Bukan main terkejutnya Manggala mendengar ular putih raksasa itu bisa berbicara seperti manusia. Manggala sampai terlonjak ke belakang sejauh dua batang tombak. Paras wajahnya diliputi keheranan bercampur ketidakpercayaan.
"Kau.... Kau bisa bicara?" tanya Manggala tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Apa telingamu sudah tuli, heh?!" bentak ular putih raksasa itu.
"Tidak..., aku tidak bermimpi. Dia benar-benar bicara," Manggala seperti orang tolol.
"Jangan berlagak bodoh, anak muda! Dari mana kau peroleh Ajian Gelombang Samudra Merah itu?"
Manggala diliputi rasa tidak percaya dan keheranan yang amat sangat. Baru kali ini dia bertemu dengan seekor ular putih raksasa aneh yang bisa bicara. Manggala baru menyadari kalau binatang itu adalah seekor ular bermahkota.
Sungguh sulit dipercaya. Manggala sering mendengar cerita tentang ular, tapi belum pernah Manggala mendengar ada ular berukuran begitu besar yang kini ada di depannya. Dan semua itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang di luar kemampuan akalnya.
"Kenapa bengong? Apa kau mendadak jadi dungu?!" bentak ular putih raksasa itu.
"Heh...!" Manggala masih juga tersentak kaget. "Kau..., kau mengetahui tentang ajian pamungkasku...?"
"Dari mana kau peroleh? Kau mencuri?"
"Dari ayahku," sahut Manggala setelah menenangkan dirinya.
"Jangan main-main, anak muda! Pemilik ajian itu sudah muksa sebelum nenek moyangmu lahir!"
"Mau percaya atau tidak, terserah! Aku bicara benar."
"Kau memang menguasai jurus-jurus Segoro
(Samudra), tapi aku belum mau percaya sebelum kau perlihatkan penguasaan ajian pamungkas itu.""Untuk apa? Kau tidak akan percaya."
"Tunjukkan padaku Ajian Gelombang Samudra Merah, Serang aku!" kata ular putih raksasa itu.
"Hey! Kau tahu jurus itu?" Manggala tersentak kaget.
"Jangan banyak bacot! Serang aku!" bentak ular putih raksasa itu.
"Baik, aku tidak akan sungkan-sungkan," Manggala menjawab tantangan itu.
Tanpa banyak bicara lagi, Manggala segera bersiap. Kedua tangan menyatu di depan dada. Pusaran angin tercipta dari sekeliling tubuh Manggala. Bagai badai yang berputar memusat, menciptakan gemuruh dan meruntuhkan ranting dan dahan di sekitar Manggala. Anehnya, hawa yang keluar dari tubuh Manggala tidaklah dingin, melainkan berhawa panas. Kedua mata Manggala terpejam, kaki kanannya menekuk sedang lutut kirinya menyentuh tanah. Kedua tangannya mengepal. Matanya terpejam merapal mantra. Tubuh itu bergetar hebat, kulit yang terbuka di sela baju terlihat mengelam, daya penuh tenaga telah berkumpul siap untuk dilepaskan. Perlahan kedua mata Manggala membuka, mata putihnya menatap tajam ke arah Ular putih raksasa. Lalu kedua tangannya mengembang, sepersekian detik kemudian tubuh itu melesat tinggi ke udara menciptakan sinar panas maha dasyat kemerahan di seluruh tubuh Manggala.
Dalam satu tarikan nafas, tiba-tiba tubuh Manggala yang mengambang di udara menyeruak turun memburu, dalam kecepatan laksana kilat tubuh Manggala bergerak penuh tenaga. Kedua tangan yang mengembang telah merubah gerak menjadi cengkeraman yang menakutkan. Bila lawan terkena ajian dahsyat ini, raganya akan terlihat baik-baik saja, tapi sesungguhnya, sukmanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Ajian dahsyat Manggala menyabet tubuh ular itu, tapi setiap kali serangannya membentur tubuh ular itu, Manggala merasakan tangannya jadi bergetar kesemutan.
"Huh! Cuma sampai di situ kau mencuri ilmu warisan keramat!" dengus ular itu.
"Aku bukan pencuri!" rungut Manggala panas dikatakan pencuri.
Kali ini, Manggala mengerahkan Ajian Gelombang Samudra Merah ketingkat yang lebih tinggi, tanpa mempedulikan bahaya yang akan mengancam dirinya sendiri.
"Aji 'Gelombang Samudra Merah'...!" teriak Manggala menggelegar. "Hiyaaa...!"
Glarrr...! Suara ledakan dahsyat terdengar bagai guntur di angkasa.
"Hah..!" Manggala melongo melihat ular itu tetap utuh. Hampir dia tidak percaya kalau aji pamungkasnya tidak berarti sama sekali pada binatang melata raksasa itu.
"Gila! Apakah dia Dewa yang turun ke mayapada ini...?" gumam Manggala setengah tidak percaya.
"Kau tidak sepenuh hati melepaskan aji 'Gelombang Samudra Merah', Anak Muda," kata ular itu.
Manggala tidak menyahuti. Karena memang belum menyempurnakan ajian itu. Manggala seperti pasrah jika dia harus mati di tempat ini. Dia yakin kalau ular ini bukanlah sembarangan ular. Tidak ada lagi yang dia miliki, semuanya sudah terkuras, dan ular itu masih tetap segar tanpa cidera sedikit pun.
"Mau coba lagi, Anak Muda?" ular itu menawarkan.
"Tidak!" sahut Manggala tegas.
"Ha ha ha...!"
-o0o-
Begitu banyak yang ditanyakan ular putih raksasa itu, dan Manggala menjawabnya dengan gamblang tanpa ada yang ditutupi atau ditambahkan. Hanya dibagian peristiwa dirinya hendak dicelakai oleh kedua senopati Istana Dasar Samudra saja yang tak Manggala ceritakan. Semakin banyak Manggala membuka diri, semakin yakin ular itu kalau Manggala adalah putra Raja Samudra, penguasa Istana Dasar Samudra, walau masih ada sesuatu yang mengganjal.
"Hm..., jadi yang mengajarkanmu jurus-jurus Segoro (Samudra) itu adalah Raja Samudra sendiri?" gumam ular putih raksasa itu seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Benar, tapi memang untuk Ajian Gelombang Samudra Merah. Aku belum sampai tahap sempurna" sahut Manggala akhirnya dengan jujur.
"Ratusan tahun aku hidup di dasar jurang ini. Belum ada satu pun manusia yang bisa keluar hidup-hidup dari sini. Aku percaya kau murid sahabatku," kata ular putih raksasa itu.
"Kau sahabat ayahku...?" Manggala seperti tidak percaya.
"Benar! Ratusan tahun yang lalu aku dikenal dengan nama Raja Siluman Ular Putih. Aku dan Raja Samudra adalah dua sahabat yang tidak terkalahkan. Kami jadi jemu dan mengasingkan diri hingga muksa."
Manggala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak diduga sama sekali, sekarang dia berhadapan muka dengan sahabat ayahnya yang hidup ratusan tahun lalu.
Sesaat Manggala mengernyitkan keningnya ketika tubuh ular putih raksasa itu mengepulkan asap tipis. Asap itu semakin lama semakin menebal dan menyelimuti tubuh ular putih raksasa itu hingga lenyap dari pandangan. Manggala melompat mundur ketika air sungai berwarna putih itu bergolak mendidih memperdengarkan suara gemuruh yang amat dahsyat. Dan bersamaan dengan lenyapnya asap yang menyelimuti tubuh ular putih raksasa itu, di tengah-tengah sungai muncul sebuah bangunan megah bagai istana. Bangunan itu seluruhnya berwarna putih, dan atapnya berkilau bagai bermandikan mutiara.
"Heh...!" Manggala tersentak ketika tubuh ular itu berubah wujud jadi seorang manusia tampan mengenakan pakaian indah bersulamkan benang-benang emas berkilauan. Wajahnya yang putih bersih bercahaya.
Sinar matanya tajam, namun mengandung kewibawaan dan kearifan. Rambutnya yang panjang lebat tergelung ke atas kepala.
Manggala itu makin ternganga saat melihat pintu istana putih itu terbuka. Dari dalam muncul beberapa orang laki-laki dan perempuan. Semuanya mengenakan pakaian indah bersulam benang emas. Tampan-tampan dan cantik-cantik paras wajahnya. Kulitnya juga putih bersih bagai orang-orang dari keluarga bangsawan. Orang-orang itu langsung membentuk lingkaran dan berlutut di depan laki-laki tampan jelmaan ular ular putih raksasa.
"Si..., siapa kau...?" tanya Manggala tergagap.
"Akulah Raja Siluman Ular Putih, raja dari segala ular-ular di dunia ini," sahut Raja Siluman Ular Putih. Suaranya dalam dan berwibawa.
"Oh...!" Manggala langsung berlutut memberi hormat."Bangunlah, kau tamu kehormatanku. tidak sepantasnya kau berlaku sungkan begitu," kata Raja Siluman Ular Putih.Manggala bangkit dari berlutut. Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinya dia tidak sanggup membalas tatapan mata raja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memiliki daya kekuatan yang amat dahsyat."Kau murid sahabatku, Manggala, Aku senang bertemu denganmu,”“Sejak tadi, kau menyebut murid sahabatku. Maaf, aku bukan hanya murid, tapi juga putra ayahku, Raja Samudra”Kali ini, wajah Raja Siluman Ular Putih sedikit berubah, tapi cuma sesaat, yang sesaat kemudian sudah berubah tenang bagaikan air.“Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu, Manggala. Ku harap, kau siap untuk mendengar dan menerima kenyataan” ucap Raja Siluman Ular Putih diiringi perubahan di wajah Manggala. Tapi Manggala tetap diam menanti. Melihat kediaman Manggala. Raja Siluman Ular Putih melanjutkan ucapannya, “Kau mungkin hanya murid sahabatku, Raja
"Hm, sejak pertama kali kau berada di istanaku, aku sudah menduga kalau kau bukan tanpa sengaja berada di tempat ini. Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" tebak Raja Siluman Ular Putih.Manggala terkejut bukan main mendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya terangguk membenarkan. Dengan menarik nafas panjang, akhirnya Manggala menceritakan beban berat yang selama ini menjadi beban pikirannya."Aku yakin, bukan Raja Samudra yang menginginkan kematianmu, Manggala. Pasti ada orang lain di Istana Dasar Samudra yang merencanakan ini semua," ucap Raja Siluman Ular Putih setelah mendengar cerita Manggala."Maaf, Guru. Menurut Guru. Apa yang seharusnya aku lakukan?"“Tentu kau harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Dasar Samudra, Manggala. Juga tentang siapa dirimu yang sebenarnya. Aku yakin, Raja Samudra pasti mengetahui tentang asal usul dirimu yang sebenarnya.... Tapi, menurut hematku, untuk saat ini, lebih baik kau jangan memunculkan dirim
Langkah Manggala tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.Manggala tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana yang dia sendiri tak tahu apa rencananya.Lebih jauh memasuki pasar, perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus. Belum sempat menemukan kedai nasi, Manggala dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.Saat itu mata tajam Manggala dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali. Suasana
“Hap Hap Hap” seru Manggala.Begitu bangkit, Manggala mengikuti gerakan melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai.Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing.“Kalian istirahat dulu ya, Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,” ucap Manggala seraya mengelus jenggot seorang lawannya.Mendengar perkataan Manggala barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Manggala hanya menyalurkan sedikit Tenaga Inti Geledeknya saat itu.Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.“Aaakh...”Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.“Dari sebelah utara,” desis Manggala.Bergegas Manggala menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.Manggala mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun. Beberapa tombak di hadapannya, tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah.Di balik semak-semak, Manggala menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan. Melihat penampilan wanita itu, tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda. Karena Manggala berd
“Aku tidak tahu,” sahut Manggala singkat. “Kau sendiri bagaimana?” Manggala malah balik bertanya.“Aku ingin mencari Bajing Ireng...”“Bajing Ireng. Siapa dia?”“Dia adalah seorang begal pimpinan rampok yang saat ini tengah merajalela menebar angkara murkanya dimana-mana. Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain,... Aku diperintahkan oleh Gusti Prabu Bratasena untuk menangkapnya hidup atau mati...” Rhenata terus menceritakan tentang siapa adanya Bajing Ireng hingga bersengketa dengan pihak kerajaan.Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.“Kalau kau telah menemukannya, apa yang akan kau lakukan?” tanya Mang
“Kau salah,” kata Manggala. “Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?”Rhenata menajamkan pendengarannya sesaat.“Tampaknya dua ekor,” jawab Rhenata.“Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Bajing Ireng sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?”“Jadi, menurutmu siapa mereka?”“Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?” tanya Manggala lagi.Rhenata menggeleng.“Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?” lanjut Manggala, membuat Rhenata harus mengakui kecerdasan Manggala.“Jadi mereka orang persilatan?” tebak Rhenata.“Tepat” sambut Manggala, tetap berbisik. “Hanya kita belum
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Manggala, Rhenata, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Madangsewu. Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Rhenata sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam. Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus berhadapan dengan orang-orang Bajing Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak terbentur batang pohon cemara semalam.Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Madangsewu, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit y