah dia pernah terlibat dalam skandal perjudian? Atau mungkin korupsi besar yang melibatkan manipulasi politik?" Raka bertanya seraya menoleh pada Kirana dengan tatapan penasaran.
Kirana terlihat sedikit terkejut dengan kecepatan Raka menganalisis. "Banyak. Pak Hartono punya banyak skandal. Tapi tidak ada yang sejelas kaitan dengan permainan dadu atau lidah yang ditarik."
"Lidah Sengkuni ditarik keluar karena kebohongan dan fitnahnya yang tak terhingga," Raka menambahkan, nada suaranya terdengar jauh lebih serius sekarang. "Kematian yang ironis."
Kompol Kirana mendekat, suaranya merendah. "Dokter, saya tidak peduli dengan ironi atau filosofi. Saya perlu tahu mengapa. Mengapa pembunuh memilih cara mengerikan sedemikian rupa? Dan apakah ada hubungannya dengan kasus pembunuhan pengusaha Duryudana minggu lalu?"
Raka menatap Kirana. Tiba-tiba dia merasakan beban berat di pundaknya. Kata "Duryudana" menggaung di benaknya. Pengusaha properti yang tewas digada. Dia berusaha menepis, menjauhkan ingatan itu dari alam sadarnya.
"Pengusaha properti Duryudana?" Raka mengulang, mencoba terdengar netral. Namun, ada getar halus dalam suaranya yang tak luput dari perhatian Kirana.
"Ya. Bapak Susanto. Ditemukan tewas di lokasi proyeknya yang terbengkalai. Tubuhnya remuk, seperti dihantam dengan gada. Ada ukiran-ukiran aneh di gagang gada properti yang ditemukan di dekat jasadnya." Kirana mengamati reaksi Raka, setiap perubahan ekspresinya terekam mata jelinya.
Raka memejamkan mata sesaat. Gada. Ukiran aneh. Semua itu adalah pakem ayahnya. Ini terlalu familiar, tetapi juga terlalu mengerikan. Sebuah gambaran muncul dalam benak: tangan ayahnya yang kurus, mengukir dengan telaten setiap detail pada wayang dan properti. Dia bisa mencium bau damar dan kayu ukir. Dia bisa mendengar suluk ayahnya yang parau mengiringi malam.
Dia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari bayang-bayang sang ayah. Ki Anom Suroso, dalang legendaris yang wafat secara misterius. Sejak kematian sang ayah, Raka menutup diri, menganggap pewayangan sebagai kutukan, peninggalan yang membawa duka dan tanda tanya. Dia mengasingkan diri dalam dunia filologi, di antara buku-buku mati dan manuscript kuno, bertekad untuk tidak pernah lagi menyentuh kelir atau memainkan wayang.
Namun, kini kengerian di hadapannya terlalu mirip dengan apa yang ayahnya pernah ajarkan. Ini bukan sekadar replika cerita. Ini adalah sebuah pertunjukan. Sebuah lakon kematian yang digelar dengan pakem yang sangat dia kenali, pakem yang terukir dalam darah dan ingatan.
"Duryudana adalah pemimpin Kurawa, raja Hastinapura," Raka menjelaskan, suaranya kini lebih berat, tidak lagi murni akademis, melainkan bercampur dengan ketakutan yang mendalam. "Dia seorang yang tamak, haus kekuasaan, dan ambisius. Kematiannya di tangan Bima juga menggunakan gada. Tulangnya remuk."
"Anda tahu detailnya?" Kirana mendesak, matanya semakin menajam.
"Itu adalah bagian dari narasi pewayangan. Tapi ... detail ukiran pada gada yang Anda sebutkan ... apakah itu detail tertentu? Simbol yang spesifik misal?" Raka bertanya dengan pikiran terus mencoba menganalis.
Kirana mengangguk. "Ada simbol naga. Naga Jawa yang sedang melilit sebuah trisula. Kenapa?"
Raka merasakan jantungnya berdebar kencang, memompa darah dingin ke seluruh tubuh lebih cepat. Dia sangat tahu simbol itu, ukiran khas ayahnya, tanda tangannya pada setiap properti pewayangan penting yang pernah dia buat. Sebuah motif yang diajarkan secara khusus pada murid-muridnya yang paling berbakat. Hanya sedikit yang bisa menguasai detailnya, yang bisa meniru kesempurnaannya.
Sebuah kerutan muncul di dahi Raka, keningnya basah oleh keringat dingin. DunDia yang selama ini Dia hindari, kini menyeretnya kembali dengan cara paling brutal, paling personal. Pertahanan yang Dia bangun runtuh dalam sekejap, tak berdaya di hadapan bukti yang begitu nyata.
"Kita harus bicara. Di tempat yang lebih tenang," Raka berkata, suaranya rendah dan serak, matanya menatap tajam ke arah Kirana, seolah baru saja melihat hantu yang familDiar. Sebuah nama, yang selama ini Dia paksa untuk lupakan, kini menari-nari di ujung lidahnya, sDiap untuk diucapkan. Dia merasakan bahaya yang baru, yang jauh lebih personal dari sekadar teori akademis. Pertunjukan mengerikan ini bukan hanya tentang dendam, tapi juga tentang warisan yang Dia tinggalkan, dan sebuah panggilan yang tak bisa Dia hindari. SDiapa pun dalang di balik layar, Dia sedang menantang Raka secara langsung, memaksanya untuk kembali ke panggung yang Dia tinggalkan, ke medan perang Kurusetra pribadinya.
Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d
Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di
Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan
Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury
Dua jam kemudian, menjelang fajar, mereka akhirnya berhasil tiba di markas sementara yang sudah diamankan oleh tim Kirana, jauh di pinggiran kota, sebuah rumah kosong yang disewa atas nama samaran. Kirana memerintahkan Banyu segera diisolasi, tanpa diberi akses bicara kepada siapa pun kecuali dia. Ancaman Seno, yang berhasil ditembak ban mobilnya oleh Kirana, telah mengubah Banyu menjadi sekadar barang bukti berharga—dan target eliminasi. Sementara itu, Kirana mulai menangani lukanya dan Raka harus menerima jahitan darurat di lengan kanannya.Setelah memastikan semuanya aman, Kirana menghampiri Raka di ruang utama, membawa dua cangkir kopi panas.“Bagaimana Jaka?” tanya Raka, menatap lurus ke arah cangkirnya, menghindari kontak mata. Ia merasa terlalu rentan setelah momen emosional yang terpotong peluru itu.“Aman. Tapi dia terkejut. Seno tidak main-main. Dia mencoba mengorbankan Jaka di Solo, menempatkan mayat Gatotkaca di sana, seolah-olah Banyu masih mengendalikan lakon. Padahal Se
Setelah lima belas menit perjalanan gila, Kirana memperlambat laju mobil di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, di luar area ring road selatan. Dua perwira Solo tiba beberapa detik kemudian, dengan wajah pucat dan seragam basah kuyup. Mereka hanya berhasil mengamankan Banyu. Motor-motor penyerang telah hilang di balik pekatnya hujan.Kirana keluar dari mobil, tidak memedulikan dingin dan basahnya jas hujan. Raka ikut keluar, mengikuti insting. Ia berjalan menghampiri Kirana, melihat bahu wanita itu naik turun dengan cepat.Kirana menyandarkan tubuhnya ke kap mobil. Rambutnya basah, menempel di dahi dan lehernya. Pakaiannya menampakkan cetakan pistol di pinggangnya yang ramping. Ia menatap Raka, sorot matanya melembut—atau mungkin hanya pantulan lampu jalan yang remang-remang.“Mereka ingin membunuh kita, Raka,” bisik Kirana, suaranya parau, jauh dari nada tegas seorang Kompol Bareskrim. Ia berbicara, tidak kepada partner kerjanya, tetapi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments