Share

Sean

Baru saja Chris mau membuka pintu, tiba-tiba pintunya terbuka lebar dengan sendirinya dan Sean melesat cepat. Sangat cepat sehingga membuat keempat polisi yang berjaga terkejut.

Entah bagaimana, Sean yang terlihat kotor itu mampu melewati mereka begitu saja dan melompat tanpa persiapan ke gedung sebelah yang padahal jaraknya sekitar satu setengah meter. Untungnya tinggi gedungnya lebih rendah jadi lebih memungkinkan.

"Kayden dan Ethan kau kejar dia. Jangan sampai lepas. Aku dan Samuel akan mengabarkan yang lain," ujar Chris yang langsung menginformasikan apa yang terjadi pada Jessica.

Setelahnya, Chris dan Samuel memilih untuk menggeledah gudang tempat bersembunyi Sean yang sama sekali tidak terlihat layak ditinggali. Seperti yang diketahui, tempat tersebut telah beralih fungsi menjadi gudang. Sehingga banyak barang tidak terpakai tertumpuk begitu saja, beberapa bahkan sudah menjamur.

"Kita butuh team forensik disini," ujar Chris melalui radio panggilnya sesaat seelah melihat keadaan gudang.

Di sisi lain, Ethan dan Kayden masih mengejar Sean. Remaja laki-laki itu bahkan melompati tangga darurat satu gedung ke gedung lainnya dengan mudah. Seperti atlet parkour.

"Wow!" teriak Kayden yang masih mengejar Sean bersama Ethan.

Sedangkan Ethan masih berkonsentrasi mengejar Sean walau sempat terjatuh karena tertabrak orang yang sedang jalan. Karena Sean mulai melewati gang kecil daerah pertokoan.

"Maaf! Maaf!"

"Polisi, tolong minggir."

Ethan dan Kayden berkali-kali mengucapkan kalimat yang sama saat harus melewati orang yang belalu lalang bahkan terpaksa membiarkan pedagang yang barang dagangannya berantakan karena tabrakan dengan Sean tanpa membantu.

"Arghh ... kenapa anak itu cepat sekali sih?" gerutu Kayden yang mulai lelah.

Ethan tidak mempedulikannya. Ia lebih memilih menyimpan energi bicaranya untuk mengejar Sean yang hampir mencapai perempatan jalan raya. Akan semakin tidak terkejar dirinya jika ia melewati perempatan jalan raya itu. Jeleknya, Sean bisa saja tertabrak.

Kedua polisi berbeda pangkat itu hampir bernapas lega ketika sebuah mobil patroli polisi lain menghalangi lari Sean. Namun dengan cepat kelegaan mereka berubah menjadi gerutuan ketika Sean dengan mudah melompat dan merosot di atas kap mesin. Sehingga membuat Kayden dan Ethan juga ikut melakukan hal yang sama.

"Aish!" gerutu Kayden karena melihat Sean tidak juga berhenti. Namun, sesaat setelah gerutuan Kayden, sebuah bunyi benturan kencang terdengar. Menyebabkan keduanya membeku sesaat tapi langsung dengan cepat pulih dan berlari ke arah tabrakan.

Dengan hati-hati Ethan mendekati Sean yang tergeletak tidak berdaya di atas genangan darahnya sendiri dan mengecek nadinya. Untungnya Sean masih hidup walaupun sepertinya tidak bisa dikatakan baik juga.

Saat Ethan berjongkok dekat Sean, Kayden menghubungi ambulance dan atasannya, memberitahu apa yang terjadi. Untungnya orang-orang yang mulai berkerumun tidak berusaha mendekat, walaupun tetap membuat risih.

Si pengemudi yang menabrak Sean sudah diamankan oleh Ethan walau kemungkinan besar hanya dikenai denda karena bukan salahnya kalau Sean tiba-tiba melompat di depan mobilnya.

Bersamaan dengan kedatangan ambulance, Jessica juga tiba di tempat bersama dengan June dan Chris. Kayden yang melihatnya langsung memberi hormat dan mulai menceritakan kronologis lengkapnya. Ia melaporkan sambil mengiringi langkah Jessica yang mendekat ke arah Sean yang sudah berada di atas stretcher.

"Aku akan menemaninya," ujar Ethan tiba-tiba. "Harus ada yang mengikutinya kan? Secara dia adalah saksi yang mungkin saja berada dalam bahaya," lanjutnya.

Jessica menatap polisi yang tiba-tiba menyodorkan dirinya itu dengan tatapan menyelidik, namun akhirnya menyetujuinya.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Ethan menatap Sean lamat-lamat. Keadaannya mengkhawatirkan. Bukan hanya karena luka-luka karena tertabrak, tetapi karena keadaan tubuhnya yang sangat kotor. Entah apa yang remaja itu lakukan selama menghilang.

¤¤¤

Seorang pria berusia akhir dua puluhan, berdiri tenang menatap pemandangan gedung-gedung pencakar langit dari kaca kantor mewahnya sambil menggenggam gelas kristalnya yang berisikan cairan berwarna kuning keemasan.

"Sir," sapa sekretarisnya sambil membungkukkan tubuhnya.

"Kau sudah menemukannya?" Suara dingin si pria ke sekretarisnya, tanpa repot-repot menoleh atau sekedar membalas sapaannya.

"Maafkan aku, tapi kami kesulitan mendapatkan jejaknya setelah kebakaran ...."

"Dengarkan aku! Wanita itu adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan yang bisa mematenkan kekuatan kita. Aku tidak peduli bagaimana caranya! Kau harus menemukannya!" desis si pria yang kini menatap dengan tatapan menusuk yang dingin ke arah sekretarisnya. Sedangkan yang diajak bicara hanya mampu menundukkan kepalanya tanpa menjawab.

Dengan kasar, si pria membuang napasnya sebelum akhirnya berusaha menettalkan emosinya.

"Lalu kapan cenayang gila itu datang?" tanyanya lagi pada sekretarisnya.

"Lusa. Ia akan datang setelah mendapatkan ijin membawa benda keramat yang akhirnya ia temukan," lapor si sekretaris.

"Baiklah, kau boleh keluar. Dan temukan wanita itu secepatnya. Kuyakin dia tidak kembali ke negaranya," perintahnya untuk terakhir kali sebelum sang sekretaris membungkukkan badannya lalu undur diri dari hadapannya. Meninggalkan sang bos yang tersenyum miring menatap keadaan kota dari balik kantornya yang berada di lantai tertinggi sebuah gedung pencakar langit.

¤¤¤

"Kau menemukannya? Bagaimana kondisinya? Apa dia kerasukan? Dan apakah dia yang merasukinya?" tanya Elisa tanpa jeda begitu Ethan memberitahukan apa yang baru saja terjadi padanya melalui sambungan telepon.

"Bisakah kau bertanya satu-satu?" kesal Ethan. Meskipun akhirnya tetap menjawab semua pertanyaan Elisa.

"Ya, kami menemukannya. Kondisinya buruk. Ia tidak sadarkan diri karena tertabrak. Dan ya, dia kerasukan. Bahkan orang awam yang percaya adanya makhluk astral walau tidak bisa melihatnha pun mungkin bisa merasakannya. Kau tahu? Dia ternyata berlari menghindari kami dengan keadaan telapak kaki terluka parah. Sean sama sekali tidak menggunakan alas kaki saat menghindari kami dan ia sama sekali tidak merasa keberatan saat menginjak benda- benda tajam sama sekali. Tidak ada manusia sehat yang sama sekali tidak kesakitan saat menginjak benda tajam bukan?

"Sayangnya aku masih belum bisa mendekatinya, jadi aku tidak tahu roh apa yang merasukinya. Walau sepertinya bukan roh yang kita cari."

"Apa kau akan pulang hari ini?" tanya Elisa menatap pintu kamar Hikaru yang sudah tertutup.

Saat itu sudah pukul sebelas malam lewat, jadi Hikaru sudah tertidur sejak pukul sepuluh tadi. Elisa sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak besok pagi saat ponselnya berbunyi dan menampilkan nama Ethan di layarnya.

"Sepertinya ...."

"Pulanglah. Kita tidak tahu sekuat apa roh yang merasuki Sean. Jadi kau harus istirahat jika ingin mengalahkannya. Tidak akan terjadi apapun malam ini," ujar Elisa memotong ucapan Ethan. Ia tahu benar kalau temannya itu pasti khawatir meninggalkan Sean. Apalagi karena ia menyadari kalau Sean kerasukan.

"Tidak akan ada yang terjadi malam ini. Tadi, Hikaru kembali trans. Kali ini ia melihat kejadian sebelum Sean diseret dan tergantung. Menurut Hikaru, aku bisa berada di tempat kejadian karena aku harus mengantarkan pesanan makanan ke dekat sekolahannya.

"Lalu tanpa sengaja aku menyadari bangunan terbengkalai tempat Sean diseret. Jadi, pulanglah. Istirahat. Karena kurasa aku tidak bisa menghindari takdirku saat aku melihat gedung yang dimaksud oleh ramalan Hikaru. Karena itu, aku membutuhkanmu untuk membantuku. Yang tidak mungkin bisa kau lakukan jika kau kelelahan."

Ethan menghela napas panjang sebelum akhirnya ia menuruti keinginan Elisa.

"Aku akan kembali setelah polisi yang berjaga berikutnya datang. Kau tidurlah dulu," katanya, kemudian menutup sambungan ponselnya setelah mendengar kata iya dari Elisa.

¤¤¤

"Kau melamun?" tanya seorang pria di belakang Elisa sehingga membuatnya terlonjak karena terkejut.

"Ups. Maaf ... maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu khawatir karena Elisa yang saat itu sedang mengelap meja, menjatuhkan botol pembersih yang sedang ia pegang.

"OMG! Maafkan aku, Pak. Aku sungguh tidak bermaksud melamun. Maafkan aku," ujar Elisa sambil membungkuk berkali-kali.

Salahnya ia yang melamunkan percakapannya dengan Ethan tadi malam di tengah-tengah pekerjaannya.

"Hei, jangan begitu. Aku yang seharusnya meminta maaf karena mengejutkanmu. Dan panggil aku Oppa. Berapa kali aku harus memintanya padamu," ucap si pria sambil mengerucutkan mulutnya sehingga terlihat menggemaskan.

"Maafkan aku, Pa ... maksudnya L Oppa," kata Elisa lagi sambil membungkuk.

"Sudahlah, kau jadi membuatnya serba canggung. Ada apa? Kenapa hari ini kau kurang ceria? Ada yang bisa kubantu?" tanya Luca Kim atau yang biasa dipanggil L atas permintaan orangnya sendiri.

Luca Kim adalah pemilik restoran tempat Elisa bekerja. Ia tidak selalu muncul di restoran karena ada manager yang mengurusnya. Namun bukan berarti ia tidak dekat dengan para karyawannya. Karena Luca begitu memperhatikan karyawannya.

Pria berusia 29 tahun itu tidak segan mengulurkan tangannya pada siapapun yang membutuhkannya. Bahkan ia juga tidak malu-malu untuk turun tangan membantu para karyawannya yang kerepotan jika restorannya sedang ramai. Intinya, Luca adalah tipe lelaki kaya idaman.

"Sini duduk," pintanya pada Elisa sambil menunjuk kursi di hadapannya. "Ceritakan padaku jika kau ada masalah. Kau tahu kan, kalau aku akan selalu siap membantu."

"Ah ... itu .... A-aku hanya sedikit mengantuk tadi. Beberapa hari ini aku menonton drama secara marathon di malam hari, jadinya aku kurang tidur. Maafkan aku, P ... maksudku, Oppa." Elisa tersenyum manis pada Luca yang menatapnya dengan lembut. Ia tidak mungkin mengatakan kalau ia sedang memikirkan ramalan adiknya bukan.

"Jangan lakukan lagi."

"Eh?"

"Maksudku, kesehatanmu lebih penting. Jika kau selalu kurang todur, kau bisa sakit. Aku tidak ingin kau sakit." Luca bangkit dari duduknya lalu mengelus puncak kepala Elisa dengan sayang sambil tersenyum tipis yang menbuat pipi gembul Elisa sedikit merona.

"Tapi jika ada hal lain yang membuatmu susah, jangan segan mendatangiku dan menceritakan padaku ya."

Elisa mengangguk mengiakan pernyataan Luca yang tersenyum begitu manis padanya sebelum melangkah masuk ke arah dapur. Meninggalkan Elisa yang jantungnya berdetak sedikit tidak wajar.

¤¤¤

Jayden Park berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Rose Park. Begitu ia tiba di depan pintu berwarna putih gading, ia menetralkan napasnya lalu mengetuk pelan sambil menunggu si empunya ruangan mempersilakannya masuk.

Dengan hati-hati, pemuda itu membuka ruangan yang tidak terlalu besar itu karena tumpukan-tumpukan berkas yang menggunung hampir di setiap sisi ruangan.

"Sepertinya kau menemukan sesuatu yang menarik?" tanya Rose yang sedang duduk di balik meja kerjanya yang berantakan. Saat itu, wanita cantik itu sedang membaca berkas kasus Yoon yang masih terasa janggal baginya.

Jayden Park melangkah hati-hati memyebrangi ruangan menuju ke meja kerja Rose. Di sudut matanya ia melihat beberapa cup mie instan yang ditumpuk di atas meja yang seharusnya digunakan untuk menjamu tamu.

"Iya. Aku akhirnya berhasil mengembalikan rekaman CCTV di TKP. Gila! Kau harus melihatnya, Miss. Seumur-umur aku tidak pernah menemukan hal yang mengerikan seperti ini. Kurasa sebanyak apapun mereka mengkonsumsi Mescaline, tidak mungkin mereka bisa melakukannya. Memang mereka pesenam. Tapi pesenampun tidak akan bunuh diri dengan cara menyakitkan seperti itu. Tapi setidaknya dengan CCTV ini, kita mengetahui kalau tidak ada pihak lain yang melakukannya. Walau sebenarnya ...."

"Yak! Mau sampai kapan mengocehnya? Sini, biar kulihat sendiri," bentak Rose menghentikan cerocosan Jayden yang tidak akan pernah berakhir jika tidak dihentikan.

Rose menyukai kecepatan tangan dan kemampuan dogital Jayden karena pemuda itu memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tapi ia tidak pernah menyukai kecerewetan Jayden yang jika dibiarkan bisa terus berbicara selama berjam-jam. Entah darimana energinya berasal.

Dengan senyuman manis, Jayden menyerahkan tabletnya kepada Rose yang langsung menontonnya.

"Apa ini? Bagaimana mereka bisa melukai dirinya sendiri dengan cara yang begitu menyakitkan?" tanya Rose kepada dirinya sendiri saat melihat rekaman CCTV di tablet yang diberikan Jayden. Wanita bertubuh ramping itu bahkan melihatnya dari dua sudut yang berbeda dan masih tidak bisa menjelaskan dengan rasional apa yang telah terjadi.

"Benarkan. Kau juga berpikir yang sama denganku kan. Tidak mungkin manusia waras bisa melakukannya kan. Walaupun mereka mengkonsumsi Mescaline dalam jumlah banyak sekalipun, seharusnya mereka over dosis, bukan malah melakukan gerakan senam ritmik ekstrim dengan melipat-lipat tubuh kan ...."

"Berhenti sampai disitu. Sebaiknya simpan energimu dan kirimkan file ini kepada Kim Jessica. Jangan lupa hubungi dia setelahnya. Jika tidak, ia tidak akan pernah mengeceknya," perintah Rose yang seketika merasa kupingnya berdengung akibat celotehan Jayden yang tidak berhenti.

¤¤¤

"Tidak. Aku tidak mampu melakukannya," tolak paman Kim membelakangi Ethan yang saat ini duduk di ruang tamunya. Ruang tamu yang disulap menjadi ruangan sembahyang.

"Ayolah Paman. Roh di tubuh Sean hanya roh jahat biasa. Kau pasti mampu mengatasinya." Ethan membujuk Paman Kim yang masih berusaha untuk tidak melihatnya, walaupun Ethan berpindah tempat untuk menatapnya.

"Tidak! Aku terlalu tua untuk aksi-aksi berbahaya."

"Kau bahkan baru berusia 33 tahun, Paman. Biasanya kau malah tidak mau dibilang orang tua," kata Ethan yang kali ini sambil mengipasi Paman Kim menggunakan kipas shaman milik Paman Kim.

"Aih anak ini. Dengar! Jika roh jahat itu tidak berbahaya, kenapa keluarga Yoon bisa meninggal mengenaskan seperti itu," geramnya.

"Itu bukan Sean yang melakukannya. Aku tidak melihat adanya jejak roh jahat di sekitar TKP. Pasti Sean kerasukan setelah menyadari apa yang membunuh keluarganya. Akibat rasa bersalahnya,"

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku mencuri lihat ketika team divisi Kiminal dan kekerasan menayangkannya di rapat mereka."

"Kau!" Paman Kim hampir memukul kepala Ethan menggunakan ujung kipasnya namun akhirnya memilih untuk tidak melakukannya. "Jadi apa yang kau lihat?" tanyanya menyerah.

"Kau ingat apa yang terjadi jika seseorang yang memiliki kekuatan seperti Elisa mengutuk seseorang dengan kebencian?" Paman Kim mengangguk dengan sedikit bergidik.

"Itulah yang terjadi. Jemari mereka tertekuk sendiri ke arah yang salah, lalu kaki dan setelah itu tangan mereka juga. Aku bahkan bisa mendengar derak suara tulang mereka yang patah. Setelah itu, darah mulai mengalir dari setiap lubang di wajah mereka hingga akhirnya kepala mereka berputar sendiri 180 derajat.

"Dan kedua anak kecil itu melayang di tengah ruangan dengan kaki dan tangan terbentang seperti ditarik hingga tulang mereka terlepas," ungkap Ethan.

"Dan kau berharap aku mengalahkan roh yang melakukan itu pada mereka? Kau benar-benar sudah gila sepertinya! Tidak! Aku tidak akan mampu melakukannya. Kenapa bukan kau saja? Kau mempunyai kemampuan untuk melakukannya."

"Ish, Paman benar-benar tidak mendengarkanku ya? Kan sudah kukatakan kalau bukan roh yang merasuki Sean yang melakukannya. Di saat kejadian itu, Sean tidak berada di ruangan yang sama. Ia pulang melalui jalan yang memutar, karena itu team forensik digital kesulitan menemukannya. Karena mereka mencari di CCTV jalanan yang biasa dilalui Sean."

"Lalu? Kau tahu kan kalau mengutuk seseorang tidak harus berada di ruangan yang sama."

"Paman Kim, kau benar-benar harus menggunakan otakmu sesekali. Dengarkan aku baik-baik ya, Paman Kim tersayang. Kronologi kejadiannya adalah seperti ini ...," ungkap Ethan lambat-lambat agar Paman Kim nya bisa mengerti jalan ceritanya.

¤¤¤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status