Share

Bab 5- Petunjuk

Pagi menjelang dengan sangat cerah, Bima sedang mandi dan merapikan diri di kamarku sementara aku akan memasakkannya sarapan nasi goreng, dengan bumbu seadanya aku berharap Bima akan menyukainya.

“Hei siapa kau?” seorang wanita berteriak dari ruangan depan, aku yang sedang berada di dapur langsung saja menuju ke arah di mana teriakan itu berasal.

Ternyata Rosa yang baru pulang terkejut karena melihat Bima keluar dari dalam kamarku dan hampir saja ia memukul Bima dengan tas jinjing besar yang ada ditangannya, Bima hanya bisa mengelak tanpa sempat menjawab pertanyaan dari Rosa.

 “Hai Rosa sudah, sudah… hentikan, dia temanku dia baru saja menginap di rumah ini semalam, aku takut karena kau tak ada di rumah jadi aku minta tolong Bima untuk menemaniku,” aku menengahi Rosa yang sedang memukul Bima dan mencoba menjelaskan kepada Rosa sebelum terjadi keributan yang lebih heboh, “maaf ya kalau kamu terkejut.”

“Baiklah, ya sudah tidak apa-apa, aku hanya terkejut,” Rosa memberikan jawaban yang sangat singkat dan langsung membuka kunci kamarnya. Begitulah Rosa yang selalu terlihat tidak perduli dengan apa yang ada di sekitarnya.

“Sialan temanmu itu, hampir saja wajahku bonyok ditimpuk tasnya yang berat,” Bima mengumpat Rosa.

Sorry ya Bim, Rosa pasti terkejut dan refleks. Tapi nggak ada yang sakit kan? Atau ada yang sakit, mana biar aku obtain,” ucapku sambil memutar ke kanan dan kiri tubuh Bima untuk memastikan bahwa tubuh atletisnya tak ada yang terluka.

“Khawatir banget ya?” tiba-tiba Bima menyeringai seperti semalam dia menggodaku, “aku nggak apa-apa kok, nggak ada yang sakit atau luka.”

“Uh… syukur deh, kalau kamu terluka nanti kamu kapok dong nemenin aku,” ucapku sambil menyentuh lengan Bima.

Saat aku masih berbincang dengan Bima di ruang tamu, tiba-tiba tercium aroma yang sesuatu yang gosong, aku terburu-buru menuju dapur untuk memastikan kondisi nasi goreng yang sedang kumasak dan benar saja nasi gorengnya sudah terlihat berasap, aku langsung mematikan kompor dan mengangkat nasi goreng ke atas piring. Dengan Toping telur mata sapi dan sedikit taburan bawang goreng aku menyajikannya untuk Bima.

“Ini,” ucapku sambil menyodorkan sepiring nasi goreng yang sedikit gosong kehadapan Bima, “sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menemaniku tadi malam,” aku meletakkan nasi itu diatas meja.

“Wow… aku merasa spesial lho sampai dimasakkan nasi goreng begini, dari tampilannya sangat menggoda ya,” Bima melirikku dengan tatapan yang menurutku sedikit aneh, dia mencoba menggodaku “hemm… tapi dari aromanya, kok sedikit aneh, seperti bau kabel terbakar.”

“Maaf, sedikit gosong karena aku tinggal sebentar waktu Rosa datang,” aku tersipu melihat masakanku yang kacau “tapi masih enak dimakan kok.”

“Aku nggak akan masuk rumah sakit kan setelah makan nasi goreng ini?” Bima lagi-lagi mengejekku.

“Ya sudah kalau tidak mau, aku sudah mencicipinya lebih dulu, kalau makanan ini membuatmu sakit pasti aku sudah berada di rumah sakit sekarang.”

“Baiklah, aku hanya bercanda. Tenang… aku makan kok, apa lagi ini Bianca yang buat, aku pasti akan suka, walaupun sedikit gosong, ha..ha..ha…” Bima sedikit meringis menikmati nasi goreng yang kusajikan, sedikit lucu melihat wajahnya memakan masakanku yang kacau.

Baru pertama kali memberinya masakan, aku malah menyajikan masakan yang tidak sempurnya dan mungkin bisa saja membuatnya merasa trauma makan masakan dariku.

Selesai sarapan Bima langsung memacu mobilnya untuk menuju kantor, aku juga ikut bersamanya. Pagi ini jalanan terlihat cukup ramai namun belum dipadati kendaraan karena kami berangkat cukup cepat hari ini karena ada beberapa dokumen yang harus kami segera selesaikan hari ini.

Ditengah perjalanan handphone Bima tiba-tiba berdering. Bima kemudian melihat layar ponselnya ternyata Tristan menelponnya.

“Halo, Tristan ada apa?” Bima menjawab panggilan dari Tristan.

Kau di mana? Aku mendapat informasi baru dari Viola tentang lokasi eksekusi si Mafia hari ini,” Tristan menjawab dari balik telfon dengan nada sedikit memburu.

“Aku masih di jalan dengan Bianca, lima menit lagi sampai kantor.”

Klik. Bima menutup telfonnya dan kembali fokus berkendara.

Tak memerlukan waktu lama kami akhirnya sampai di kantor dan langsung menuju meja kami masing-masing. Mejaku berhadapan dengan meja Tristan dan bersebelahan dengan meja Viola, sedangkan meja Bima berada dihadapan meja bola berseberangan dengan mejaku. Meja kami dibatasi oleh sekat yang membuat kami tak bisa saling bertatapan ketika duduk, untuk dapat saling melihat kami harus berdiri dari kursi masing-masing.

Sesampainya di mejaku, aku langsung mengeluarkan laptop karena ada beberapa berkas yang harus segera kukerjakan. Tristan kemudian berdiri dan berbicara kepada aku, Bima dan Viola.

“Meeting bentar yuk, ada yang urgen banget,” ajaknya.

“Duluan deh, aku harus selesaikan beberapa dokumen karena harus diserahkan kepada Bos sebelum jam 9,” ucapku sambil masih berfokus pada dokumenku.

“Ya udah, kita duluan aja,” ucap Bima sembari berdiri dari kursinya menuju ruangan rapat yang berada di sebelah ruangan Bos David, atau berada di seberang kiri meja Viola.

Ketiganya pun langsung menuju ruangan rapat sedangkan aku masih berada di mejaku sendiri, aku sedang memeriksa beberapa hasil tangkapan layar dari sebuah CCTV yang merekam beberapa saat sebelum kejadian pembunuhan terhadap Kirana terjadi.

Pukul 23.45 WIB sebuah mobil berwarna hitam terparkir diujung jalan rumah kirana, pada menit ke 51 dua orang yang memakai topeng tampak berjalan ke rumah Kirana. Seorang berjalan di depan dan seorang lagi posisinya berada beberapa Langkah dibelakang, orang yang berada di depan memakai sebuah sarung tangan berwarna hitam dan tampak menyembunyikan sesuatu dari balik saku celananya yang sedikit menonjol. Seorang yang dibelakang tidak mengenakan sarung tangan namun membawa sebuah kotak  kecil berwarna silver yang diduga sebagai tempat untuk menyimpan organ dalam Kirana yang dicuri.

Pada pukul 23.58 CCTV hanya tampak hitam seperti tampilan kamera yang mati.

Sebentar, sepertinya aku melewatkan sesuatu, berapakah nomor seri mobilnya? Dalam hatiku. Ah sial mereka tidak memasang plat mobil pada bagian depan mobilnya. Aku kembali melihat foto dua orang yang sedang berjalan tadi, setelah kuamati lebih teliti, aku menemukan sebuah keanehan pada sosok orang kedua atau yang berjalan dibelakang sosok pertama. Dia tidak memakai sarung tangan dan aku bisa melihat seperti sebuah goresan hitam yang ada di tangannya yang tidak tertutupi oleh jaket hitamnya.

Seperti sebuah tato, untuk melihat lebih jelas lagi aku men-zoom bagian tatonya dan karena terlihat buram dan pecah aku mencoba mencrop bagian tangannya saja dan mengekspornya ke sebuah software yang dapat memperjelas kualitas foto yang buram.

Klik…

Aku menunggu foto tersebut diproses oleh program.

100% success. Setelah berhasil dikelola oleh software tersebut aku dapat melihat dengan jelas bentuk tato yang ada di tangan sang sosok misterius. Namun ketika aku sedang mengamati foto itu dengan serius, Tristan yang saat itu berada di dalam ruangan rapat keluar dan memanggilku untuk segera bergabung dengan tim.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status