Tukijo terbangun oleh suara bel yang berbunyi tiga kali menandakan waktu pulang. Dia melirik jam dinding tertera pukul 13.00 WIB. Anak itu kaget dan langsung bangkit keluar UKS menuju kelasnya.
"Ah tidak, aku harus segera ke restoran!" gumam Tukijo sembari berlari tanpa menghiraukan siapapun.
Setelah sampai di kelas, dia menjumpai tas dan buku-bukunya berserakan di lantai dengan banyak cap sepatu. Tidak hanya itu, tempat duduk dan mejanya juga penuh dengan tulisan spidol, antara lain; 'ANAK MISKIN MATI SAJA', 'UDAH JELEK, MISKIN, HIDUP PULA', 'GOBLOK' dan 'TOLOL'.
Tukijo berjongkok membereskan tas dan buku-bukunya yang berserakan. Udin tiba-tiba muncul menyandarkan bahunya di ambang pintu kelas. "Ngenes banget nasib lo, Jo! Wkwk ...," ejeknya. Kemudian dia menghilang seperti jaelangkung yang datang tidak diundang pergi pun tidak diantar.
Disaat Tukijo sedang membersihkan mejanya, dia melihat sebuah handphone jadul Nokia 1202 berada di laci meja Markonah. Karena handphone itu menyala dengan nada silent, Tukijo mengambilnya.
Di handphone itu tertulis nama 'My Love' sedang memanggil. Tidak lama kemudian, Markonah masuk ke kelas melihat Tukijo sedang memegang handphonenya. Tukijo dibuat kaget olehnya.
"Maaf, apa ini handphonemu?" tanya Tukijo sambil menyodorkan handphonenya. "Aku melihat handphone ini menyala di laci. Jadi aku mengambilnya."
"Iya, ini punyaku," jawab Markonah mengambil handphonenya.
"Tadi ada panggilan dari seseorang," timpal Tukijo.
Lalu Markonah segera mengecek ponselnya dan tersenyum. "Makasih ya Jo, Aku pulang dulu!" ucapnya beranjak pergi meninggalkan Tukijo.
Dalam hati Tukijo berkata, "Apakah yang menelpon adalah kekasihnya?" Pikirannya terbang mencari-cari suatu kejelasan.
"Ah, apa hubungannya denganku?" gumam Tukijo menggelengkan kepala membuang pikirannya jauh-jauh.
Setelah membersihkan tempat duduknya, Tukijo meninggalkan kelas menuju tempat parkir. Dia mengambil sepeda dan mengayunnya sampai Restoran Mas Agus yang terletak di Perempatan Mojing samping Toko Roti Sukesi.
Tanpa sengaja, Tukijo melihat Markonah masuk ke toko roti dengan seorang lelaki paruh baya. Dia mengernyitkan dahinya sembari bergumam, "Markonah? Sedang apa dia di sana?"
"Jo! Cepetan! Lagi rame nih ...," teriak Agus (pemilik restoran) memanggil Tukijo. Seketika pikiran Tukijo dibuyarkan oleh teriakan Agus.
"Iya ... iya Mas," Tukijo berlari memasuki restoran dan mengerjakan pekerjaannya.
"Mas ... mas!" panggil seorang wanita.
"Iya, Mba?" jawab Tukijo menghampiri wanita itu.
"Mi ayam ceker dua, dibungkus ya ...," pintanya.
"Siap Mba," timpal Tukijo.
Beberapa menit kemudian.
"Ini Mba." Tukijo menyodorkan dua porsi mie ayam ceker yang telah dibungkus.
"Terima kasih!"
__________
Pukul 17.30 WIB.
"Ini Jo!" Agus memberikan sebuah amplop. "Ini gajimu minggu ini."
"Wah! Makasih banyak Mas Agus ...." ucap Tukijo tersenyum lebar mengambil amplonya dan memasukkannya ke saku celana.
"Iya, sama-sama," balas Agus. "Eh, ngomong-ngomong kenapa mukamu babak belur begitu? Kayaknya kamu bukan tipe anak yang suka berantem."
"Anu Mas, em ini ... tadi ... jatuh dari tangga waktu di sekolah," jawab Tukijo tersendat-sendat. Dia lebih memilih berbohong daripada membuat orang lain khawatir.
"Owalah Jo ... Jo. Makanya lain kali hati-hati," tutur Agus.
"Iya Mas Agus," ujar Tukijo.
"Ya udah, sana pulang ... Simbahmu pasti nungguin," ucap Agus.
Tanpa Tukijo sadari, ada seseorang yang mengawasinya di seberang jalan.
Tukijo kembali mengayun sepeda ontelnya. Jarak antara Restoran Mas Agus dengan rumahnya sekitar 500 meter sedangkan jarak Restoran Mas Agus ke sekolahnya sekitar 2 km. Rasa sakit di tubuhnya hilang sesaat ketika dia mengayun sepedanya sambil membayangkan, ingin membelikan makanan enak untuk neneknya dengan uang gajinya.
Di pertigaan gang kecil dekat rumah, Tukijo dihadang oleh teman-temannya semasa SD.
"Berhenti!" bentak Ucup.
"Kenapa Cup?" tanya Tukijo menghentikan sepedanya.
"Serahin amplop yang ada di saku celana lo!" sela Soib.
"Amplop? Sebentar ...," Tukijo merogoh celanannya. Dia mengeluarkan uangnya dan hanya memberikan amplopnya saja. "Nih!"
"Buahahahaa ...." Mereka tertawa.
"Goblok!" bentak Soib menendang sepeda Tukijo.
Tukijo yang masih menaiki sepeda, terjatuh mengenai kerikil aspal. Tangannya sedikit berdarah tertindih setang.
"Ugh ...," Tukijo bangkit dan menyandarkan sepedanya ke pohon. Dia merasa geram dan menonjok muka Soib dengan kepalan tangan. Soib sedikit terhempas mundur.
Tiba-tiba Budi meraih rambut Tukijo ke depan, dan menendang perutnya dengan lutut. Lagi-lagi Tukijo jatuh ke aspal. Lukanya yang sempat membaik, sekarang bertambah karena goresan kerikil yang tajam. Dia terjatuh dalam posisi tengkurap. Ucup menginjak kepalanya sedangkan Soib menginjak badannya.
"Aaaaaaaaargh ...," jerit Tukijo kesakitan. Dia tidak sadarkan diri terkapar di jalan.
Kemudian Soib mengambil uang yang berada di saku celana Tukijo.
"Dapat Bro!" Soib menjabarkan uang sejumlah seratus lima puluh ribu rupiah.
"Mantap!" Ucup dan Budi mengacungkan jempol. Mereka bertiga pergi meninggalkan Tukijo begitu saja.
Hari menjelang malam, matahari sudah hampir menutup wajahnya. Namun, belum ada seorangpun yang melewati jalan dimana Tukijo pingsan.
"Ugh," Tukijo terbangun dan melihat sebuah mobil mewah berhenti di sampingnya. Keluar seorang wanita cantik elegan berambut panjang terurai, ditemani oleh bodyguard dan sopirnya. Dia adalah Ningsih, wanita jenius yang berhasil mengembangkan perusahaan ayahnya sampai ke puncak. Rumor menyatakan bahwa dia telah membunuh ayahnya demi mendapatkan harta warisan, sehingga dia dicap sebagai wanita yang kejam. Wanita itu membuka kacamata hitamnya seraya bertanya kepada sopirnya, "Benar, di sini?" "Benar, Nona. Namanya adalah Tukijo," jawab Teguh (sopir Ningsih) sambil menunjukan foto pemuda itu di ponselnya. Ningsih baru menyadari bahwa di depannya ada seorang pria yang terkapar di jalan, dia sedang berusaha untuk bangkit. Pria itu memakai seragam pramuka. Di sampingnya ada sepeda ontel yang disandarkan ke pohon dan tas sekolah di kranjang. Kemudian Ningsih mendatangi pria itu, lalu berjongkok sambil mengulurkan tangannya. "Mau ku bantu?" tawar Ningsi
Melihat tubuh Tukijo yang penuh dengan luka, Muhiroh berkata, "Duh Gusti, Tukijo! Nangapa awake kowe pada babak belur kaya kie? (Ya Tuhan, Tukijo! Kenapa badanmu penuh luka seperti ini?)" Tangannya yang sudah mengeriput menyentuh wajah Tukijo dengan lembut. "Ngapurane Mbah, miki ... pitte nyong kesrempet trek, ngasi nyong mental tiba semaput (Maaf Nenek, tadi ... sepedaku terserempet truk hingga aku terpental jatuh pingsan,)" jawab Tukijo sedikit gugup. Ningsih melompong. Setelah mengobati luka Tukijo, Ningsih mendengar suara perut adiknya protes. Dia segera keluar menemui Teguh yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya ke mobil. "Teguh! Belikan lima porsi makanan, ah tidak ... beli enam porsi!" perintah Ningsih. "Baik Nona," Teguh memasuki mobil dan pergi melaksanakan perintah majikannya. Beberapa saat kemudian. "Maaf Nona, aku hanya menemukan makanan ini di jalan," ungkap Teguh memberikan d
Keesokan harinya, tepat pukul 07.00 WIB Ningsih datang ke rumah Tukijo dengan mobil mewahnya bersama Teguh dan Marno. "Jo! Ayo naik!" Ningsih mengajak Tukijo yang berdiri di depan rumahnya siap untuk berangkat. Kemudian dia naik ke mobil duduk di belakang bersama kakaknya. "Di mana kamu bekerja?" tanya Ningsih. "Di Restoran Mas Agus lokasinya di Perempatan Mojing." "Meluncur ke sana!" perintah Ningsih kepada Teguh. "Baik Nona." "Marno, nanti kamu yang gantiin Tukijo ya." "Siap! Laksanakan!" jawab Marno. "Emm, Kak. Bolehkah aku meminta sesuatu?" ucap Tukijo sedikit ragu. "Apa?" timpal Ningsih. "Tolong rahasiakan bahwa aku memiliki hubungan dengan orang dari Perusahaan Gaje. Kakak sangat terkenal, Mas Agus pasti mengenalimu." Tukijo memasang wajah memelas memohon kepada kakaknya. "Kita sudah sampai di Restoran Mas Agus, Nona," sela Teguh. Melihat Ningsih tidak menjawab permintaannya, Tu
Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah. "Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu. Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya. Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti. "Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin. Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya. "Yeah ...," jawab Ningsih bangga. Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?" "Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo. "Oke, kita ambil beberapa," ti
"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya. Beberapa menit kemudian. "Wow ...!" ucap Tukijo takjub. Kemudian, mereka menyantapnya dengan lahap. "Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud." Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau simbah khawatir." Anak itu tertunduk menekuk wajah. "Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius. "Emm, itu Kak ... anu ... aku ..." "Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam. Tukijo diam. "Jadi, benar?" desak Ningsih. "Iya Kak," jawab Tukijo akhirnya membuka mulut. "Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi. "Sejak SD," balas Tukijo. "Apa! Seja
Tukijo terperanjat. Seketika pandangannya menjadi buyar. "Ah, iya Kak ... maaf," ujarnya. "Kamu kenapa, Jo? Tiba-tiba melamun. Lihat ibu-ibu ngrumpi?" canda Ningsih. Sebenarnya Ningsih mengetahui bahwa Tukijo telah terpaku melihat seorang wanita pengantar bingkisan. "Idih ... ngapain juga, aku lihat ibu-ibu ngrumpi," sanggahnya. "Terus, kamu ngelamunin apa?" tanya Ningsih pura-pura tidak tahu. "Eh ... itu ... tadi aku lihat ada teman sekelasku lewat naik motor," jawab Tukijo. "Oh, jadi cewek yang tadi itu teman sekelasmu. Cantik juga," puji Ningsih. "Iya, cantik ... tapi cuek." Tukijo mendengus. "Pfft. Kamu naksir ya?" tanya Ningsih spontan. "Si ... siapa yang naksir." Tukijo menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpura-pura mengelap keringat di dahinya. "Hmm ...." Ningsih mengernyitkan dahi, matanya menyelidiki tingkah Tukijo. "Ya sudah, ayo lanjut latihan." Mereka berlatih hingga matahari tepat
Hari Senin, Tukijo mulai bersekolah dengan penampilan barunya. Sebelum dia berangkat ke sekolah, Ningsih datang membawa semua barang-barangnya. "Aku bantuin ya, Kak," tawar Tukijo. "Nggak usah, Jo. Kamu berangkat sekolah aja sana! Nanti telat. Hmm, atau kamu mau diantar Teguh pake mobil?" ucap Ningsih sambil menurunkan barang-barangnya di depan rumah Tukijo. "Aku ... berangkat sekarang aja deh, makasih atas tawarannya." Tukijo segera pergi meninggalkan Ningsih. "Bisa gawat kalau satu sekolah tau aku berangkat diantar mobil," gumamnya. Setelah sampai di sekolah, Tukijo meletakan sepedanya di parkiran dekat tiang kayu. "Wah! Siapa tuh?" "Anak baru kayaknya, aku belum pernah lihat." "Ganteng bangeeeet. Dia bakalan jadi kandidat pertama ulzzangnya SMANJI nih ... (singkatan SMA N 1/SMAN Siji)." "Eh, samperin yuk ... barangkali bisa dapet nomor WA-nya. Mayan gebetan baru." "Eaaaa ... cus." Dua siswi saling berbisik melihat penampilan baru Tukijo. Ketika mereka hendak mendekati Tuki
Udin yang masih dalam posisi berlutut, melihat orang itu dari ujung kaki, hingga ujung rambut yang telah memutih sebagian. Dia adalah Hartono (ayah Markonah).Sementara Udin teralihkan oleh Hartono, Markonah mengambil gelas, lalu melangkahkan kakinya ke sebuah galon air yang bertengger di samping meja kasir. Sejak makan siang, dia belum meminum air seteguk pun sehingga merasa sangat haus."Anda ...""Aku ayahnya, kamu mau apa?" sela Hartono memotong ucapan Udin. Dia mengatupkan bibirnya dan matanya melotot."Ayah mertua!" seru Udin merangkak mendekatinya."Siapa Ayah yang mertuamu?" tampik Hartono.Udin memeluk lutut Hartono. "Ayah mertua, restuilah hubunganku dan Markonah, tolong jangan pisahkan kami! Kami tulus saling mencintai," rengeknya.Markonah tersentak menyemburkan air minum di mulutnya."Apa kau GILA!?" sergah Markonah."Iya, aku sangat tergila-gila padamu." Udin mengepalkan