"Syukur kalau kau masih ingat, Biang Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian mengenaliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian. Baik ada silang sengketa secara langsung atau tidak. Kalian paham. Untuk itulah aku menghadang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas.
"Setan alas! Kenapa jantungku jadi dagdig-dug begini? Padahal di belakang masih ada anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah. Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati.
"Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus cepat bertindak?" bisik Surono.
"Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti! Aku memang malas berbentrokkan dengan tua bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik.
"Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk? Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya! Sekarang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Juga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pendidik Ulung b
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu sungguh tak cocok dengan sikap maupun perangaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gumam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksud gelengannya."Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Darah seraya membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya.Selang beberapa saat kedua telapak tangan Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan tenaga dalam penuh."Hea!"Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian, mendadak dua gulungan bola api itu mengembang, memancarkan hawa panas b
Di samping itu guratan kedua telunjuk jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat melesat ke depan memapak kobaran api Setan Haus Darah.Classs!Laksana baja panas yang dicelupkan dalam air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang berkobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa saja yang ada di tempat pertarungan!Bersamaan dengan itu...."Aaa...!"Terdengar teriakan menyayat dari beberapa orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begitu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak tangan Setan Haus Darah.Bukan main murkanya hati Setan Haus Darah melihat beberapa orang anak bu
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-hijaunya yang sama persis dengan yang dikenakan anggota pasukan Laskar Hijau.Arum Sari tidak langsung menjawab. Tangannya kini mengurut dada sebentar seraya mengedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu pandang matanya berbentrokan dengan mayat-mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan beberapa orang gadis di dalam lobang yang baru digali, matanya langsung membeliak lebar."Siapakah yang telah melakukan ini semua?" Arum Sari malah balik bertanya.Pendidik Ulung makin curiga."Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya, tandas."Lalu? Di manakah orang yang bergelar Setan Haus Darah itu, Orang Tua?""Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi kau mencari manusia biang rampok itu? Kau mencari ketuamu yang pongah itu?"Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis cantik di hadapannya adalah salah seorang anggota Pasukan Laskar Hijau."Maksudmu...?""Jangan be
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri."Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?""Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu. Namaku Arum Sari.""Satu nama yang indah. Tapi, benarkah kau yatim piatu?""Benar." Arum Sari mengangguk."Hm... Sekarang setelah luka dalammu sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?""Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah pembunuh kedua orang tuaku tewas di tangan Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di mana makam kedua orang tuaku yang bergelar Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?" papar Arum Sari."Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pendekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bukan kepalang."Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian kaget?""Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan bertemu putri sahabatku.""Apakah kau mengenal mendiang kedua orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gembira.
"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya melangkah.Si gadis memang tengah gusar sekali dengan sikap Si Buta dari Sungai Ular. Dan ia merasa tak ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Hatinya terasa perih apalagi bila mengingat penolakan Si Buta dari Sungai Ular atas permintaan gurunya yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya."Tunggu, Arum!"Si Buta dari Sungai Ular cepat menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya dalam-dalam."Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai kedatanganku?" cecar Si Buta dari Sungai Ular masih belum mengerti."Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka melihat kekasihnya datang menemuinya bersama gadis lain!" tukas Pendidik Ulung.Si Buta dari Sungai Ular tercenung. Ia kini tahu maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala."Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah Tolol! Sekarang cepat ten
KETIKA BUMI mulai dikungkung kegelapan malam, satu rombongan berkuda yang semuanya mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu tunggangannya memasuki kawasan perbukitan terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau bukit itu dinamakan Bukit Pedang.Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-orang berpakaian serba hijau itu terdengar mengusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rembulan yang menggantung di angkasa tampak kalau para penunggang kuda itu semuanya lelaki bertampang kasar. Menilik pakaian yang dikenakan, jelas kalau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau!Jalan setapak menuju Bukit Pedang memang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit jurang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah tikungan tajam Setan Haus Darah terus memacu ce
Bukan main marahnya Hantu Tangan Api mendengar laporan muridnya. Sementara Setan Haus Darah duduk menggigil di tempatnya. Ia khawatir kalau-kalau gurunya akan menurunkan tangan maut seperti yang biasa dilakukannya terhadap tokoh-tokoh putih."Sekarang apa yang harus kau lakukan setelah dikalahkan banyak orang, he! Apa kau ingin memperdalam ilmumu?""Tid.... Tidak, Guru. Aku.... Aku ingin Guru membantuku," ucap Setan Haus Darah agak gugup. Hatinya merasa lega bukan main karena gurunya tidak menurunkan tangan maut. Meski demikian, hati Singgih masih merasa belum tenteram bila gurunya belum sudi membantu dirinya untuk memberantas musuh-musuhnya."Apa kau bilang? Kau ingin gurumu yang sudah tua bangka ini untuk turun tangan!" sentak Ki Banaspati.Setan Haus Darah cepat memutar otaknya. Rencananya tidak boleh gagal. Yang jelas, ia harus dapat menyeret gurunya untuk turun dalam kancah dunia persilatan. Sekaligus memberantas musuh-musuhnya."Sebenarnya ak
"Tapi.... Tapi aku tak mempunyai uang, Orang Tua," sahut Pembunuh Iblis gelagapan."Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus bayar. Mana ada ramalan cuma-cuma. Di mana-mana juga harus bayar. Cepat, Bocah!" desak Peramal Maut."Aku.... Aku tidak mempunyai uang, Orang Tua," sahut Teguh Sayekti meyakinkan."Benar?""Benar.""Bagus! Kalau begitu, nyawamulah sebagai bayarannya!" tukas Peramal Maut. Sepasang matanya yang melesak ke dalam mendadak jadi beringas. Kaki kanannya pun sudah disurutkan ke belakang, membentuk kuda-kuda kokoh sambil memutar-mutar tongkat bututnya."Kau benar-benar ingin membunuhku, Orang Tua?" perangah Pembunuh Iblis, seolah tak percaya melihat perubahan sikap Peramal Maut."Ya!""Tapi... Bukankah aku tak menyuruhmu meramalku?" tukas Pembunuh Iblis, berusaha menenangkan Peramal Maut."Ya. Tapi, bukan berarti kau tak harus membayar setelah mendengar ramalanku?""Hm...! Benar-benar aneh watak orang