"Oh...!" Manggala langsung berlutut memberi hormat.
"Bangunlah, kau tamu kehormatanku. tidak sepantasnya kau berlaku sungkan begitu," kata Raja Siluman Ular Putih.
Manggala bangkit dari berlutut. Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinya dia tidak sanggup membalas tatapan mata raja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memiliki daya kekuatan yang amat dahsyat.
"Kau murid sahabatku, Manggala, Aku senang bertemu denganmu,”
“Sejak tadi, kau menyebut murid sahabatku. Maaf, aku bukan hanya murid, tapi juga putra ayahku, Raja Samudra”
Kali ini, wajah Raja Siluman Ular Putih sedikit berubah, tapi cuma sesaat, yang sesaat kemudian sudah berubah tenang bagaikan air.
“Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu, Manggala. Ku harap, kau siap untuk mendengar dan menerima kenyataan” ucap Raja Siluman Ular Putih diiringi perubahan di wajah Manggala. Tapi Manggala tetap diam menanti. Melihat kediaman Manggala. Raja Siluman Ular Putih melanjutkan ucapannya, “Kau mungkin hanya murid sahabatku, Raja Samudra. Tapi yang jelas kau bukan putra kandungnya”
Semakin berubahlah paras Manggala dan sebelum Manggala berucap sesuatu, Raja Siluman Ular Putih sudah melanjutkan ucapannya. “Seperti halnya diriku, Raja Samudra bukanlah berasal dari bangsa manusia. Kami berdua berasal dari bangsa ghaib, sedangkan kau... adalah bangsa manusia. Aku merasa, rajah Petir di dadamu itu pasti memiliki hubungan yang sangat erat dengan kelahiranmu didunia ini...” Sampai disini Raja Siluman Ular Putih menghentikan perkataannya, dapat dilihatnya bagaimana wajah Manggala kembali berubah dengan kening berkerut, sepertinya Manggala tengah mencerna ucapan Raja Siluman Ular Putih barusan.
Manggala bukanlah pemuda bodoh. Di pikirannya, Manggala berusaha menyambung tali merah perkataan Raja Siluman Ular Putih dengan peristiwa rencana pembunuhan dirinya oleh kedua senopati Istana Dasar Samudra.
“Jika aku bukan putra Ayahku, lalu siapa aku? Siapa kedua orangtuaku? Darimana aku berasal?” kata-kata itu terus berputar-putar dipikirannya.
Raja Siluman Ular Putih dapat melihat bagaimana Manggala tenggelam di alam pikirannya sendiri, maka dia melanjutkan ucapannya, “Aku dan Raja Samudra, Sebelum berpisah untuk mempersiapkan diri dalam pemuksaan dari mayapada ini, kami membuat sebuah ikatan janji" kata Raja Siluman Ular Putih itu lagi.
"Janji...? Janji apa?" tanya Manggala tertarik.
"Aku dan Raja Samudra punya satu janji. Jika salah satu diantara kami memperoleh pewaris lebih dulu, maka ia akan menjadi pewaris tunggal dua aliran ilmu. Yaitu ilmu-ilmu Segoro (Samudra) dan ilmu-ilmu Ular Putih. Itu berarti kau juga adalah muridku," Raja Siluman Ular Putih menjelaskan.
Betapa gembiranya hati Manggala mendengar kata-kata itu. Tapi dia tidak mau menunjukkan dirinya senang akan mendapatkan ilmu kepandaian lagi. Dia teringat dengan salah satu kalimat yang pernah dibacanya dalam buku ayahnya. Di situ tertera bahwa dirinya tidak diperkenankan mempelajari ilmu kesaktian lain selain ilmu-ilmu Segoro (Samudra).
Teringat dengan kata-kata yang tertulis di dalam buku ayahnya itu, Manggala buru-buru menjura memberi hormat. Kemudian tangan kanannya menyilang di dada dengan sikap tegak dan mata tajam memandang Raja Siluman Ular Putih.
"Maaf, bukannya aku menolak. Aku bukan seorang yang haus akan ilmu kesaktian. Aku tidak mau mencampur dua aliran ilmu," kata Manggala tegas.
"Ha ha ha...," Raja Siluman Ular Putih tertawa terbahak-bahak. "Apa lagi yang dikatakan Raja Samudra padamu?"
"Tidak ada," sahut Manggala.
Tiba-tiba Raja Siluman Ular Putih mengangkat tangannya, dan ;
Werrr...!
Di tangan Raja Siluman Ular Putih kini tampak tergenggam sebuah gulungan kertas, lalu memberikannya kepada Manggala.
“Aku tahu, kedua bola mata putihmu itu bisa melihat Manggala. Jadi, silahkan kau baca isi surat ini!” kata Raja Siluman Ular Putih lagi, Manggala tak heran kalau Raja Siluman Ular Putih bisa mengetahui keistimewaan matanya yang sebelumnya benar-benar buta.
Anehnya, saat Manggala membuka gulungan kertas itu, dimana didalamnya terdapat deretan tulisan aksara kuno yang secara ajaib, Manggala bisa membacanya.
"Bagaimana, apakah aku pantas menjadi Gurumu atau tidak," kata Raja Siluman Ular Putih. Surat itu ternyata memang sebuah surat janji yang dilakukan oleh Raja Samudra dan Raja Siluman Ular Putih, tentang pengangkatan calon murid pewaris ilmu-ilmu Segoro (Samudra) dan Ilmu-ilmu Ular Putih.
"Baiklah," desah Manggala. "Aku harus memanggilmu apa?"
"Guru."
Manggala kembali menjura hormat.
"Ha ha ha..., hebat! Ternyata Raja Samudra juga mengajarkan tata sopan santun padamu. Bagus aku suka, kau memang pantas menjadi pewaris tunggal dari dua pendekar digdaya tanpa tanding," Raja Siluman Ular Putih tertawa terbahak-bahak kesenangan. "Mari, selama kau mempelajari ilmu-ilmu Ular Putih, kau tinggal di istanaku ini."
"Terima kasih," ucap Manggala.
"Mari...."
-o0o-
MANGGALA tidak ingat, berapa lama dia berada di istana Raja Siluman Ular Putih. Yang jelas ini, sosok Manggala yang dulunya kecil, kini telah menjelma menjadi seorang pemuda berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas bahu tak teratur. Wajahnya yang memang tidak tergolong tampan, tapi dihiasi oleh alis mata yang menukik bagai sayap elang, memperlihatkan ketajaman muka-nya. Terlihat sangat jantan!
Selama itu pula dia selalu digembleng dalam beberapa jurus dan ilmu kesaktian. Selain mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Raja Siluman Ular Putih, Manggala juga melatih dan menyempurnakan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Bahkan terkadang Raja Siluman Ular Putih juga membantunya menyempurnakan jurus-jurus dan ilmu-ilmu Segoro (Samudra) yang dimilikinya. Tapi secara diam-diam, Manggala juga melatih Tenaga Inti Geledeknya.
Selama berada di istana Raja Siluman Ular Putih, Manggala selalu memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Kenapa kedua senopati istana dasar samudra itu ingin membunuhnya? Siapa yang memberikan perintah? Ayahnyakah? Tapi itu tidak mungkin menurut Manggala. Karena ayahnya begitu sayang kepadanya.
Setiap kali ada kesempatan sendiri, Manggala selalu merenung memikirkan hal itu, dan rupanya ini diperhatikan oleh Raja Siluman Ular Putih. "Kau melamun lagi, Manggala," tegur Raja Siluman Ular Putih ketika memergoki Manggala tengah melamun seorang diri.
"Oh!" Manggala buru-buru menjura memberi hormat.
"Apa yang membuatmu melamun?" tanya Raja Siluman Ular Putih berwibawa suaranya.
"Tidak apa-apa, Guru," sahut Manggala.
"Hm, sejak pertama kali kau berada di istanaku, aku sudah menduga kalau kau bukan tanpa sengaja berada di tempat ini. Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" tebak Raja Siluman Ular Putih.Manggala terkejut bukan main mendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya terangguk membenarkan. Dengan menarik nafas panjang, akhirnya Manggala menceritakan beban berat yang selama ini menjadi beban pikirannya."Aku yakin, bukan Raja Samudra yang menginginkan kematianmu, Manggala. Pasti ada orang lain di Istana Dasar Samudra yang merencanakan ini semua," ucap Raja Siluman Ular Putih setelah mendengar cerita Manggala."Maaf, Guru. Menurut Guru. Apa yang seharusnya aku lakukan?"“Tentu kau harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Dasar Samudra, Manggala. Juga tentang siapa dirimu yang sebenarnya. Aku yakin, Raja Samudra pasti mengetahui tentang asal usul dirimu yang sebenarnya.... Tapi, menurut hematku, untuk saat ini, lebih baik kau jangan memunculkan dirim
Langkah Manggala tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.Manggala tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana yang dia sendiri tak tahu apa rencananya.Lebih jauh memasuki pasar, perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus. Belum sempat menemukan kedai nasi, Manggala dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.Saat itu mata tajam Manggala dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali. Suasana
“Hap Hap Hap” seru Manggala.Begitu bangkit, Manggala mengikuti gerakan melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai.Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing.“Kalian istirahat dulu ya, Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,” ucap Manggala seraya mengelus jenggot seorang lawannya.Mendengar perkataan Manggala barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Manggala hanya menyalurkan sedikit Tenaga Inti Geledeknya saat itu.Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.“Aaakh...”Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.“Dari sebelah utara,” desis Manggala.Bergegas Manggala menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.Manggala mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun. Beberapa tombak di hadapannya, tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah.Di balik semak-semak, Manggala menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan. Melihat penampilan wanita itu, tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda. Karena Manggala berd
“Aku tidak tahu,” sahut Manggala singkat. “Kau sendiri bagaimana?” Manggala malah balik bertanya.“Aku ingin mencari Bajing Ireng...”“Bajing Ireng. Siapa dia?”“Dia adalah seorang begal pimpinan rampok yang saat ini tengah merajalela menebar angkara murkanya dimana-mana. Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain,... Aku diperintahkan oleh Gusti Prabu Bratasena untuk menangkapnya hidup atau mati...” Rhenata terus menceritakan tentang siapa adanya Bajing Ireng hingga bersengketa dengan pihak kerajaan.Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.“Kalau kau telah menemukannya, apa yang akan kau lakukan?” tanya Mang
“Kau salah,” kata Manggala. “Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?”Rhenata menajamkan pendengarannya sesaat.“Tampaknya dua ekor,” jawab Rhenata.“Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Bajing Ireng sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?”“Jadi, menurutmu siapa mereka?”“Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?” tanya Manggala lagi.Rhenata menggeleng.“Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?” lanjut Manggala, membuat Rhenata harus mengakui kecerdasan Manggala.“Jadi mereka orang persilatan?” tebak Rhenata.“Tepat” sambut Manggala, tetap berbisik. “Hanya kita belum
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Manggala, Rhenata, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Madangsewu. Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Rhenata sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam. Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus berhadapan dengan orang-orang Bajing Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak terbentur batang pohon cemara semalam.Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Madangsewu, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit y
Dua lelaki penunggang kuda diperintahkan pemimpinnya untuk segera menghabisi orang yang baru datang itu. Keduanya segera menghentakkan kekang, sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh seiring teriakan murka. Tapi sebelum keduanya mencapai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah terlepas dari tangan lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini.Zing!Begitu cepat kebutan tangan orang bercaping itu, sehingga...“Huaaa”Kuda mereka kontan terlonjak diiringi satu ringkikan panjang, melemparkan tubuh penunggangnya yang tertikam pisau-pisau yang melesat cepat. Tubuh keduanya pun mencium tanah tanpa nyawa, dengan darah mengucur dari bagian dada yang tertembus pisau.“Kalian lihat Aku telah menepati janjiku terhadap dua kawan kalian?” cemooh orang bercaping, dingin.Menyadari kalau orang bercaping tak bisa diremehkan, pemimpin pasukan berkuda ini memberi perintah agar anak buahnya menyerbu orang bercaping itu. Maka lima belas ekor