Blammm!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam tingkat tinggi yang terjadi barusan itu. Bumi bergetar bagai diguncang prahara. Angin berkesiur panas yang ditimbulkan akibat bentrokan barusan mampu membuat ranting-ranting pohon hangus terbakar!
Untung saja murid-murid Perguruan Pring Sewu yang berkepandaian rendah sudah sejak tadi berada di luar jangkauan pengaruh benturan dua kekuatan tadi. Kalau tidak, sudah pasti tubuh mereka pun akan hangus terbakar!
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh Kakek Kelabu dan Iblis Gagu pun sama-sama tersurut beberapa langkah ke belakang. Paras-paras mereka pucat pasi, pertanda sama-sama menderita luka dalam cukup parah. Iblis Gagu menggeram penuh kemarahan. Saat itu, dilihatnya Kakek Kelabu masih terengah-engah menahan kedua telapak tangannya yang seolah hangus terbakar. Dan kesempatan itu tak ingin disia-siakannya. Maka dikawal bentakan keras, kembali dilontarkannya pukulan 'Darah Iblis' ke arah Kakek Kelabu.
DI SEBUAH tanah datar yang tak begitu luas di salah satu bagian dari Hutan Seruni. Keheningan mengekang sekitarnya. Sinar matahari yang panas menyengat, seolah membuat binatang-binatang lebih suka bersembunyi di bawah kerimbunan pohon. Tepat di tengah tanah datar itu, terlihat sebuah gundukan tanah yang memanjang, mirip sebuah makam. Kelihatannya, memang tak ada yang aneh dengan makam itu. Biasa saja sebagai mana layaknya sebuah makam. Tapi.... Brolll! Mendadak saja, keanehan terjadi, makam itu tahu-tahu ambrol menerbangkan tanah-tanah ke segala arah. Seiring dengan itu, satu sosok bayangan putih melompat dari dalamnya. "Hup!" Ringan sekali sosok itu saat mendarat di sisi tanah yang telah membentuk sebuah lubang. Kini jelas, ternyata sosok bayangan putih itu adalah seorang kakek tua renta yang sulit sekali ditafsir umurnya. Rambutnya yang putih kusut berserakan di bahu. Tubuhnya yang kurus kering dengan paras pucat pasi mirip mayat, terbungkus kain putih seperti kain kafan. Sekilas
Suasana duka masih menyelimuti Perguruan Pring Sewu. Kira-kira sepuluh hari sejak peristiwa di Hutan Seruni, banyak murid Perguruan Pring Sewu yang merasa kehilangan. Hampir separo dari jumlah mereka tewas di tangan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Keadaan ini jelas membuat sisa-sisa murid Ratu Pring Sewu amat terpukul, dan nyaris kehilangan kepercayaan diri. Dan bahkan apa yang dialami Mawarni, malah jauh lebih menderita dibanding saudara-saudara seperguruan lainnya. Berhari-hari satu-satunya murid wanita kesayangan Ratu Pring Sewu terus menyesali nasibnya yang malang. Menyesali kesuciannya yang hilang direnggut Iblis Tuli dan Iblis Gagu. Apalagi yang harus diharap? Tak ada. Masa depannya telah hancur. Penyesalan demi penyesalan terus menghantui hati Mawarni.Seolah tak ada semangat lagi untuk hidup. Malah segala kata-kata menghibur diri mulut gurunya tak mampu membangkitkan semangatnya. Untung saja pada saat-saat Mawarni dirundung keputusasaan, seorang kakak seperguruan
Gandrik dan Mawarni tahu, gurunya telah melompat keluar melalui jendela. Tanpa banyak pikir panjang, sepasang anak muda itu segera melompat ke luar. "Bagus! Rupanya kau sudah menampakkan batang hidungmu, Ratu Pring Sewu!" bentak seorang kakek berpakaian kain kafan yang baru saja menurunkan tangan maut terhadap murid-murid Perguruan Pring Sewu. Sepasang matanya yang mencorong bak sepasang mata serigala terus memandang tajam Ratu Pring Sewu. Ketua Perguruan Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Ekor matanya yang tajam sempat melirik ke arah lima orang muridnya yang telah menemui ajal dengan cara mengenaskan. Tiga orang tewas dengan isi perut memburai keluar. Dua orang lainnya tewas dengan kepala pecah. "Siapakah tua bangka satu ini. Guru? Kenapa ia begitu telengas membantai saudara-saudara seperguruanku?" tanya Mawarni dengan tubuh menggigil saking ngerinya melihat mayat kelima orang kakak seperguruannya. Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kedua pelipisnya bergerak-gerak
Tanpa ampun tubuh Ratu Pring Sewu kontan terbanting keras disertai keluhan tertahan. Untung saja tadi tubuhnya sempat bergeser ke samping. Kalau tidak, bukan mustahil dadanya akan hancur terkena hantaman Penghuni Kubur. Meski demikian pundaknya yang terkena hantaman terasa ngilu bukan main. Ratu Pring Sewu meringis kesakitan. Dengan susah payah kembali ia meloncat bangun. "Bajingan! Beraninya kau melukai Guru kami, he! Makanlah tongkatku, Tua Bangka Keparat!" teriak Gandrik gusar bukan main. Dan tanpa banyak cakap lagi, Gandrik segera menerjang Penghuni Kubur. Bersamaan dengan itu, Mawarni dan keenam murid Ratu Pring Sewu lainnya segera turut membantu serangan dengan senjata bambu kuning. "Jangan gegabah, Murid-muridku! Kalian bukanlah tandingannya!" teriak Ratu Pring Sewu gusar. Namun sayang, kedelapan orang murid Ratu Pring Sewu yang sudah kalap itu tak mau mendengar nasihat gurunya. Malah tongkat bambu kuning mereka makin hebat menyerang Penghuni Kubur. "Ha ha ha...! Anak-anak ma
Penghuni Kubur menggeram murka. Sekali kibaskan kain kafannya dengan tangan kiri, maka gulungan-gulungan asap kekuningan itu pun sirna. Namun pada saat itu juga, sosok Ratu Pring Sewu sudah tak terlihat lagi."Setan alas! Sampai ujung dunia pun, tak mungkin aku membiarkanmu begitu saja, Bajingan!"Penghuni Kubur menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Rahangnya sampai mengembung, saking tak tahannya menahan amarah menggelegak. Kedua telapak tangannya yang tadi siap dihantamkan ketubuh Ratu Pring Sewu segera dihantamkan ke depan. Maka seketika meluruk dua larik sinar hijau dari kedua telapak tangannya. Lalu....Blarrr...!Sebuah pohon besar dua lingkaran tangan manusia dewasa kontan bergoyang-goyang begitu terkena pukulan Penghuni Kubur. Pada bagian batang pohon yang terkena bekas pukulan kontan mengepulkan uap tipis kehijau-hijauan. Selang beberapa saat, terdengar suara bergemuruh yang diakhiri bunyi keras dari batang pohon yang tumbang!Blammm!
"Siapa yang kau maksudkan, Ratu Pring Sewu?" tanya Si Buta dari Sungai Ular, tak sabar."Dia.... Dia... ah...!"Kepala Ratu Pring Sewu kembali terkulai. Sementara Si Buta dari Sungai Ular jadi gelisah bukan main. Manggala tak menginginkan Ratu Pring Sewu mati. Pemuda ini merasa harus dapat mengorek keterangan siapa yang telah berani mencelakakan perempuan tua ini, sekaligus ingin menyatroni Sungai ular. Maka, buru-buru Si Buta dari Sungai Ular menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Pring Sewu yang kembali pingsan. Kali ini paras perempuan tua itu tampak demikian mengerikan. Pucat mirip mayat!"Katakan, Nek! Siapa yang memperlakukan ini semua?" desak Si Buta dari Sungai Ular tak sabar."Peng.... Penghuni Kubuuur...!'Bersamaan dengan putusnya ucapan, maka putus pula nyawa Ratu Pring Sewu dari raga. Kepalanya terkulai ke samping, tak bergerak-gerak lagi."Keparat! Lagi-lagi si keparat itu yang membuat ulah. Dulu kedua orangtuaku yang tewas
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tapi, nantilah. Aku ingin bercakap-cakap sebentar dengan ular peliharaanmu ini," kilah Raja Penyihir."Jangan diganggu, Damar Suto! Dia sedang bertapa," tegur Raja Siluman Sungai Ular, langsung."Oooo...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk."Kau ada keperluan apa hingga susah payah datang kemari?""Oh, ya? Aku memang ada sedikit urusan denganmu, Raja Siluman Sungai Ular," jelas Raja Penyihir seraya menepuk jidat."Aku tahu. Setiap kau menemuiku, pasti ingin minta bantuanku, bukan?" tebak Raja Siluman Sungai Ular, tak bermaksud menyindir."Siapa yang butuh bantuanmu? Aku tidak butuh bantuanmu. Aku hanya ingin minta izin padamu," sungut Raja Penyihir tak senang."Minta izin apa?""Muridmu.... harus memanggilku guru. Untuk itulah aku minta izin padamu," papar Raja Penyihir."Oh, ya? Jadi kau sudah bertemu muridku!" sentak Raja Siluman Sungai Ular, gembira. "Sudah lama sekali aku tak bertemu d
"Nah...! Memang itulah yang kuinginkan, Kelabu. Tapi, sayang. Bocah buta itu tak ada di sini. Kalau ada, sudah pasti kutantang bertarung," keluh Kakek Putih."Ya ya ya...! Bagaimana kalau kita cari saja bocah buta itu, Kang?" usul Kakek Kelabu."Baik! Aku setuju usulmu, Kelabu. Ayo, kita cari bocah buta itu!" .sahut Kakek Putih menye-tujui. Saat itu pula, Kakek Putih segera menjejak ke tanah. Sosoknya yang tinggi kurus pun segera berkelebat cepat, meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa tombak...."Tunggu, Kang! Lihat! Siapa yang datang!" teriak Kakek Kelabu yang belum beranjak dari tempatnya. Telunjuknya menuding ke jalan setapak tak jauh dari tempat ini.Mau tidak mau Kakek Putih harus berhenti. Pandangan matanya segera dialihkan ke arah jalan setapak. "Ah, iya" Kau benar, Kelabu. Inilah mungkin yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Ayo, cepat hampiri mereka!"Tanpa menunggu kesanggupan adik seperguruannya, Kakek Putih kembali berkelebat k