Share

Bab 2- Sabotase

Pagi menyingsing dengan cerah, waktu di ponselku menunjukkan pukul 08.13 WIB, itu artinya aku sudah terlambat untuk masuk kantor. Teror yang meresahkan mengganggu istirahatku semalam dan membuatku bangun kesiangan.

Aku menuju kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi tapi aku tidak merapikan tempat tidurku. Aku langsung mengganti pakaian sembari memesan kendaraan online untuk menuju ke kantor.

Perjalanan benar-benar tidak bersahabat, kemacetan terjadi di beberapa titik jalan menuju kantor, perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu 20 menit kini harus ditempuh dengan waktu 55 menit.

Aku tergesa-gesa memasuki lobi, hari ini kantor tampak sepi hanya ada beberapa karyawan yang tampak sedang sibuk di meja masing-masing.

"Kok hari ini agak sepi ya?" Tanyaku pada Viola, rekan sebelah mejaku.

"Eh...  kamu darimana saja, boss besar datang sangat pagi hari ini, ada rapat intern tim analis dan eksekusi lapangan."

"Ha... kok bisa, ada apa?" Tanyaku penasaran.

"Lihat saja notice di ponselmu, oh iya, Tristan dan Bima sudah masuk ke dalam, kamu sedang garap kasus kan dengan mereka?" 

"Ha.... mereka ada di dalam? Sudah lama?"

"Belum lama, mungkin baru 25 menit mereka di dalam."

Aku langsung saja merapikan pakaianku dan mengatur nafas agar tidak terlihat gugup, tanganku sedikit gemetar mengetuk pintu ruangan rapat. Setelah dipersilakan masuk, aku memasuki ruangan yang terasa sangat mencekam. Bos besar sedang duduk dengan wajah seperti singa ingin menerkam mangsanya.

"Darimana saja?" pertanyaan bos besar membuatku benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa cemasku.

"Sorry, Bos tadi jalanan macet parah," aku menjawab dengan wajah tertunduk dan tak berani menatap wajah bos besarku yang bernama David.

"Duduk," dia memerintahkan aku untuk duduk.

Di layar proyektor, terpampang jelas beberapa foto seorang wanita terbujur berlumuran darah. Aku tahu ini pasti terkait dengan kasus besar yang saat ini sedang kami selidiki.

"Kenapa kalian bisa begitu ceroboh mengakses internet publik?"

PRAKKK..... tangan David menghentak ke atas meja, dia benar-benar marah besar.

"Nyawa satu orang sudah melayang karena kecerobohan kalian. Tristan, sudah kamu identifikasi siapa diantara kalian yang dengan sengaja menggunakan akses internet publik?" David berbicara dengan nada yang cukup tinggi sehingga membuatku yang baru datang sedikit terkejut.

"Tadi pagi saya coba melacak ID tim ini tetapi tidak ada yang menggunakan internet publik, Bos" jawab Tristan.

"Lalu siapa? Siapa yang bisa mengakses keamanan ponsel yang kalian pegang?" Wajah Bos David benar-benar merah padam, "Apa kalian pikir ini kasus main-main?" Lanjutnya sembari berdiri dari kursinya.

Aku berniat untuk menyampaikan kejadian aneh yang baru saja kualami semalam, tapi tatapan mata Tristan mengisyaratkan agar aku tidak menyampaikan kejadian itu saat ini. Aku tahu, jika kejadian itu kuceritakan akan membuat Bos David murka berlanjutan.

"Ini," Bos David mengeluarkan sebuah plastik bening berisi sebuah pistol dari kantongnya dan menunjukkannya kepada kami.

Pistol itu adalah bukti kuat yang ditemukan di tempat kejadian penembakan seorang wanita yang ada di layar proyektor. Jelas orang yang melakukan penembakan itu bukan dari kalangan orang sembarangan karena pistol yang digunakan adalah pistol khusus yang diproduksi untuk kepeluan organisasi khusus sehingga memiliki spesifikasi yang tidak sama dengan pistol jenis lain.

“tidak ditemukan sidik jadi pada pistol ini,” imbuh David.

Hal itu tentunya bukan sebuah keheranan, ketika seseorang yang telah terbiasa dengan kejahatan pasti akan menyadari bahwa menyentuh sebuah benda dengan tangan telanjang akan meninggalkan jejak sidik jari.

Aku, Tristan dan Bima hanya bisa menunduk dan tak bisa mengatakan apapun, sebelum akhirnya seorang wanita mengetuk pintu ruang rapat dan membisikkan sesuatu kepada Bos David. Tak lama David mengakhiri rapat, wajahnya semakin tegang dan ia mulai melenggang keluar dari ruang rapat.

"Bima, kamu gila atau nggak waras? Kamu nekat banget pakai akses publik disaat genting seperti ini?" Tristan mencecar Bima dengan nada marah.

"Kau yang gila, aku tidak sebodoh itu, Tris. Aku tahu resiko, mana mungkin aku berani pakai akses publik," sanggah Bima.

"Aku tadi malam akses IP kalian, kamu dan Bianca. ID kamu Bim, terlacak  berjarak lima kilometer dari kantor, pakai akses internet publik pukul dua belas malam, Bianca telfon aku kalau dia diteror jam dua malam," Tristan menimpali dengan nada ketus.

"Kamu tuduh aku yang akses internet publik? Mana buktinya, tunjukin!" Bima merasa dituduh oleh kata-kata Tristan yang seolah memojokkan Bima. Tangan Bima mulai mengepal dan mendekati Tristan yang masih duduk di kursinya.

"Udah-udah nggak usah berantem, kita ini tim, kita sampai di titik ini dan pegang kasus berat seperti ini bukan karena kita masih anggota abal-abal. Mana mungkin Bima seceroboh itu pakai akses publik untuk menyelesaikan kasus kayak gini," aku menengahi keduanya agar tidak terjadi keributan yang berlanjut.

"Lalu kamu fikir apa yang aku temukan ini salah, begitu Bi?" Tristan kini menatapku dengan sangat sinis karena menganggap aku lebih membela Bima.

"Bukan begitu, siapa tahu memang sistem kita yang lemah sehingga  ID kita bisa dihack buzzer suruhan si mafia itu,” sanggahku berharap Tristan tidak lebih marah lagi padauk.

"Kamu meragukan temuanku, Bi, kamu harus objectif dong lihat di sini memang kesalahan Bima, sampai-sampai kamu kena imbasnya diteror tiap malam," Tristan berdiri dan mengundurkan kursinya lalu keluar dari ruangan rapat meninggalkan aku dan Bima yang masih duduk di kursi kami.

"Gila Si Tristan, kok bisa sih dia nyalahin aku kaya gitu, padahal dia tahu lho aku yang buka kasus ini sampai kita bisa dapat jalur satu penjualan produk si mafia, nggak mungkin aku sebodoh itu dengan akses internet publik".

Sejak beberapa minggu belakangan kondisi kantor memang sudah tidak kondusif, beberapa karyawan mengundurkan diri karena mendapat ancaman yang tidak biasa. Viola seminggu lalu bercerita kepadaku bahwa ada seseorang yang mengirimkan video sedang membuntuti anaknya sekolah lalu kemudian Viola memutuskan untuk memindahkan sekolah anaknya dan berpindah tempat tinggal. Bima lima hari lalu hampir saja dicelakai oleh sebuah truk pembawa barang-barang bangunan yang ingin menabraknya, beruntung saja Bima sigap dan segera menghindar sehingga ia  selamat dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya.

Aku mendapat teror di rumah, semua ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, setelah kami mengingat-ingat ternyata teror yang kami alami bermula ketika kami menerima sebuah proyek untuk membongkar kasus perdagangan organ tubuh manusia lintas negara, kami berhasil menggagalkan satu kali pengiriman kulit manusia utuh lengkap dengan beberapa organ dalam manusia ke salah satu negara di luar negeri, saat itu salah satu jalur pengiriman transaksi ilegal itu mulai kami telusuri dan mulai saat itu beberapa teror luar biasa kami alami.

“mungkin ada yang sabotase kantor kita, Bi,” ungkap Bima sembari berjalan, kami memutuskan untuk membicarakan kasus ini di pantry agar terasa lebih rileks karena sudah mulai lelah dengan dengan teka-teki yang tak kunjung berhenti.

“sabotase? Tapi siapa?” tanyaku penasaran.

Bima mengambil dua buah botol berisi kopi dan memberikan salah satunya kepadaku.

“Tristan,” ucapnya tegas.

Aku tersedak kopi yang baru saja kuteguk  karena mendengar ucapak Bima, “kenapa Tristan?”

Bima menatap jauh ke arah depan meja kami, dia tampak sedang mengingat sesuatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status