"Dia adalah Kang Slamet, salah satu anggota Geng Bentor yang masyhur tidak kenal ampun dalam memalak siapapun," jelas Sugeng. "Ah andai saja kemaren aku merekam kejadian itu. Aku nggak kepikiran kalau dia bakal mengkambing hitamkan Si Cecep."
"Walaupun Cecep orangnya kasar dan suka malak, tapi dia itu pemilih. Anak itu nggak pernah malak orang tua apalagi nenek-nenek," celetuk Tiyem.
"Cih! Kamu bilang kayak gitu di depan Tukijo, sedangkan dia tiap hari jadiin Tukijo babu. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?" sanggah Markonah. "Semoga aja setelah kejadian ini dia mendapat banyak pelajaran."
"Apa rencanamu buat buktiin kalo Kang Slamet yang membunuh mbahku?" tanya Tukijo kepada Sugeng.
"Tiyem yang akan menyusup ke markas Geng Bentor untuk menggali informasi dan merekam setiap perkataan mereka," timpalnya.
"Apa? Kenapa harus aku?" elak Tiyem.
"Karena Kang Bahar tertarik padamu. Kamu tau Kang Bahar kan?" ujar Sugeng.
"Kamu me
Bentor= Becak Montor
"Eh, anu ..." Sutrisno terdiam. "Aduh, gimana nih." Dia merasa takut, jika salah berbicara bisa-bisa wanita di hadapannya ini akan membuatnya menjadi rempeyek. "Nona, semua sudah beres," ujar Marno melapor bahwa para sampah anggota Geng Bentor telah dibersihkan. Cecep sebagai praduga tidak bersalah sudah dibebaskan. "Baiklah, ayo pergi! Urusan kita sudah selesai," pinta Ningsih. Kemudian mereka pergi tanpa sepatah kata pun. "Huuuh." Sutrisno mengelus dada bernapas lega. "Tukijo! Bajumu?" seru Tiyem membuat ketiga orang itu berhenti melangkah. Tukijo menoleh. "Buat kamu aja, aku punya beberapa," jawab Tukijo. Keringat yang bercucuran keningnya menjadikan ekspresi dingin anak itu, terlihat keren membuat Tiyem terpana. "Astagaaaa ... sadar Tiyem, dia itu Tukijo," gumam Tiyem mengalihkan pandangan. Sejak saat itu, Sugeng, Trisno, Tiyem dan semua anggota Geng Becak memandang Tukijo sebagai sosok yang harus disegani karena memiliki hubungan dengan wanita misterius itu. Setelah kembal
"Kenapa Jo?" tanya Tiyem. "Oh, nggak papa Yem. Cuma, nanti aku ada ide bagus buat kesejahteraan geng kalian," tutur Tukijo. Akhirnya dia tetap mengambil mendoan yang berada di hadapannya. "Sebelum Cecep membayar, aku harus mendahuluinya," batin Tukijo. "Kesejahteraan geng? Ide apa?" tanya Tiyem memiringkan kepalanya. "Ada deh, nanti aku kasih tau," jawab Tukijo. Saat Tukijo sedang melihat-lihat karidor kelas XII, tanpa sengaja ia menjumpai dua bersaudara Jono dan Joni mengikuti Markonah di belakangnya. Tukijo bangkit menghampiri Bu Badrun. "Bu, total semua bayar berapa?" tanya Tukijo berbisik. "Tiga ratus tiga puluh tiga ribu, Mas ...," jawab Bu Badrun. Tukijo mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu dan memberikannya kepada Bu Badrun. "Ini Bu, ambil saja kembaliannya." "Terima kasih banyak, Mas," ucap Bu Badrun tersenyum. "Sama-sama Bu," balas Tukijo. Kemudian anak itu beranjak pergi meninggalkan kantin. "Cep, aku ke kelas duluan ya ...." Tukijo menepuk punggung
"Tentu saja aku serius," ujar Tukijo melipat tangan. "Kalian cukup bilang setuju atau tidak.""Aku setuju!" seru Sutrisno."Aku juga setuju!""Setuju."Akhirnya semua anggota Geng Becak menyatakan setuju dengan tawaran Tukijo."Oke! Kalau gitu, aku akan buat surat perjanjiannya," ucap Tukijo. "Ini Cep, aku ada uang sisa bayar makan-makan tadi." Dia memberikan sekepal uang sejumlah delapan ratus ribu rupiah ke tangan Cecep."Ini ... buat apa Jo?" tanya Cecep."Itu sebagai uang muka buat buktiin bahwa aku nggak main-main," jawabnya. "Kamu bagi rata ke semua anggotamu."Sebenarnya Tukijo hanya ingin menguji Cecep, apakah dia memang pantas mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Jika dia bukan seorang yang adil, tentu saja anak itu akan meraup keuntungan yang banyak untuk dirinya sendiri.Namun, Tukijo benar-benar melihat Cecep membagikan uang itu tanpa ragu. Masing-masing anak mendapat lima puluh ribu rupiah. Dahulu, T
"Oh, Tuan ..." "Ssst." Tukijo memotong perkataan Marno dan mengisyaratkan bahwa di belakangnya ada seseorang. Marno mengangguk. "Apa yang terjadi dengan Restoran Mas Agus, Bang?" tanya Tukijo. "Tadi, tiba-tiba beberapa orang datang. Mereka merusuh saat restoran sedang rame. Alhasil, karena ulah mereka, pengunjung ketakutan," terangnya. "Terus, di mana Mas Agus?" tanya Tukijo. "Mas Agus menduga, ini ulah rivalnya yaitu Joko si penjual bakso yang berada di depan Gedung KUD. Dia mendatangi orang itu dan memintanya agar bersaing dengan sehat," jelas Marno. "Sendirian?" ucap Tukijo dengan nada sedikit tinggi. "Ah, iya ... astagaaa. Aku nggak kepikiran bisa saja terjadi sesuatu dengannya." Marno meletakan sapu yang dipegannya dan bergegas pergi bersama Tukijo untuk menyusul Agus. "Jo, aku ikut ya ...," pinta Markonah. "Jangan Mar," sahut Tukijo. Markonah cemberut karena merasa dianggap lemah. "Eh, ya u
Sepulang sekolah, setelah anak-anak bubar, Cecep merebahkan badannya di lantai kelas XII IPS 1 berkumpul bersama gengnya. Anak itu berpikir, mungkin memang sudah saatnya dia berhenti dari dunia pemalakan. Pikirannya berkecamuk, jika tawaran Tukijo itu benar, tentu saja dia lebih memilih jalan damai. Selama beberapa tahun ini, tepatnya tiga tahun kurang lima bulan, sejak Cecep masuk SMA, dia mulai menjalankan profesi sebagai pemalak. Awalnya, dia terpaksa menjalankan profesi ini untuk membayar uang sekolah. Ayahnya seorang tukang becak yang sakit-sakitan, sedangkan ibunya hanyalah seorang asisten rumah tangga. Gaji yang didapat hanya cukup untuk berobat ayahnya. Cecep bukanlah termasuk dari anak-anak yang berprestasi sehingga dia tidak dapat meraih beasiswa. Dia hanyalah seorang anak yang beruntung bisa masuk SMA favorit dengan IQ di bawah rata-rata. Anak itu mulai membentuk kelompok geng saat kelas sebelas. Saat itu, gengnya hanya terdiri enam anak saja. Yaitu Cecep,
Tanpa Sugeng sadari, dia melangkahkan kakinya mengikuti Ningsih dan Tukijo."Kak, aku minta maaf," ucap Tukijo berhenti."Ah, tadi aku melihat Tukijo bersama Markonah. Mungkin dia merasa sulit menghubungi Kakak karena ada gadis itu," sela Sugeng."Owh, jadi karena dia?" tanya Ningsih.Tukijo mengangguk malu."Aaaaaaaaargh!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan."Itu, bapaknya Cecep!" ucap Sugeng langsung mencari asal suara.Tukijo mengikuti Sugeng. Kali ini dia yang menarik dan menggandeng kakaknya."Hey, kamu harus obati lukamu dulu." Ningsih menahan Tukijo."Aku nggak papa Kak, lagian cuma diijek-injek doang sama orang-orang krempeng. Wkwk," jawab Tukijo enteng dengan sedikit tawa."Bener?" Sorot mata Ningsih menatap khawatir."Iya," ujarnya tersenyum untuk meyakinkan."Huwaaaaaa! Ait anget Hok (sakit banget Dok)! Aaaaaaaaargh!" teriak Samsul (bapaknya Cecep). Suaranya menggeļegar mengguncang s
"Berhenti Pak!" seru Tukijo tiba-tiba. Cekiiiiiit! Pak Sopir menginjak rem menghentikan mobil di Perempatan Mojing. "Astagaaaa! Ayo Jo, cepetan turun!" ucap Ningsih melihat Si Jago Merah melahap Restoran Mas Agus. Di sana, tampak Marno sedang menggendong Agus keluar dari asap kobaran api yang membumbung tinggi. Lelaki yang berada di punggung Marno, tak sadarkan diri terkena sedikit luka bakar di lengannya. Ningsih mengisyaratkan Marno agar naik ke mobil CarGer membawa Agus. "Pak, tolong antar mereka ke rumah sakit terdekat. SEGERA!" Wanita itu menyodorkan uang seratus ribuan tiga lembar. Tukijo tersadar, bahwa di tempat kejadian ada Markonah dan ayahnya sedang membantu memadamkan api. "O iya! Kakak! Bagaimana kalau Markonah sampai bertemu dengan ..." Tukijo menoleh dan tidak menjumpai Ningsih di sampingnya. Kakaknya menghilang seolah-olah ditelan bumi. "Loh! Kemana Kakak?" gumamnya sembari mencari-cari wanita itu. "Padahal tadi di sini, apa Kakak ikut Bang Marno ya? Tapi kayakny
Akhirnya, untuk sementara keempat orang itu ditahan oleh polisi. Tukijo menyusul Marno ke Rumah Sakit Pricilia Medical Center diikuti oleh Ningsih, sedangkan Pak Kades dan yang lainnya mengunjungi tempat pangkalan Joko untuk mencari kejelasan. Di rumah sakit, Tukijo merasa iba atas musibah yang telah menimpa Agus. Agus terlihat tidak berdaya. Usaha yang dirintisnya bertahun-tahun sejak dia berumur 20 tahun habis tidak bersisa. "Mas Agus!" tegur Tukijo menepuk bahu Agus yang sedang tertunduk meratapi nasibnya. Lelaki itu menoleh, wajahnya tampak lesu dengan kantong mata yang sembab. "Ada apa Jo?" sahutnya lirih. Tukijo duduk di sampingnya. Kemudian dia mengambil sebuah amplop coklat berisi tebal dari saku dan menggenggamkan ke tangan Agus. "Ini Mas, buat modal balik usaha Mas Agus." Agus menerima amplop itu, lalu membuka isinya. Alangkah terkejut lelaki itu melihat tumpukan tebal uang seratus ribuan di dalamnya. "Ini ... banyak banget Jo!"