Tukijo terbangun dengan membelalakkan mata. Dia masih dalam posisi duduk dengan meletakan kepalanya di meja. Kemudian dia berdiri dan menoleh ke jendela. Di sana dia menjumpai seseorang berbicara dengan Tiyem, tiba-tiba Cecep datang. Plak! Cecep mengayunkan tangannya dan menghantam anak itu. "Diem BEGO!" teriaknya. Tukijo menatap tajam anak itu. "Dia kan ... anak IPS 1," gumamnya. Markonah yang baru saja kembali ke kelas setelah membeli buku LKS di koperasi, dia melihat Tukijo memasang wajah serius melihat luar dari jendela kaca. Padahal, sejak pagi anak itu terus berwajah murung tanpa senyum sedikitpun. Gadis itu ingin sekali menanyakan apa yang terjadi padanya. "Jo!" ucapnya, dia berbisik mendekat ke telinga Tukijo. Tukijo merasa, ada angin masuk ke telinganya. Dia menoleh dan mendapati Markonah berada di sampingnya. "Kamu memanggilku Mar?" tanya Tukijo. "Enggak, aku lagi panggil lalat," ketusnya. "Eh ...." Tu
"Dia adalah Kang Slamet, salah satu anggota Geng Bentor yang masyhur tidak kenal ampun dalam memalak siapapun," jelas Sugeng. "Ah andai saja kemaren aku merekam kejadian itu. Aku nggak kepikiran kalau dia bakal mengkambing hitamkan Si Cecep." "Walaupun Cecep orangnya kasar dan suka malak, tapi dia itu pemilih. Anak itu nggak pernah malak orang tua apalagi nenek-nenek," celetuk Tiyem. "Cih! Kamu bilang kayak gitu di depan Tukijo, sedangkan dia tiap hari jadiin Tukijo babu. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?" sanggah Markonah. "Semoga aja setelah kejadian ini dia mendapat banyak pelajaran." "Apa rencanamu buat buktiin kalo Kang Slamet yang membunuh mbahku?" tanya Tukijo kepada Sugeng. "Tiyem yang akan menyusup ke markas Geng Bentor untuk menggali informasi dan merekam setiap perkataan mereka," timpalnya. "Apa? Kenapa harus aku?" elak Tiyem. "Karena Kang Bahar tertarik padamu. Kamu tau Kang Bahar kan?" ujar Sugeng. "Kamu me
"Eh, anu ..." Sutrisno terdiam. "Aduh, gimana nih." Dia merasa takut, jika salah berbicara bisa-bisa wanita di hadapannya ini akan membuatnya menjadi rempeyek. "Nona, semua sudah beres," ujar Marno melapor bahwa para sampah anggota Geng Bentor telah dibersihkan. Cecep sebagai praduga tidak bersalah sudah dibebaskan. "Baiklah, ayo pergi! Urusan kita sudah selesai," pinta Ningsih. Kemudian mereka pergi tanpa sepatah kata pun. "Huuuh." Sutrisno mengelus dada bernapas lega. "Tukijo! Bajumu?" seru Tiyem membuat ketiga orang itu berhenti melangkah. Tukijo menoleh. "Buat kamu aja, aku punya beberapa," jawab Tukijo. Keringat yang bercucuran keningnya menjadikan ekspresi dingin anak itu, terlihat keren membuat Tiyem terpana. "Astagaaaa ... sadar Tiyem, dia itu Tukijo," gumam Tiyem mengalihkan pandangan. Sejak saat itu, Sugeng, Trisno, Tiyem dan semua anggota Geng Becak memandang Tukijo sebagai sosok yang harus disegani karena memiliki hubungan dengan wanita misterius itu. Setelah kembal
"Kenapa Jo?" tanya Tiyem. "Oh, nggak papa Yem. Cuma, nanti aku ada ide bagus buat kesejahteraan geng kalian," tutur Tukijo. Akhirnya dia tetap mengambil mendoan yang berada di hadapannya. "Sebelum Cecep membayar, aku harus mendahuluinya," batin Tukijo. "Kesejahteraan geng? Ide apa?" tanya Tiyem memiringkan kepalanya. "Ada deh, nanti aku kasih tau," jawab Tukijo. Saat Tukijo sedang melihat-lihat karidor kelas XII, tanpa sengaja ia menjumpai dua bersaudara Jono dan Joni mengikuti Markonah di belakangnya. Tukijo bangkit menghampiri Bu Badrun. "Bu, total semua bayar berapa?" tanya Tukijo berbisik. "Tiga ratus tiga puluh tiga ribu, Mas ...," jawab Bu Badrun. Tukijo mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu dan memberikannya kepada Bu Badrun. "Ini Bu, ambil saja kembaliannya." "Terima kasih banyak, Mas," ucap Bu Badrun tersenyum. "Sama-sama Bu," balas Tukijo. Kemudian anak itu beranjak pergi meninggalkan kantin. "Cep, aku ke kelas duluan ya ...." Tukijo menepuk punggung
"Tentu saja aku serius," ujar Tukijo melipat tangan. "Kalian cukup bilang setuju atau tidak.""Aku setuju!" seru Sutrisno."Aku juga setuju!""Setuju."Akhirnya semua anggota Geng Becak menyatakan setuju dengan tawaran Tukijo."Oke! Kalau gitu, aku akan buat surat perjanjiannya," ucap Tukijo. "Ini Cep, aku ada uang sisa bayar makan-makan tadi." Dia memberikan sekepal uang sejumlah delapan ratus ribu rupiah ke tangan Cecep."Ini ... buat apa Jo?" tanya Cecep."Itu sebagai uang muka buat buktiin bahwa aku nggak main-main," jawabnya. "Kamu bagi rata ke semua anggotamu."Sebenarnya Tukijo hanya ingin menguji Cecep, apakah dia memang pantas mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Jika dia bukan seorang yang adil, tentu saja anak itu akan meraup keuntungan yang banyak untuk dirinya sendiri.Namun, Tukijo benar-benar melihat Cecep membagikan uang itu tanpa ragu. Masing-masing anak mendapat lima puluh ribu rupiah. Dahulu, T
"Oh, Tuan ..." "Ssst." Tukijo memotong perkataan Marno dan mengisyaratkan bahwa di belakangnya ada seseorang. Marno mengangguk. "Apa yang terjadi dengan Restoran Mas Agus, Bang?" tanya Tukijo. "Tadi, tiba-tiba beberapa orang datang. Mereka merusuh saat restoran sedang rame. Alhasil, karena ulah mereka, pengunjung ketakutan," terangnya. "Terus, di mana Mas Agus?" tanya Tukijo. "Mas Agus menduga, ini ulah rivalnya yaitu Joko si penjual bakso yang berada di depan Gedung KUD. Dia mendatangi orang itu dan memintanya agar bersaing dengan sehat," jelas Marno. "Sendirian?" ucap Tukijo dengan nada sedikit tinggi. "Ah, iya ... astagaaa. Aku nggak kepikiran bisa saja terjadi sesuatu dengannya." Marno meletakan sapu yang dipegannya dan bergegas pergi bersama Tukijo untuk menyusul Agus. "Jo, aku ikut ya ...," pinta Markonah. "Jangan Mar," sahut Tukijo. Markonah cemberut karena merasa dianggap lemah. "Eh, ya u
Sepulang sekolah, setelah anak-anak bubar, Cecep merebahkan badannya di lantai kelas XII IPS 1 berkumpul bersama gengnya. Anak itu berpikir, mungkin memang sudah saatnya dia berhenti dari dunia pemalakan. Pikirannya berkecamuk, jika tawaran Tukijo itu benar, tentu saja dia lebih memilih jalan damai. Selama beberapa tahun ini, tepatnya tiga tahun kurang lima bulan, sejak Cecep masuk SMA, dia mulai menjalankan profesi sebagai pemalak. Awalnya, dia terpaksa menjalankan profesi ini untuk membayar uang sekolah. Ayahnya seorang tukang becak yang sakit-sakitan, sedangkan ibunya hanyalah seorang asisten rumah tangga. Gaji yang didapat hanya cukup untuk berobat ayahnya. Cecep bukanlah termasuk dari anak-anak yang berprestasi sehingga dia tidak dapat meraih beasiswa. Dia hanyalah seorang anak yang beruntung bisa masuk SMA favorit dengan IQ di bawah rata-rata. Anak itu mulai membentuk kelompok geng saat kelas sebelas. Saat itu, gengnya hanya terdiri enam anak saja. Yaitu Cecep,
Tanpa Sugeng sadari, dia melangkahkan kakinya mengikuti Ningsih dan Tukijo."Kak, aku minta maaf," ucap Tukijo berhenti."Ah, tadi aku melihat Tukijo bersama Markonah. Mungkin dia merasa sulit menghubungi Kakak karena ada gadis itu," sela Sugeng."Owh, jadi karena dia?" tanya Ningsih.Tukijo mengangguk malu."Aaaaaaaaargh!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan."Itu, bapaknya Cecep!" ucap Sugeng langsung mencari asal suara.Tukijo mengikuti Sugeng. Kali ini dia yang menarik dan menggandeng kakaknya."Hey, kamu harus obati lukamu dulu." Ningsih menahan Tukijo."Aku nggak papa Kak, lagian cuma diijek-injek doang sama orang-orang krempeng. Wkwk," jawab Tukijo enteng dengan sedikit tawa."Bener?" Sorot mata Ningsih menatap khawatir."Iya," ujarnya tersenyum untuk meyakinkan."Huwaaaaaa! Ait anget Hok (sakit banget Dok)! Aaaaaaaaargh!" teriak Samsul (bapaknya Cecep). Suaranya menggeļegar mengguncang s