Share

Cerita Masa Lalu

Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.

“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”

“Ceritakan yang kamu ingat saja.”

“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”

Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.

Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.

“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”

“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku sebagai adik sendiri. Sejak papa dan mama meninggal. Dan, kakek … dalam ingatanku, dia baik-baik saja. Kenapa dia bisa meninggal di perjalanan menuju ke rumah sakit?”

“Apa kamu siap untuk mendengarkan semua cerita dari masa lalu? Kondisi kamu sekarang tidaklah baik-baik saja untuk mendengarkan ….”

“Aku baik, Mbak. Sangat baik. Jadi ….” Jeda Widi dan tersenyum. “Silakan ceritakan semua. Sampai hal terkecil.” Terlihat sorot mata penuh permohonan.

“Ok. Dengarkan dengan baik.” Laras menarik napas dan bersiap untuk mengutarakan kebenaran. Laras mengambil dan mengeluarkan sebuah agenda kerja dari dalam tas ransel kecil dengan merek terkenal buatan Itali. “Akan kukatakan sesuatu tentang sebuah surat yang kutemukan dan sengaja diselipkan di dalam agenda ini.”

“Surat? Kalau diletakkan di dalam agenda itu artinya ….”

“Sejak menemukan surat itu dan membaca nama yang tertera di amplop adalah nama kamu, aku tidak berani membuka. Surat itu untukmu dari ayahku.” Laras menyerahkan amplop berwarna putih ke tangan Widi. “Buka dan bacalah.”

Widiatika mengangguk dan mengambil amplop berisi surat itu. Memandang sejenak kertas putih yang bertuliskan nama miliknya dan terlihat sudah mulai berubah warna. Membuka dan mengeluarkan lembaran yang bernama surat dan ditujukan untuk dia. Mengambil waktu sejenak untuk menyiapkan hati dan membaca isi surat itu.

Teruntuk Gadis Kecilku, Widiatika.

Widi, anakku yang paling kecil. Karena kebodohan dan kesalahan paman, kamu terluka batin dan fisik. Fisik dan mentalmu pun rusak karena kesalahanku. Kamu jadi korban atas penyakit dan kelainan yang kuderita. Kamu dan Jeje menjadi korban kesalahan fatal kami yang memang tak termaafkan.

Putriku … aku pernah berjanji pada ayahmu untuk menjaga dan melindungimu sama seperti paman melindungi Laras, putri kandung paman. Tapi, kesalahan itu membuat semua hancur dan berantakan. Kalian, dua orang yang kusayangi harus hidup dalam luka batin. Dan, dengan terpaksa pula membuat kalian masuk dalam pernikahan dini, yang sudah jelas sangat dilarang di agama dan negara. Anakku, Putri Kecilku, maaf tidak akan cukup untuk mengobati luka yang kuciptakan, masa depan dan pria yang menjadi pilihanmu untuk jadi pendamping hidup tidak akan pernah kamu miliki. Paman minta maaf.  Untukmu dan Jeje.

Karena kesalahan paman, Jeje memerkosa kamu. Kalian sungguh masih sangat muda waktu itu. Paman membuatmu trauma berkepanjangan. Dan, lukamu itu tidak bisa sembuh hanya dengan obat yang kuresepkan. Obat yang hanya menghilangkan rasa sakit untuk sementara saja. Rasa sakit dari trauma yang kamu terima, Putriku.

Kesalahan itu bermula ketika kami, aku dan Om Toni, melakukan pelecehan seksual pada tukang kebun di Rumah Dirgantoro. Pria muda yang juga sudah menganggap kalian sebagai majikan muda yang sangar berharga. Widi … yang sangat menyukai mawar, segala jenis mawar. Jeri memimta Rafles untuk menanam bunga mawar untukmu dan dia melakukannya.

Paman tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Paman bersalah dan berdosa pada papamu, sahabat paman, pada ibumu, pada kakekmu. Terlebih lagi pada putriku, Laras. Dia pasti malu karena memiliki ayah sepertiku. Mungkin … kamu membaca surat ini setelah paman sudah tidak ada. Atau mungkin, Laras menyerahkan setelah dia menemukan agenda catatan pribadi paman. Sekarang, saat kamu sedang membaca surat ini, mungkin kamu sudah menjadi gadis atau wanita dewasa yang cantik dan mengagumkan dengan karir yang cemerlang.

Kalian pastilah sudah menjadi wanita yang hebat. Menjadi seorang perancang busana terkenal, memiliki merk yang mendunia dan membanggakan seluruh keluarga besar. Paman masih ingat, Nak, semua impian yang ingin kamu raih. Kami semua mendukung cita-citamu. Bahkan, Naran mengatakan dia yang akan membiayai semua biaya kuliah kamu di Eropa.

Paman tidak tahu sudah sampai mana kamu meraih cita-cita kamu. Paman tidak bisa ikut menyaksikan. Hal tersulit dalam hidup paman menjadi saksi pernikahan dini antara kamu dan Jeremi. Dan, untuk dosa yang harus paman tanggung akan paman bawa ke alam lain.

Widiatika Pangestu, Anak Perempuan Paman yang cantik. Paman pamit, Nak. Jika kamu tidak bisa memaafkan kesalahan paman, tidak apa-apa. Akan paman terima dengan baik.

Jaga dirimu, ya. Ada Laras dan Jeremi yang bisa menjagamu dengan baik. Peluk rindu, sayang dan cinta paman untukmu dan masa depanmu.

Selamat tinggal, Putriku Widi.

***

Widiatika melipat surat itu dan memasukkan kembali ke dalam amplop. Tak dapat dielak, air mata pun mengalir tanpa diminta. Keluar tanpa direncanakan dan tanpa ada suara isak tangis. Dia tidak tahu apa tersenyum adalah hal yang pantas atau tidak saat ini. Tapi, ada perasaan seperti sebuah ikatan yang lepas dari dalam benak saat ini.

“Paman ….” Widi tidak melanjutkan ucapan.

“Papa sudah meninggal,” kata Laras menyambung. “Papa bunuh diri.”

Widi terdiam mendengar berita itu. “Maaf, Mbak. A-aku pikir, paman meninggal karena sakit, waktu itu.”

“Jangan merasa bersalah. Kamu dan Jeremi menikah bukan karena keinginan kalian. Tapi, karena sebuah kesalahan yang dimulai dari papaku dam Om Toni. Jeremi juga korban dari traumatik yang diakibatkan oleh perbuatan jahat papa dan Om Toni.”

“Jadi … k-kami menikah bukan karena utang keluarga?” tanya Widi dengan nada tidak percaya.

“Meski dengan cara yang salah, kalian tetaplah suami dan istri. Terlebih lagi setelah kalian menikah secara resmi, tahun lalu. Dan, belum resmi bercerai.” Laras mengingatkan.

Widiatika memandang Laras tanpa ekspresi. Dia tahu ke mana arah pembicaraan itu. Bukan hal yang dia inginkan tentunya. Widi membuang muka untuk menghindari bahan obrolan yang tak ingin dibahas.

“Jangan seperti ini. Jeremi benar-benar mencintaimu, Wi.” Laras masih berusaha untuk membujuk.

“Mbak, ini bukan sekadar dia mencintaiku atau semacamnya.” Widiatika masih bersikeras. “Aku tidak mencintai dia. Tidak sedikit pun, Mbak. Tolong mengertilah.” Masih saja Widi memohon. “

“Ini bukan sekadar sebuah cinta lagi, Widi. Yang kutahu, pernikahan sakral itu adalah pernikahan yang tidak bisa dirusak oleh manusia. Tidak dengan alasan apa pun.” Tegas Laras. “Lagi pula, bagaimana kamu akan bertanggungjawab di hadapan Tuhan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status